Janda Kembang

1310 Kata
Kutatap nisan yang bernama Fahri Sandjaya. Ini adalah tempat terakhirnya. Gundukan tanah merah yang dihiasi tebaran bunga serta beberapa tangkai bunga sedap malam dan bunga mawar putih. Aku masih duduk dengan tatapan sendu dan tanganku masih mengusap-usap nisan Fahri. “Arabella, ayo kita pulang,” ajak suara bariton. “Duluan saja, Pak Alvin. Aku masih mau di sini.” “Mereka sudah pulang. Bahkan, ibumu pun tak bisa datang ke sini karena mendadak pusing. Saya sudah berjanji untuk membawamu pulang. Kita di sini sudah dua jam.” “Aku masih mau di sini.” “Arabella, jangan keras kepala,” cetus Marini yang langsung menarik tanganku. Spontan aku melerai tangannya dan memelotot tajam kepada Marini dan Adiba. “Kalian tak tahu bagaimana rasanya ditinggalkan suami? Saat aku berada di langit dan tiba-tiba aku jatuh tersungkur ke jurang. Bagai raga yang tak bernyawa. Kalian tak akan paham! Apa itu arti kehilangan?” rutukku. “Dan saya pun merasakan hal itu. Fahri adalah adik saya. Kau lihat Ibu saya. Dia sudah tegar dan menerima kenyataan bahwa ini pasti akan terjadi. Kami akan terpisah karena kematian,” jelas Pak Alvin. “Fahri, belum meninggal. Dia memanggilku!” pekikku sambil memeluk nisannya. Pak Alvin langsung membopongku dan aku berontak melawan sambil meronta. “Turunkanku! Aku mau temani Fahri!” Kupukul d**a bidang Pak Alvin berkali-kali. Lolosan umpatan dan makian yang kujuruskan untuknya, tetapi Pak Alvin tetap membawaku jauh dari tempat pembaringan Fahri. “Arabella, kamu pasti bisa melewati ini!” Marini dan Adiba berucap seperti itu. Apakah aku bisa menjalani kehidupanku sebagai janda? Lebih tepatnya menjadi janda kembang. Tulang-tulangku terasa lepas dari tubuhku dan aku tak kuat untuk duduk di dalam mobil Pak Alvin. Aku pun merebahkan diri di kursi belakang dan Pak Alvin menyetir mobil. “Kenapa harus ada pertemuan? Jika harus ada perpisahan yang menyakitkan seperti ini,” ucapku. “Namanya juga takdir. Kita tak bisa berbuat apa-apa lagi. Manusia hanya berencana. Selanjutnya tangan Tuhan yang menentukan arah jalan kita harus seperti apa. Namun, setidaknya manusia dapat memilih. Seperti halnya kamu memilih menerima kenyataan ini atau meratapi kepergian Fahri terus-menerus.” “Semesta sedang bercanda,” balasku sambil tertawa terbahak-bahak. Aku menangis dalam tawa. Sakit, tetapi tak berdarah. Ini yang kurasakan saat ini. Tiba di rumah. Pak Alvin kembali membopongku masuk ke dalam rumah. Kulihat Marini dan Adiba mengekori dari belakang. “Kalau kamu seperti ini. Fahri akan sedih.” Pak Alvin menegurku sambil mendudukkanku di kursi. Tampak kulihat wajahnya sendu dan rahangnya menegang. “Ibu mana?” tanyaku mengabaikan ucapan Pak Alvin. Lalu aku bersusah payah berdiri dan Marini berusaha menolongku. “Saya pulang dulu,” ucap Pak Alvin undur diri pulang. “Pergilah. Lagian siapa yang mau kamu ada di sini,” balasku datar. Saking masih kesal dengannya. Lalu aku menggandeng tangan Marini. “Antarkan aku ke kamar Ibu.” “Arabella, bukan kamu saja yang kehilangan. Saya pun sama halnya denganmu.” Mencerna ucapan Pak Alvin. Aku tertegun sejenak, menghentikan langkahku. Lalu, aku menoleh ke belakang. Tampak punggung Pak Alvin menjauh dari pandanganku. Dia beranjak keluar bersama seribu sedih yang masih menggelayut. * Langit menampakkan cahaya violetnya. Aku berdiri bergeming di depan jendela. Pasca kematian Fahri. Aku selalu berdiam diri di dalam kamar. Aroma bunga melati menguar, tepat di bawah jendela kamar ada tanaman bung melati yang sudah bermekaran. Kulirik di sana. Iya, di ranjangku masih ada hiasan layaknya kamar pengantin sampai bunga-bunga itu mengering menyatu dengan kelambu renda berwarna putih. Kutatap matahari yang terbit dari timur. Selamat pagi, Fahri! Itu yang lolos kuteriaki dalam hati. Ucapan selamat pagi yang tak akan pernah mendapatkan balasan jawaban. “Arabella,” sapa Ibu. Aku menoleh dan mengukir senyum manis. “Iya, Bu. Ada apa?” “Kamu sudah satu bulan tak ke mana-mana. Ikut Ibu, yuk. Kita jalan-jalan,” ajak Ibu seraya menarik tanganku. “Jalan ke mana, Ibu?” “Marini dan Adiba ngajak kita ke puncak.” “Aku tak mau, Bu,” balasku datar. Lantas aku duduk di depan cermin. Tampilan tonjolan tulang di bagian depanku tampak terlihat. Aku pun merasakan jika tubuhku mendadak kurus kering. Seperti tanaman yang tidak pernah disiram. “Arabella, ayo. Ibu bosan di rumah terus.” “Tapi, Bu. Aku tak mau ke mana-mana.” “Ibu di sini rasanya pusing. Sakit kepala tujuh keliling.” Mendengar penuturan Ibu seperti itu aku pun luluh menyanggupi permintaan Ibu. Meskipun, sebenarnya aku tidak mau pergi. Ini demi Ibu apa pun akan kulakukan. “Baiklah, Bu,” jawabku singkat. Tampak wajah Ibu sumringah sekali yang kulihat dan dia langsung memelukku. Kami pun bersiap-siap merapikan pakaian ke dalam koper. Berencana liburan di puncak Bogor tiga hari. Usai semuanya selesai dan kami sudah rapi. Lalu aku dan Ibu menunggu jemputan Marini Adiba. Kami duduk di teras rumah sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tiba-tiba kulihat datang seorang wanita berdaster kuning menyapa Ibuku. “Mau ke mana? Mau pindah rumah.” “Nggak, kami hanya jalan-jalan,” jawab Ibu. “Oh, kirain kalian pindah rumah. Aku malahan mau tumpeng kuning kalau kalian tak ada di sini. Anak dan Ibu menjadi janda. Oh, rawan sekali kalau ada di sini.” Aku terbelalak mencerna celotehannya. Lalu, berdiri dan memangkas jarak mendekati wanita berdaster itu. Sudah tidak asing lagi, semua orang tahu wataknya dia yang memiliki mulut jahat. Jika ada kontes ratu julid. Pasti dia adalah pemenangnya. “Jaga ucapan Ibu Kiyem. Apa dosa kalau kami menjadi janda?” “Kamu itu hanya perawan tua yang nggak laku dan terus menikah. Palingan suaminya diracuni olehnya. Agar dapat status doang, pernah menikah,” cetusnya. Oh, ini namanya fitnah. Aku masih menghargai orang yang usianya lebih tua. Berusaha tenang menghadapi Ibu Kiyem yang berdiri di depanku. “Hati-hati, Bu. Itu fitnah namanya. Mana ada orang yang baru menikah mau ditinggal suaminya? Kalau Ibu Kiyem kayak gini. Aku bisa laporkan ini ke polisi tentang merusak nama baik.” “Yeyah, ngancem segala. Kagak takut. Pergi sana dari komplek ini. Aku takut nanti banyak suami-suami yang datang ngapelin di sini.” Sebelah tangan kananku sudah mengepal. Ingin kurontokkan gigi Ibu Kiyem. Namun, tangan Ibu mendarat di bahuku. “Marini sudah datang.” Deru mobil terdengar dan mobil berwarna putih berhenti di depan rumahku. Kaca mobil itu terbuka. Tampak kulirik Marini melempar senyum sembari melambaikan tangan. Maka lekas Ibuku melewati Ibu Kiyem sambil menarik tanganku, sedangkan aku masih berdiri bergeming sambil menatap nyalang Ibu Kiyem. “Saya memang janda. Tapi, saya tak akan mau menggoda lelaki orang. Sorry, yah. Bujangan masih banyak,” cetusku sembari mengibas-ngibas tangan dan melewati Ibu Kiyem. Aku pun masuk ke dalam mobil. Setelah menaruh koper di bagasi. Bisa-bisanya ada manusia seperti Ibu Kiyem yang mulutnya hanya mengomentari kehidupan orang. Sepanjang perjalanan. Adiba dan Marini berusaha menghibur memberikan cerita yang lucu di saat aku lebih nyaman di dalam kamar. Kami jarang bertemu karena pasca kehilangan Fahri. Aku lebih menyukai kesendirian. Mobil Marini melewati pohon-pohon besar nan rindang tinggi menjulang. Kendaraan yang melintas dapat dihitung oleh jari. “Kita tak salah jalan?” tanyaku sembari melirik ke kanan dan ke kiri. “Sesuai GPS. Ini jalan tikus agar tak terkena macet. Kita potong jalan.” Marini menjawab. “Perasaanku tak enak,” jawabku singkat. Menjelang sore hari. Kami belum tiba di vila tempat tujuan. Sepanjang mata memandang. Aku hanya melihat pepohonan tak ada pemukiman warga. Brakk! Marini terpekik. “Gawat, aku menabrak sesuatu!” Aku dan Ibu saling berpandangan. Adiba pun hendak turun, tetapi langsung dicegah oleh Marini. “Kita kayaknya kesasar. Aku takut itu penjahat,” tandas Marini. “Apa? Kita tersesat!” pekikku sambil menepuk dahiku sendiri. "Bagaimana ini?" jawab Marini. "Kamu benar-benar sesuai GPS?" tanyaku memastikan menatap nanar Marini. "Kamu tahu sendiri 'kan. Tadi aku lihat ini," balasnya sambil menunjukkan ponsel. "Turun, yuk! Kita lihat apa yang kamu tabrak." Aku hendak turun, tetapi tangan Ibu mencengkram erat lenganku seraya berkata, "Hati-hati. Ibu merasa tak enak hati. Lebih baik kita putar balik aja."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN