Tamu surut pulang. Aku berdiri bergeming di panggung pelaminan sendiri. Iya, hanya sendirian. Fahri tidak kunjung datang sampai tamu undangan tidak tampak di pelupuk mataku.
Bahkan, Marini dan Adiba serta ibuku menemaniku di panggung pelaminan dan akhirnya mereka menggiringku menuju kamar pengantin. Tanganku diapit oleh Marini dan Adiba.
“Fahri nggak apa-apa ‘kan?” tanyaku sendu.
“Nggak apa-apa. Mungkin dia hanya kelelahan,” jawab Marini singkat.
Tiba di depan kamar. Aku melihat Pak Alvin dan kedua mertuaku berdiri di depan kamarku. Tampak mereka pucat dan terlihat yang kutangkap dari bola mata wanita yang melahirkan Fahri, tenggelam dalam kesedihan.
Tak berselang lama. Dokter keluar dari kamarku.
“Bagaimana keadaan suamiku?” tanyaku sembari mendekati dokter.
“Dia kelelahan. Biarkan dia istirahat,” jawab dokter itu sembari mengukir senyum getir.
“Suamiku punya penyakit apa?”
“Apakah Anda tak tahu?” Dokter itu mengerutkan dahinya.
Langsung aku menggelengkan kepalanya. Fahri tak pernah cerita apa-apa, semenjak kami saling kenal dan sampai kini aku duduk berdampingan dengannya sebagai istrinya.
“Suami Anda mengidap penyakit emboli paru dan kanker. Dia pernah menjalani kemoterapi atau operasi, seperti operasi tulang.”
Bak ada petir menggelegar di depanku. Tulang-tulangku luluh lantak. Aku limbung, tangan Ibu langsung memegangi lenganku. Ingin menengok saja rasanya berat dan aku tersenyum getir.
“Neng, jaga Fahri baik-baik, yah,” ucap mertuaku sambil mengusap punggungku.
“Iya, Bu.”
“Kalau begitu kami pamit pulang,” sambung Pak Alvin.
Aku mengangguk pelan dan berusaha tersenyum lebar seraya mengecup punggung tangan ayah dan ibu Fahri yang kini menjadi orangtuaku juga.
Marini dan Adiba pun pamit pulang.
Lalu aku masuk ke dalam. Melihat nanar Fahri yang duduk dengan wajah pucat dan melempar senyum kepadaku.
“Maaf, aku tak bisa menemanimu sampai acara selesai,” ucap Fahri.
“Tak apa-apa yang penting kamu tak apa-apa,” jawabku sambil duduk di tepi ranjang pengantin kami.
Tangan Fahri meraup bingkai wajahku. Senyumnya mengembang sempurna begitu menyejukkan hatiku. Wajahnya mendekat dan hawa panas mulai merasukiku.
Fahri mencium bibirku begitu lembut dan perlahan. Sesekali dia menggigit daguku.
Lantas aku mengaitkan tanganku di antara kedua lengannya. Kini kami saling mengapit satu sama lain, berpagutan mesra merenda kasih sayang. Kami saling mendekap memancing gairah gejolak menguasai jiwa. Hampir sepuluh detik kami beradu lidah.
Hangat tubuh Fahri terasa sekali dan aku pun menjadi candu ditambah aroma parfum menguar menusuk hidung. Kali ini aku ingin menyerahkan seluruh hidupku pada Fahri.
Iya, hanya Fahri yang mampu membuat aku tersenyum dan merasakan dicintai dengan tulus.
“Fahri,” desisku.
“I love you, Arabella,” tandas Fahri sembari mengecup dahiku dan tanganku kini mendarat di bahu yang kini menjadi suamiku. Tangannya mengusap puncak kepalaku.
Aku mendorong tubuh Fahri pelan. “Aku ganti baju dulu.”
“Tunggu, jangan pergi. Aku ingin tidur di pangkuanmu sekarang,” balas Fahri tersenyum simpul.
“Tapi, aku masih memakai kebaya.”
“Kamu sangat cantik,” ucapnya lirih.
Pipiku merona memerah dan aku duduk selonjoran di atas kasur berukuran king size. Kini kepala Fahri berada di pahaku. Bahkan, dia memintaku untuk mengusap-usap kepalanya.
“Fahri, kamu pasti sembuh.”
Aku melihat mata lelaki itu pun mengerjap-ngerjap. Terbit senyum dari bibirnya. "Jika aku mati bagaimana?”
“Sssttt, jangan bilang seperti itu. Apa kamu tega meninggalkanku sendirian?” protesku sambil menempelkan jari telunjukku di bibir Fahri.
Kami saling bertatapan. Aku merasakan kehangatan cinta dari tatapan seorang Fahri.
“Lagu apa yang kamu suka?” tanya Fahri sembari mencubit hidungku. Tangannya tidak bisa diam, berselancar di ceruk leherku. Mampu membuatku geli dan merinding. Itu yang kurasakan.
“Aku suka lagu Denting.”
Lantas kulihat Fahri mengambil ponsel yang teronggok di sampingnya. Fahri menyalakan musik MP3 lagu Denting menggema seantero ruangan kamarku. Kemudian dia mengajakku menari sembari menikmati suara alunan musik itu.
Aku menaruh kepalaku di pundak Fahri. Tinggi tubuh Fahri lebih tinggi dan aku bisa nyaman berada di dekatnya. Bahkan, aku sudah merasakan arti dari kata nyaman.
Kami berdansa bersama hampir seperempat jam.
“Aku mau ganti baju,” bisikku.
“Iya,” jawab Fahri singkat.
Lantas aku lekas meraih kado dari Adiba. Dia sudah meminta agar kupakai di malam pengantin. Aku pun beranjak masuk ke dalam kamar mandi. Menanggalkan kebaya dan kini memakai lingerie merah.
Kubuka pintu kamar mandi. Berjalan gontai dengan pinggul yang berlenggak-lenggok. Aku merangkak naik ke ranjang. Tampak Fahri terpejam terlentang, dengan sedikit menggodanya aku mengecup bibirnya sekilas.
“Fahri, bangun.”
Tak ada respon sama sekali. Aku sudah menepuk pipinya berkali-kali.
Degh!
Jantungku mencelos dari tempatnya. Kala aku meraba tangannya yang lemas dan terasa dingin.
“Fahri, banguuun!”
Aku mengecek denyut nadinya. Spontan aku teriak histeris sekencang-kencangnya membelah pekat malam.
“Tidaaaaak, bangun Fahriiiii!”
“Kamu kenapa? Fahri bangun!”
Suara ketukan pintu dan suara Ibu terdengar sayup-sayup. Aku menuruni ranjang dan berjalan tertatih-tatih dengan genangan air mata yang membasahi pipi menjadi saksi kelabunya malam pengantinku.
Kubuka pintu dan langsung kupeluk Ibu.
“Fahri, Bu.”
“Kenapa dengannya?”
“Fahri.” Rasanya pandanganku kunang-kunang. Kepala mendadak pusing, dan aku limbung tak sadarkan diri. Semuanya menjadi gelap gulita.
*
“Fahri, di mana?” Lolos kalimat itu yang keluar dari mulutku.
Aku berusaha mengumpulkan separuh nyawaku yang tadi entah pergi hilang ke mana? Aku pun meremas pelipisku dan pandangan mengedar di sampingku ada Marini, Adiba, dan Ibu. Serta aku melihat Pak Alvin yang berdiri di depanku dengan mata yang sembab.
Tunggu ada apa ini? Kenapa aku mendengar suara tangisan? Bahkan, kulihat Ibuku masih menitikkan air mata.
“Bu, ada apa?” tanyaku lirih.
Tanganku meraba ke pakaianku yang berubah memakai gamis hitam.
“Kamu kuat dan Ibu yakin kamu pasti bisa melewati ini semua,” urai Ibu sambil menyodorkan aku hijab berwarna hitam.
“Apa ini? Kalian jangan bercanda. Fahri baik-baik saja ‘kan. Tadi kami berdansa bersama dan tertawa juga,” hardikku sambil menepis tangan Ibu. Lalu aku menatap nyalang kepada Pak Alvin. “Pak Alvin, ada apa ini? Bisa jelaskan.”
“Arabella, tenang.” Marini menepuk pundakku.
Tidak ada yang mau menjawab pertanyaanku. Lalu aku pun terburu-buru turun dari ranjang dan keluar dari kamar.
Mataku mendadak pedih dan kakiku berhenti. Kala melihat Ibu Fahri menangis dan memeluk tubuh yang ditutupi kain cokelat sudah terbujur kaku.
“Fahri." Aku langsung menghambur memeluk tubuh suamiku yang sudah tidak bisa lagi merengkuh tubuhku dengan hangat. Sudah tidak ada juga canda tawa bahagia di antara kami, aku tidak akan bisa melihat senyum Fahri yang mampu membuatku terlena dan terhanyut dalam dekapannya.
Tuhan, kenapa merenggut nyawa orang yang aku sayangi? Baru saja aku merasakan kebahagiaan mengecup kebahagiaan menjadi pengantin. Dia yang menjadi suamiku beberapa jam yang lalu. Namun, kini kebahagiaan itu sirna ditelan bumi. Pil kepahitan yang kutelan mentah-mentah saat ini.
Aku menangisi jenazah suamiku sedu-sedan dan kukecup dahinya seraya lirih berkata, “Selamat jalan, Fahri. Semoga kamu tenang. Kenapa pergi meninggalkanku tiba-tiba? Kamu jahat.”
Rasanya seperti kuku yang ditarik paksa dan itu sangat menyakitkan. Hidupku tanpa cintanya, bagai malam tanpa bintang. Aku seperti tidak mempunyai jiwa. Kini aku terduduk dengan pandangan kosong.
"Nggak mungkin. Ini pasti mimpi," lirihku seraya menepuk pipiku sendiri. Melirik ke arah mertuaku yang masih menangis.
Apakah ini mimpi? Pasti ini mimpi. Oh, Tuhan. Bangunkan aku dari mimpi buruk ini.