Tetap Menunggu

1330 Kata
Mataku membulat sempurna seketika itu juga saat melihat pelaku yang mengambil motorku, memakai topi putih dan jaket bola. Wajahnya tidak asing bagiku. Aku dan Marini saling melempar pandangan. Begitu jelas wajah lelaki tersebut terpampang di kamera. Kedua tanganku mengepal kuat. "Bagaimana ini, Bella? Mau kita usut ke polisi," tanya satpam yang menunjukkan rekaman CCTV. "Nggak usah, Pak. Biar ini urusan saya," balasku sambil memutar badan dan berjalan tergesa-gesa. "Bella! Mau ke mana kamu?!" panggil Marini. Aku tidak peduli panggilan Marini. Lebih baik aku mengambil motorku dan aku tahu harus pergi ke mana. Untuk menghindari Marini lantas terus aku berlari dan untungnya di sana ada ojeg pangkalan. "Pak ojeg! Darurat, nih. Nggak apa-apa 'kan nggak pakai aplikasi," seruku sambil tersenyum lebar. "Boleh, Kak. Ayo, naik." Langsung saja aku naik ke motor matic itu dan Pak ojek itu tancap gas. Aku hanya tinggal menyebutkan nama alamat yang dituju, Pak ojek ini manggut-manggut mencerna ucapanku. Kami menerobos ke jalanan yang padat merayap menjelang petang. Di mana kendaraan lalu-lalang baik itu roda empat maupun roda dua memadati jalan raya. Sisi kiri dan sisi kanan jalan gedung-gedung tinggi pencakar langit dan aku mendongak ke atas di mana langit sudah berubah warna jingga. Suara azan menerpa indra pendengaran. Berhubung antara tempat kerjaku ke rumah si pelaku nyaris memakan waktu satu jam, ditambah dengan macet yang membuat motor yang kutumpangi sedikit lambat lajunya, tidak bisa mengebut. "Pak, aku berhenti di sini aja dulu," ucapku sambil menepuk pundak si Bapak ojek. "Oh, iya. Di sini aja, beneran? Nggak mau sampai alamat yang tadi Kakak sebutin." "Nggak usah, Pak. Aku mau salat dulu," jawabku singkat dan langsung menyodorkan uang selembar berwarna biru. Kulihat Bapak ojek ini terpaku dan mungkin ragu melihat uang yang masih ada di tangan saya. "Dua puluh ribu aja, Kak." Polos sekali Bapak ini dengan hanya meminta uang dua puluh ribu. "Ini ongkos, Pak. Terima aja, lagi pula ini lumayan jauh. Terima kasih, Pak." Aku sedikit memaksa dengan tegas berkata seperti itu sambil menaruh uang itu ke tangannya. "Tapi, Bapak tak mengantar Kakak sampai ke alamat tujuan. Dan Kakak meminta hanya di sini. Saya malu, Kak. Setiap hari mencari uang tanpa mengingat Tuhan," urainya menunduk sedih dan dia pun menerima uang dariku. "Pak, jarak dari masjid ke rumah yang aku tuju itu dekat, kok. Bisa jalan kaki, berhubung ini sudah magrib. Aku mau mampir salat dulu," jawabku sembari berjalan gontai. Saat aku mau masuk ke tempat wudu, sudut mataku menangkap siluet tubuh Bapak ojek yang tengah masuk ke ruang wudu khusus lelaki. Senyum mengembang dari bibirku melihatnya. Aku hanya wanita biasa yang masih berlumuran dosa dan sangat jauh untuk disebut sebagai wanita soleha karena penampilanku yang belum berhijab. Akan tetapi, setidaknya kewajibanku sebagai seorang muslim mendirikan salat masih bisa kujalani dan anehnya, kebiasaan mengeluarkan gas alamku kalau saat salat mendadak mereda tidak berontak keluar. Tahu saja, kalau aku tengah menghadap ke Sang Pencipta. Usai salat Magrib. Aku pun merapikan mukena yang sudah disediakan di masjid itu. Kemudian, aku terburu-buru keluar dari masjid yang di mana penampilanku menjadi sorotan karena aku masih memakai seragam pegawai bank. Lantas aku mengayunkan tukai kaki ke arah barat dengan perasaan yang berkecamuk dalam bentuk ingin marah dan memaki. Saat tiba di depan rumah bercat oranye dan berwarna putih itu. Aku menekan bel pagar besi berwarna putih, berharap kalau pemilik rumah itu akan keluar dari rumah. Butuh waktu seperempat jam aku menunggu, tetapi tidak ada yang keluar dari rumah itu sampai sebuah mobil berhenti berwarna putih di depanku. Sontak aku beringsut memberikan jalan sembari memicingkan mata ke arah mobil yang baru saja tiba dari arah timur. Aku pasang mode kalem dan tenang. Berdiri sambil melipat kedua tangan di atas perut. Tampak seraut wajah lelaki yang tidak lain mantanku ini siapa lagi kalau bukan si Bellek. Dia mengulum senyum tipis, "Ada apa datang ke sini?" "Aku mau bertemu dengan adikmu?" jawabku ketus. "Kenapa dengan adikku?" Alexander mau mendekatiku. Namun, terdengar suara wanita yang baru turun dari mobil menghentikan langkahnya. Tatapanku langsung tertuju ke arah wanita cantik yang memiliki iris mata berwarna biru dan rambut terurai panjang. Wanita itu pun menggelayut mesra dan menaruh kepalanya di pundak si Bellek. Untungnya aku sudah tidak mempunyai perasaan apa-apa dan itu tidak akan menyulut cemburuku. "Kamu? Ngapain datang ke rumah kami? Masih mau goda suamiku!" Suaranya lantang dan cempreng. Bisa-bisanya si Bellek ini membalikkan telapak tangan dengan mudahnya seakan aku yang mengejar dia. "Strawberry apel, sorry nggak level," hardikku sambil mengibaskan tangan. "Lantas kamu ke sini mau apa? Malam-malam datang ke sini. Ini rumah Alexander suamiku," tanyanya. Dia wanita yang menjadi istri Alexander yang bernama Tralala Tralili. Eh, sebenarnya namanya Tamara, itu hanya sebutan aku ke dia yang kalau ngomong suka nggak pakai rem. "Iya, tahu. Itu suamimu bukan suamiku. Dengarkan dulu penjelasanku, Tralala," sanggahku membela diri mengelak apa yang dituduhkan oleh si Tamara ini. Aku melihat wajah Alexander diam saja seribu bahasa. Nyali lelaki itu seperti mengecil, tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Padahal tadi di tempat kerjaku. Dia melempar kata-kata manis. Giliran seperti ini, seperti tempe mendoan, mendadak lemas. "Kamu mau ngapain?" Tamara memangkas jarak mendekatiku dan berhubung aku tidak takut kutatap lamat-lamat wajah Tamara ini yang cantik sempurna. Aneh, sama si Bellek ini. Kenapa dia kejar aku? Padahal punya istri cantik. "Aku mau bertemu dengan si Boyboy," jawabku ketus. "Boy, mau ngapain?" timpal Alexander membuka suara. "Dia ngambil motorku. Aku tahu dari CCTV. Mana adikmu?" "Boy ngambil motormu? Masa?" Alexander terbelalak. "Nggak percaya emangnya? Besok datang aja lihat kamera CCTV, jelas sekali wajah adikmu." Tantang aku sambil menatap nyalang Tamara dan Alexander. "Eh, jaga ucapanmu. Nggak mungkin Boy kayak gitu," sela Tamara. "Aku nggak ada urusan dengan kalian berdua. Mana Boy?!" bentakku memelotot. Tiba-tiba saja Alexander menghambur mendekatiku dan tangannya meremas lenganku. "Kamu jangan cari perhatian saya dengan menuduh adikku." "Hai, ngomong sama kamu itu nggak bisa baik-baik, yah. Aku itu mau ketemu Boy. Dia itu ngambil motorku." "Motor jelek aja bangga," sahut Tamara dan dia langsung menarik tangan Alexander, "Sayang, ngapain pegang-pegang dia. Kamu masih cinta sama tukang kentut? Katamu dia itu kutilang dan miis kentut. Kamu dijampe-jampe sama dia 'kan," urainya. Apa? Aku mendengar ocehan Tamara seperti itu membuatku kesal. Bisa-bisanya si Alexander ini mengataiku seperti itu. "Memangnya kamu bilang apa ke istrimu itu?" tanyaku menatap nyalang ke arah Alexander dan mengurai pegangan tangannya yang bergelayut di lenganku. "Aku datang ke sini. Mau cari motorku, bukan cari masalah dengan kalian. Asal kamu tahu kalau suamimu ini godain aku terus sampai doainku jadi janda," lanjutku kemudian. "Udah burik, miskin, dan ngehalunya tinggi. Nggak mungkin kalau suamiku ini kejar kamu." Tamara mendorongku sampai aku terhuyung dan mundur. Punggungku mengenai pagar. "Awas, jangan halangi kami mau lewat dan masuk. Rumah ini tak terima orang miskin dan jelek kayak kamu." Tanganku mengepal dan sembari mengembuskan napas panjang. "Kamu bilang apa tadi? Aku jampe-jampe Alexander. Iya, ini jampe-jampeku." Lantas aku tepuk bokoongku tiga kali. "Dut, tunjukkan pesonamu!" ucapku dengan nada tinggi. Kemungkinan besar yang kutangkap dari seraut wajah Tamara kebingungan dia. Akhirnya, syalalala keluar gas alamku yang membuat Tamara langsung terjungkal mundur sambil menutup hidungnya. Dia menjauh. "Makan apa kamu? Bau bangkai." "Itu jampe-jampe peletku untuk Alexander. Gara-gara kentutku ini, dia belum move on," selorohku tegas sembari melirik ke arah Alexander yang hanya diam berdiri bergeming mematung. Maaf, Tralala Tralili. Bukan maksud mau mengajak perang, tetapi kamu yang sudah menghinaku meski itu memang kenyataannya kalau aku memang Miss kentut. Begitulah kata batinku bergumam dalam hati. Aku pun melangkah lebar melewati Alexander dengan sengaja kutabrak bahu kirinya. "Di mana Boy?! Aku mau ambil motorku. Apa ini jangan-jangan perintahmu?" "Sayang, ayo masuk aja. Nggak usah diladeni orang kayak gitu," sela Tamara sambil menarik tangan Alexander. Bisa-bisanya dulu aku jatuh cinta sama Alexander. Rupanya dia tidak konsisten dengan apa yang diucapkannya. Sebenarnya mau dia apa mendekatiku? Sementara aku masih berdiri kokoh. "Aku akan terus menunggu di sini. Sampai aku ketemu sama Boy." "Pergi sana. Biar Boy itu urusanku!" usir Alexander sembari mengibaskan tangannya. "Aku akan menunggu." "Sampai kapan?" "Sampai Boy balikin motorku. Kenapa dia curi motorku?" tandasku tegas dan berkacak pinggang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN