Surat Kontrak Pernikahan

1255 Kata
"Ayo, mau ngomong apa?" desakku sambil menatap nyalang lelaki yang menyebalkan ini. Aku sudah pasang wajah datar dan dua indra pendengaranku sudah siap untuk mendengarkan ucapan apa yang akan lolos dia katakan. Pak Alvin menyodorkan sebuah amplop putih. Sontak aku mengerutkan dahi. "Mau ngasih duit? Aku bukan pegawaimu." "Lihat dulu, Arabella." "Oke," jawabku singkat dan langsung merobek amplop putih tersebut. Saat dibuka ternyata itu kertas berisi tulisan panjang lebar uraian kalimat tulisan Pak Alvin dengan poin-poin yang membuatku tercengang. Poin pertama, Aku harus ikhlas kalau dia kerap bawa wanita lain di depanku. Poin kedua, jangan pernah ikut campur urusan Pak Alvin. Poin ketiga, beda kamar karena dia tak suka dengan aroma kentutku. Poin keempat, jangan pernah masuk ke dalam kamar Pak Alvin. Poin Kelima, harus pura-pura harmonis di depan keluarga dan jangan ada kata jatuh cinta di antara kami karena ini hanya dua belas bulan sandiwara cinta. Ya salam, pas aku baca poin ketiga. Sontak aku mendelik, Emangnya siapa yang suka sama aroma kentut? Semua orang juga tidak suka kalau dikentutin. Bagaimana lagi, aku harus protes sama siapa? Kalau memiliki kebiasaan jelek ini. Rasanya aku ingin pergi ke Negeri Antah berantah. "Lagi baca atau lagi tidur?" Otomatis aku mengangkat kepalaku dan menatap lamat-lamat wajah Pak Alvin. "Kenapa harus setahun perjanjian pernikahan kontrak ini? Kenapa nggak seminggu aja?" protesku kesal. "Yang penting intinya saya sudah mematuhi amanat Fahri dan permintaan Ibu untuk menikah denganmu. Emangnya saya akan cinta sama kamu gitu? Tukang kentut. Dan juga saya tak mau kalau kamu masuk ke area pribadi saya. Lantai kamar saya akan terkena virus dari tubuhmu. Biar saya yang bereskan kamar saya sendiri, Bella kamu ngerti nggak?" "Rupanya hanya Fahri saja yang mencintaiku dengan kekuranganku sama si Alexander itu. Dia pernah bilang dengan mendengar kentutku saja katanya sangat bahagia," tandasku sambil menaruh secarik kertas tulisan yang menurutku tak ada gunanya. "Lagipula siapa juga yang mau jatuh cinta sama, Pak Alvin? Amit-amit tujuh turunan dan tujuh tanjakan kalau aku jatuh cinta sama orang sombong," protesku sembari berdiri dan memutar bola mata sebal. Eh, Pak Alvin malah menyodorkan pulpen kepadaku. "Cepat tanda tangani." "Harus sekarang, Pak? Nggak nungguin aku mikir dulu gitu sambil kentut." "Mendingan kamu ngomong dulu sama bookongmu itu. Tahan kentutnya!" bentaknya memelotot. "Pak, teriak-teriak mulu. Itu tenggorokan isinya peluit?" "Bella, cepat. Saya nggak banyak waktu untuk bercanda sama Anabell." "Arabella, Pak. Namaku Arabella. Bukan Anabell. Kalau aku Anabell, pasti aku sudah masuk ke tenggorokan Bapak dan kusabit-sabit yang namanya jantung, hati, sama usus dua belas jari. Kalau bisa aku cabut kepala, Bapak. Biar nggak sombong." Kulihat Pak Alvin melipat kedua tangannya. "Kamu mau jadi mahasiswi abadi yang tak akan pernah keluar dari kampus, kalau tak mau menandatangani surat ini." Apa? Ancaman dia bukan kaleng-kaleng. Reputasi nama baikku di tempat kerja dan juga di kampus dipertaruhkan juga. Akhirnya, aku duduk setelah berpikir panjang kali lebar meski ini sebenarnya sangat berat hati menandatangani surat perjanjian kontrak pernikahan. "Saya akan menjadi suami yang tetap memberimu uang. Cuma saja saya nggak akan pernah mau menyentuh tubuhmu yang bau dan juga ileran kayak kamu. Jadi cewek nggak anggun kali," cerocosnya menuturkan itu. Setelah mendengar ocehan Pak Alvin dan aku tersenyum simpul lantas langsung kucoret pipi Pak Alvin, kuberi tanda silang. "Bella, ngapain coret pipi saya?" "Itu sebagai tanda kalau Pak Alvin itu perlu saya jauhi. Terlarang," jawabku asal sambil memutar badan dan membuang pulpen ke sembarang arah. Dia pikir siapa? Bisa-bisanya memberikan kontrak pernikahan. Berhubung ini permintaan Ibu, saya pasti tidak mau harus naik ranjang. Aku berjalan masuk ke dalam. Di ruang tamu sudah ada dua sahabatku dan kedua mertuaku. Mereka berpamitan pulang karena ini sudah malam. Begitu juga Pak Alvin yang berpamitan begitu lembut pada Ibu. Rasanya saat melihat dia bersikap manis seperti itu, ingin kutendang Pak Alvin di bagian aset milik pribadinya. Untungnya aku dipeluk oleh Marini dan Adiba. Dua sahabatku ini tidak tahu, kalau Pak Alvin serigala berbulu domba. Suasana di rumah sudah hening dan sunyi dalam sekejap mata. Aku duduk selonjoran sambil membuka kalung dari Pak Alvin. Aku tak sudi memakai kalung ini setiap hari. Lalu, kutaruh asal di meja. "Bella, kenapa dibuka?" tegur Ibu. "Nggak apa-apa, Bu. Aku gatal saja." "Pak Alvin ganteng, yah. Udah baik juga," urai Ibu sambil tersenyum lebar. "Ganteng dari sedotan Boba? Bu, suka sama Pak Alvin? Kenapa nggak nikah saja sama dia?" kilahku yang rasanya jengah mencerna Ibu selalu memuji Pak Alvin. Kemudian aku berdiri dan segera beranjak menuju kamar tempat paling nyaman. Suara Ibu memanggil, tidak aku indahkan. "Bella, ini kalungnya!" "Pakai aja, Bu. Aku gatal pakai emas alergi!" jawabku ketus. Esok harinya, pukul delapan pagi. Tukai kakiku melangkah dengan terburu-buru masuk ke gedung berwarna putih dengan seragam yang berwarna biru dengan rambut yang aku cepol bak pramugari dan juga aku memakai tas selempang. Di sana sudah banyak nasabah yang menunggu. Terbit senyum Marini menyambut hangat kedatanganku. Lalu, aku duduk di samping Marini. "Maaf, aku kesiangan." "Udah jampe-jampe belum? Biar nggak kentut di depan nasabah." Marini berbisik lirih. "Tenang, aku sebelum berangkat kompromi dulu sama kentut," jawabku sambil nyengir kuda. Jam kerja mulai dan aku harus bersikap profesional di depan nasabah, memasang wajah semanis mungkin hingga sampai satu jam berlalu, aku nyaris saja ingin pergi dari tempatku duduk saat melihat mantan duduk di depanku. Mau tidak mau aku harus menghadapi dia dengan sikap yang manis. "Mau apa kamu datang ke sini?" "Mau nabung. Masa nggak boleh datang ke sini." "Jangan bercanda, Belek. Aku lagi kerja." "Ntut, aku mau nabung beneran," jawabnya sambil menyodorkan uang kertas sepuluh lembar. "Kamu itu kayak tuyuul. Datang-datang di depanku bawa uang," dumelku mencebik. "Jangan gitu. Aku mau buka rekening di bank ini," timpalnya. Ya ampun, kapan kubisa terlepas dari bayang-bayang si bellek ini alias Alexander? Entah kenapa, aku spontan memanggil dia dengan sebutan bellek karena itu panggilan sayangku untuknya. Begitu juga sebaliknya Alexander memanggilku dengan sebutan ntut. Lelaki ini yang seperti tidak mempunyai urat malu dan tidak mempunyai urat putus asa. Padahal aku sudah menolaknya berkali-kali karena aku tidak mau menjadi orang ketiga di antara kehidupannya. Kendatipun demikian, Alexander terus mendekatiku. Berhubung Alexander adalah datang ke sini sebagai nasabah. Aku pun dengan berat hati menerima dia dan bersikap semanis mungkin di depan umum. Usai selesai urusannya. "Move dong, Bellek." Lolos aku mengatakan itu. "Tadi kamu sebut aku apa? Bellek. Jadi lidahmu masih terbiasa memanggilku itu." "Kamu lebih baik pergi. Jangan ganggu kerjaku. Lidahku lagi keseleo, harap dimaklumi," tandasku tegas dan berdiri. Berhubung ini gas alam juga mau keluar dengan terburu-buru aku berlari secepat kilat menuju toilet mau buang gas. * Hari menuju petang. Aku dan Marini keluar dari tempat kerja kami. Aku celingak-celinguk mencari motorku yang diparkir di tempat parkir mendadak raib. Seingatku tadi pagi ditaruh di depan pohon dekat dengan barisan motor lainnya sejajar. Namun, kini motorku tidak ada di sana, di mana tadi kusimpan. Sontak aku terperanjat dan panik langsung berlari sambil menyelisik dengan pandangan mengendar berkeliling sekitarnya mencari motorku. "Marini, motorku mana?" "Kamu yakin taruh di sini?" tanya Marini sambil menatapku nyalang dan aku menatap panik Marini sambil gigit jari manisku sendiri. "Iya, di sini. Motorku di mana?" keluhku sambil duduk dengan wajah cemberut. Capek sekali tadi putar-putar parkiran yang luasnya sebesar lapangan bola. "Sore-sore bukannya makan, ini justru aku harus mengikis lemak manja. Gara-gara cari motor." "Terus gimana, dong? Kalau motormu hilang. Ayo, kita laporan. Siapa tahu kita bisa tahu siapa pelakunya dari CCTV?" ajak Marini sambil menarik tanganku. Jangan ditanya lagi. Bagaimana raut wajahku saat ini? Pucat pasi, mengalahkan Mbak Kunkun. Itu motor belum lunas, masalahnya. Malang banget nasibku, kehilangan suami dan kehilangan motor. Aku berjalan bak melayang tidak menginjak ke tanah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN