Aku mengerutkan dahi melihat seonggok patung yang terlentang di tengah jalan. Kami bertiga saling melempar pandangan. Marini dan Adiba menggelayut di kedua lenganku. Mereka berdua itu memang penakut. Ditambah lagi di jalan yang kami lewati tidak ada satu pun kendaraan lalu-lalang melintas.
Rupanya patung itu yang menghalangi jalan kami. Patung wanita tanpa sehelai benang pun. Lekas kuambil patung itu dan kutaruh di bawah pohon besar yang letaknya tepat di samping mobil. Di sisi kanan kami pohon jati di sisi kiri jurang. Ini seperti tengah uji nyali serta hari semakin petang. Langit mulai menampakkan cahaya senja, sebentar lagi sang penguasa gelap datang.
Baru saja kutaruh patung itu. Terdengar suara bariton tertawa terbahak-bahak. Sontak kulihat ke arah sumber suara tersebut yang rupanya dari balik semak-semak setinggi orang dewasa, keluar tiga lelaki berbadan kurus dan memakai kacamata hitam serta pakaian yang mereka pakai compang-camping dengan celana jeans bagian lutut sobek serta memakai kalung besar seperti tengah memakai rantai kapal. Ketiganya sama memakai kalung besar dan panjang.
"Siapa kalian?" tanyaku keheranan sambil celingak-celinguk mencari keberadaan yang lain. Mungkin saja di sini ada tempat syuting filem.
Kusuruh Adiba dan Marini agar mereka cepat kembali masuk ke dalam mobil, tetapi Marini bersikeras untuk menemaniku meskipun kemungkinan dia sangat takut dapat kurasakan saat Marini menggenggam jemariku. Bergemetar seperti menjalar ke sekujur tubuh.
"Kita dapat tiga wanita. Kalian mau harta atau nyawa?" Salah satu dari tiga lelaki itu menodongkan pisau ke arah kami.
Aku, Marini, dan Adiba beringsut mundur.
"Cepat masuk aja ke mobil," titahku.
"Kami nggak mau," jawab Marini dan Adiba menjawab bersamaan.
Tiba-tiba salah satu dari tiga lelaki itu membuka pintu mobil dan kulihat dia mengejek sambil tertawa terbahak-bahak.
"Wah, rupanya di sini ada orang juga!"
"Jangan macam-macam!" bentakku.
Bagaimana caranya aku menyelamatkan Ibu? Saat di hadapanku ditodong dengan pisau berukuran sedang yang biasa untuk memotong daging. Aku hanya berdiri bergeming membeku, saat melihat salah satu dari mereka masuk ke dalam mobil.
"Hai, biarkan mereka jalan kaki aja."
"Masa disia-siakan wanita secantik mereka!" seru salah satu mereka dan kupergoki tatapan lelaki yang ada di depanku. Seakan kemungkinan dia ingin memangsa aku, Marini, dan Adiba.
"Wajah kalian jelek banget sama dengan kelakuannya!" rutukku mencoba menyulut emosi dengan tatapan menajam.
"Eh, jaga ucapanmu!" Lelaki itu pun menarik tanganku. Dapat kulihat matanya yang tajam.
"Arabella!" pekik Ibu.
Sontak aku menoleh ke belakang. Mataku membulat sempurna saat melihat ibuku keluar dari mobil, dia memang jagoan. Hanya satu tendangan saja, lelaki yang tadi ingin menjarah harta kami. Kali ini, mendapatkan pelajarannya. Lelaki itu terhuyung jatuh ke tanah, terjerembab, dengan sorot mata yang kupastikan mereka terheran-heran karena melihat Ibuku memasang kuda-kuda dengan kedua tangannya di depan dadaa. Tampak kulihat Ibu melempar senyum lalu dia mengerlingkan mata.
"Ini baru emak gue jagoan!" seruku sambil tersenyum lebar.
"Diam!" bentak lelaki itu yang dengan setia masih memegangi pisau daging. Aku tersenyum simpul sambil mencodongkan tubuhku.
"Harusnya kamu yang diam! Dan pergi dari sini," uraiku langsung melepaskan jurus taekwondo. Tanganku menepis pisau yang ada di tangan lelaki itu. Setiap gerakan lelaki masih bisa aku tangkis meskipun dia memberikan serangan bertubi-tubi.
"Arabella, hati-hati!" pekik Adiba dan Marini.
"Ayo, satu lawan satu!" celetukku menantang sambil memasang wajah datar dan judes.
Aku pun melihat ke samping. Rupanya Ibu dapat menaklukkan dua lelaki yang nyaris saja menjarah harta benda kami yang sedang kami bawa. Aku terkekeh kecil melihat dua lelaki itu terhuyung jatuh.
"Kamu berani?" Lelaki itu mulai memasang gaya tepat di hadapanku. Kami saling bertatapan dengan sorot mata tajam.
"Arabella, biar Ibu aja." Ibu menghalangiku begitu saja. Berdiri di depan muka. Sontak lelaki itu turun keberaniannya itu yang kutebak kemungkinannya, karena saat kulihat Ibu berdiri memasang wajah tegas dan datar. Lelaki itu beringsut mundur dengan wajah pucat.
Baru saja beberapa detik. Kutatap tajam lelaki itu dan dia pun memutar badan dan membantu dua temannya yang kalah agar berdiri, kemudian kutengok mereka berlari tunggang-langgang bersama.
"Bu, nggak apa-apa 'kan?" Aku langsung mendaratkan tanganku di pundak Ibu.
"Ibu nggak apa-apa. Lebih baik kita putar balik lagi. Ini sudah salah jalan. Pantas aja nggak ada orang yang lewat maupun pemukiman warga di sekitar sini."
Ibu menarik tanganku dan menggiringku agar masuk kembali ke dalam mobil. Setidaknya aku bernapas lega karena melihat Ibu baik-baik saja meski usianya tidak muda lagi. Namun, jangan ditanya perihal silat. Dia juga ahlinya.
Saat aku baru saja membuka pintu mobil. Dari kejauhan kulihat sorot lampu mobil. Adiba dan Marini yang masih ada di luar langsung mendekatiku.
"Aku hafal mobil itu!" seru Marini.
"Emangnya itu mobil siapa? Jangan-jangan dia pemimpin preman tadi," celetukku.
Aku mengurungkan niat untuk masuk ke dalam mobil. Sengaja aku lipat tanganku di depan dadaa dengan dagu yang diangkat. Seakan menantang siapa pun yang turun dari mobil itu pasti akan berbuat jahat. Itu prasangkaku yang melihat siluet tubuh lelaki memakai jaket berwarna cokelat.
"Arabella!"
Lelaki itu langsung menghambur mendekatiku. "Kenapa kalian ada di sini?" tanyanya.
"Pak Alvin, kenapa ada di sini?" Kutatap tajam dia yang mengundang curiga. Sedari tadi kami di sini tidak melihat satu mobil pun yang melintas, tapi saat melihat Pak Alvin datang dengan memasang wajah polos muncul bak pahlawan kesiangan.
"Kami tadi nyaris saja dibeegal! Untungnya Ibu Bella dan Bella."
Sontak kututup mulut Marini. Otomatis dia tidak bisa melanjutkan ucapannya yang terjeda. Kubisikkan lirih ke telinga Marini, "Jangan bilang-bilang kalau aku dan Ibu yang runtuhkan penjahat tadi."
"Kenapa kalian ada di sini?"
"Harusnya aku yang nanya. Kenapa Pak Alvin yang terhormat ada di sini juga?" Todongku.
Bukannya dijawab dia malah terkekeh kecil. "Kamu lupa, Bella. Kalau hari ini ada acara di kampus."
Sialan, rupanya aku lupa. Kalau hari ini ada acara kampus kemah di sekitar air terjun di daerah vila yang kebetulan Marini sewa. Saking terlarut masih dalam duka. Aku menyadari bahwa sudah lama tidak masuk kampus maupun tidak masuk kerja.
"Saya mau ke rumah teman yang ada di daerah sini."
"Alasan aja. Di sini aku nggak lihat pemukiman warga," hardikku.
"Hai, kalian kenapa ribut?" celetuk Ibu, kulihat dia membuka kaca mobil menatapku nyalang.
"Ada rumah warga. Tinggal lurus lagi maju dari sini." Pak Alvin menjawab.
Aku memutar bola mata sebal. Kenapa harus bertemu dengan Pak Alvin? Menyebalkan sekali, niat hati ingin liburan, justru bertemu dosen yang sudah lama kutinggalkan mata pelajarannya.
Masih dalam mode sebal dan mengerucutkan bibirku. Tiba-tiba Pak Alvin menarik tanganku. "Bu, saya pinjam Arabella dulu. Dia harus terima pelajaran dari saya."
"Pelajaran?" Aku tertegun sambil menepis tangan Pak Alvin.
"Kamu mau ngapain?" dumelku memicingkan mata.
"Bella, ikut aja sama Pak Alvin. Lagian kamu udah nggak masuk kampus. Wajar dosenmu itu mau berikanmu pelajaran," celetuk Ibu.
Sontak mataku membulat sempurna seketika itu juga. Tubuhku membeku mencerna ucapan Ibu.
"Silakan bawa Arabella, Pak Alvin. Asal balikin anak saya dengan utuh!"
Ya ampun, Ibu sempat-sempatnya memberikan wejangan seperti itu pada Pak Alvin. Mau tidak mau, aku harus mengekori lelaki itu. Berhubung aku juga patuh dengan ucapan Ibu.
*
Di perjalanan menuju tempat tengah acara kampus diselenggarakan. Aku sibuk berkutat dengan ponselku. Malas sekali kalau harus mengobrol manis dengan Pak Alvin. Entah kenapa aku merasa kalau aura lelaki yang tengah menyetir itu gelap? Sungguh orang paling menyebalkan di muka bumi ini.
Jelas menyebalkan sekali. Aku sebenarnya pernah ada masalah dengan skripsi yang sampai saat ini belum selesai gara-gara dia. Tugasku tertunda gara-gara dia yang sibuk, padahal aku baru terlambat sepuluh menit. Namun, dia sudah marah-marah belum sempat melihat tugasku sambil mendebrak meja. Mau tidak mau, aku harus mengulang dengan berat hati.
Kalau ingat itu, rasanya ingin aku tenggelamkan lelaki ini di laut. Eh, dia malah menjadi kakak iparku.
"Apa kabar?"
Eh, dia ngomong apa? Nanya kabarku. Aku pura-pura tidak dengar. Tanganku asyik bercanda lewat wesaap dengan Adiba.
"Bella, apa kabar?"
"Kelihatannya bagaimana?" jawabku ketus.
"Kamu kayaknya butuh teman."
"Temanku banyak."
Malas aku melihat wajah Pak Alvin. Aku membuang muka sembari menghembuskan napas panjang.
"Bukan teman itu. Maksud saya teman di ranjang."
Degh!
Dia bilang apa? Teman di ranjang. Jangan-jangan dia mau macam-macam.
"Ngapain ngomongin ranjang?" Aku tatap dia dengan nyalang.
"Kamu janda kembang 'kan. Adikku belum sentuh kamu. Emangnya kamu nggak mau gitu nikah lagi?"
"Pak Alvin, tadi pagi salah makan, yah. Kayaknya kebanyakan makan pepes beling. Jadi kalau ngomong langsung tancap."
Brett!
Aku mengeluarkan jurus kentut. Sontak dia menghentikan mobilnya. Di luar suasana sudah gelap. Aku terlonjak saat mobil yang dikendarai oleh Pak Alvin berhenti di bahu jalan. Di sana tidak ada lampu jalanan. Cahaya hanya dari lampu kendaraan yang melintas. Kulirik Pak Alvin yang ada di sampingku tampak wajahnya kesal.
"Kamu makan, Bella. Bau telur busuk?" celetuknya.
"Pak, ngapain? Berhenti di sini. Ayo, maju."
"Maju ke mana? Ke sini," jawabnya sembari tersenyum simpul itu yang kulihat. Eh, dia malah beringsut mendekati. Sorot matanya sulit kutebak. Sebenarnya Pak Alvin ini mau apa?
"Mau ngapain?" Aku memasang dua tangan mengepal, tetapi dengan sigap rupanya Pak Alvin mengapit kedua tanganku.
"Saya cuma tanya baik-baik. Kamu emang nggak mau punya teman di ranjang?"
"Pertanyaan macam apa ini?" tegasku memelotot.
"Tinggal jawab aja. Saya tampan, lho. Kamu nggak mau gitu sama saya?"
"Jawab apanya, Pak Alvin. Ini sudah mengangkut ranah pribadiku. Oke, aku itu adik ipar Anda. Tapi, bisa jaga sopan-santunnya 'kan!" bentakku. Sebenarnya ingin kutinju wajah Pak Alvin yang mempunyai tingkat percaya diri seratus persen.
Benar-benar Pak Alvin tengah mabuk genjer sepertinya. Ucapannya nyaris saja membuat jantungku melompat keluar dari tempatnya.
"Bella, jawab? Kamu punya mulut dan telinga gunanya apa?"
"Ish, mulai timbul nyebelinnya 'kan. Dasar batok kelapa," celetukku.