Angin dari arah Utara sangat kencang dan pohon-pohon yang menjulang tinggi di sekitarku bergoyang-goyang, daun-daunnya seakan melambai-lambai. Suara petir tiba-tiba terdengar memecah keheningan dan keremangan malam dan kurekatkan tanganku menyilang di depan dadaa. Alam memberi kabar kalau sekejap lagi akan hujan, tetapi aku masih bertahan berdiri di depan pagar rumah si Bellek. Kalau tak menunggu si Boy, pasti aku sudah angkat kaki dari sini.
Gemuruh di dadaa bergelayut gelisah dan marah karena aku sudah berdiri di sini sudah karatan hampir memakan waktu tiga jam. Berhubung aku pegal berdiri terus. Aku pun duduk sambil selonjoran dan jemariku sibuk mengabari Ibu kalau aku akan pulang telat. Entah sampai kapan aku menunggu si Boyboy itu?! Asem, itu anak. Kalau ketemu aku pastikan itu giginya tinggal dua.
Terdengar suara motor dari kejauhan. Ah, ini pasti si Boyboy anak seetaan!
Benar saja dugaanku tidak melesat. Si Boyboy yang jauh berbeda sekali dengan si Bellek. Berbadan tambun dan hitam manis sepertinya dia bukan keluarga si Bellek. Pasti kalau orang yang melihat selintas tidak akan menyangka kalau si Boy ini adiknya Alexander. Dia menghentikan motornya sambil tersenyum simpul.
Kurentangkan kedua tangan dengan tatapan menyalang.
"Eh, Boy. Mana motorku?!"
"Motor apa, Bella?"
"Motorku. Masa aku nuduh tanpa bukti! Mana motorku!"
Boy turun dari motor dan melipat kedua tangannya di depan dadaa. "Cantik-cantik jangan galak." Dia berani sekali dengan tangannya yang terulur mencubit pipiku. "Kenapa datang ke sini, kangen sama kakak gue atau kangen sama gue?" lanjutnya kemudian.
Wah, ini si Boy. Bangunin macan tidur. Tanpa menjawab ocehan Boy. Langsung kulayangkan tinju ke arahnya, tetapi pemuda itu dengan sigap menahan seranganku seraya berkata, "Bilang aja kalau lu kangen sama kakak gue."
"Kangen gundul lu!" bentakku sambil menendang Boy sampai pemuda itu terhuyung mundur sambil memegangi perutnya yang kemungkinan besar itu sangat sakit sekali berhubung aku kerahkan tendangan bebas terbaik.
"Bella!" Boy memelotot.
"Mana motor? Aku punya rekaman CCTV."
"Rekaman apa? Nggak usah ngarang. Bilang aja kamu ke sini kangen sama kakak gue dan atau kangen sama gue."
Boy tiba-tiba mencengkram erat lenganku. "Lu lupa apa yang terjadi dulu?"
"Berengseek!" Aku geram dan berupaya mengurai cengkramannya. "Kalau nggak mau ngaku. Aku akan lapor polisi untuk nangkap pencuri," uraiku melanjutkan. Berharap jika Boy akan mencerna dan berubah pikiran. Namun, nyatanya si Boyboy ini keras kepala sama dengan si Bellek.
"Lu juga cinta sama gue 'kan. Kita bertemu pertama kali di lapangan dan saat gue terluka karena jatuh. Lu dengan sigap membantu gue dan mengobati luka di lutut. Apa lu lupa kalau lu pernah bilang suka sama senyum gue yang manis melebihi gula?"
"Nggak usah pede banget," sanggahku sambil meninju mulut si Boy. Aku tidak mau dia baper gara-gara masa lalu. Mana mungkin aku mencintai Boy.
Sebelum aku mengenal si Bellek, memang lebih dulu mengenal si Boy, dia itu teman main aku waktu hobi main layang-layang. Jangan ditanya kenapa aku suka main layang-layang? Aku selalu suka saat melihat layang-layang terbang di langit begitu megah dan kebetulan sekali Boy ini juga hobi main layang-layang dulu.
"Tiap orang yang melihatmu pasti akan menolongmu. Jadi jangan salah paham."
"Gue mau jadi suami lu. Lu janda 'kan? Jadi janda jangan jual mahal." Boy memicingkan mata.
"Mesti jual mahal karena gue itu berharga untuk orang yang tepat," elakku sudah kembali siap untuk menyerang. Aku ingin merontokkan gigi Boy.
Tiba-tiba terdengar suara si Bellek dan aku pun menoleh ke belakang di mana tanganku masih melayang di depan muka si Boyboy itu.
Tampak Alexander berjalan tegak dan terburu-buru memangkas jarak mendekatiku dan Boy.
"Stop, Bella!"
"Aku nggak akan stop. Kalau dia nggak mau balikin motorku!"
"Boy, apa benar kamu ambil motor Bella?"
"Nggak, Kak. Gue nggak mungkin curi motor."
Dasar si Boyboy bohong. Jelas-jelas aku melihat wajah si pemuda itu. Dia mengelak sambil memberikan alibi.
"Gue punya motor lebih bagus dari motor dia. Untuk apa gue curi motor dia!"
"Alasan lu!" sentakku sambil langsung memberikan bogem mentah ke arah pipi Boy. Aku tidak peduli lagi kalau si Bellek menyaksikan secara langsung aku menyerang adiknya. Tiba-tiba tangan kekar merangkul pinggangku.
"Tenang, Bella!" bentak Alexander.
Hujan deras turun menjamah bumi. Rintik-rintik itu berkejaran-kejaran memberikan ritme nada kesenduan yang aku alami saat ini. Jantung seakan mencelos dari tempatnya kala aku merasakan kehangatan tubuh si Bellek ini. Datang begitu saja tanpa permisi kenangan kami berdua melintas seperti kereta exspres. Aku memejamkan mata sesaat, kenangan kami merasuk jiwaku.
Dua lelaki ini seperti hantu yang hadir mendadak dan berupaya menghancurkan hidupku tanpa permisi lagi. Rinai datang membasahi sekujur tubuh.
Aku berontak melawan. Kungkungan dari si Bellek ini membuatku seperti kehilangan pasokan oksigen.
"Lepasin aku. Kalian berdua mau apa?!"
"Kakak, gue nggak terima kalau dia nikah sama dosennya."
Apa ini? Si Boy bilang tidak terima kalau aku mau menikah dengan Pak Alvin. Apa yang mereka berdua rencanakan? Rupanya kabar aku dan Pak Alvin sudah terdengar sama si Boy.
"Lepasin. Kalian mau apa?!"
"Sayang! Ngapain peluk janda gatel itu!" Suara dari si Tralala Tralili itu seperti angin segar di saat aku dalam cengkeraman Alexander.
Buru-buru Alexander melepaskan tangannya dari pinggangku. Lantas aku pun menyikut perut Alexander. "Kalian berdua pasti kerja sama!"
Dering ponsel berbunyi nyaring memekak telinga dan itu bunyi berasal dari dalam tasku. Untungnya tasku anti air seperti yang punyanya tahan patah hati.
"Janda gateel. Pergi dari sini!"
"Jaga ucapannya Tralala Tralili," tukasku mendelik. Aku melirik ke arah Alexander dan ke arah Boy yang mendadak diam membisu masih berdiri bergeming membeku dengan kedua tangan mereka yang mengepal.
"Kamu datang malam-malam ke rumah cowok. Nggak ada malu."
"Ayo, kita masuk!" Alexander merangkul bahu si Tralala Tralili.
"Lepas! Aku nggak mau kalau urusan masa lalu kalian belum selesai dan rumah tangga kita akan terkena imbasnya gara-gara kisah kasih kalian yang belum usai."
Aku langsung terkekeh kecil sambil tersenyum lebar. "Jangan salah paham, Tralala Tralili aku datang ke sini urusan motor. Bukan karena urusan cinta yang belum usai. Lagipula aku punya calon suami yang baik dan tampan. Suamimu tak ada apa-apanya," tandasku tegas sambil mengangkat wajah seolah menantang Tralala Tralili.
"Bella, gua antar lu pulang," ucap Boy sambil menarik tanganku.
"Nggak usah so baik, gua cuma minta balikin motor."
Suara klakson mobil membuat aku tercengang melihat mobil yang sudah tidak asing ada di depanku dari riuhnya suara hujan tampak keluar siluet tubuh lelaki dari dalam mobil itu.
"Ngapain kamu di sini?"
"Pak Alvin."
"Hai, lepaskan tanganmu dari calon istri saya!" Pak Alvin langsung menghambur dan menghantam wajah Boy. Otomatis pemuda tambun itu ambruk ke bawah dan tangan Pak Alvin dengan cekatan meraup lenganku serta mengampitku lalu dia menyibakkan poniku dengan tatapan hangat.
"Kamu ngapain di sini?" lanjutnya menatapku dan aku pun tercengang melihat sikap Pak Alvin yang seperti berbeda dengan biasanya. Apakah dia tengah salah makan hari ini? Oh, iya. Aku lupa kalau hubungan kami hanya sandiwara saja.
"Motorku hilang dan dia yang ambil." Tunjukku ke arah Boy yang tengah berdiri dengan tatapan menajam.
"Masuk dulu. Mau motor, biar saya yang belikan."
"Bukan gitu, Pak Alvin. Aku beli motorku dengan jerih payahku bekerja. Setiap bulan aku bayar itu motor dan tiba-tiba."
Ucapanku terjeda karena Pak Alvin langsung mengecup bibirku di saat aku tengah mengoceh. Sontak mataku membulat sempurna seketika itu juga bersamaan dengan derasnya hujan seperti masuk ke pori-pori kulitku. Debaran jantung tidak ada akhlak mulai memberikan denting dawai asmara yang aku cegah agar tidak masuk ke romansa cinta Pak dosen pemain wanita ini.
Tuhan, jangan sampai aku jatuh hati pada Pak Alvin.
"Apa-apaan ini?!" sentak Alexander.
"Sayang, ngapain kamu marah melihat Bella sama dia?"
Pak Alvin mengurai kecupannya dan menyipitkan matanya ke arah Alexander dan si Tralala Tralili. Jelas sekali kulihat Pak Alvin ada sorot geram.
"Kenapa protes? Bella itu calon istri saya dan saya akan memilikinya. Dan kewajiban saya menjaga dia juga." Lantas Pak Alvin menarik lenganku dan menggiringku agar masuk ke dalam mobil.
"Boy, aku akan lapor ini ke polisi!" ucapku sebelum masuk ke dalam mobil.
"Coba aja. Gue nggak takut." Boy mengerlingkan mata dan melambaikan tangan.
"Bella, undang mereka bertiga ke acara pernikahan kita. Biar mereka tahu kalau kita saling mencintai," cetus Pak Alvin sambil membuka pintu mobil untukku.
"Ah, palingan nanti cuma sebentar jadi istri. Kamu akan tetap jadi janda," sindir si Tralala Tralili.
Aku dan Pak Alvin saling bertatapan. Lantas Pak Alvin menengok ke arah di mana Tralala Tralili itu menggelayut mesra di pundak Alexander.
"Kalau doa itu berbalik kepada kamu bagaimana? Jadi janda," hardik Pak Alvin tegas.
"Hai, jaga ucapanmu!" Alexander terbelalak mencerna ucapan Pak Alvin.
Aku takut di sini semakin keruh. Lekas aku menimpali ucapan si Bellek. "Datang aja ke pernikahan kami. Dan jangan kasih doa yang macam-macam."
Sebenarnya malas sekali harus mengundang mantan. Berhubung mereka sudah menganggapku rendah. Ingin kuberi pelajaran pada si Bellek dan Tralala Tralili.