Sebenarnya aku tak mau melakukan hal ini. Namun, apa daya saat desakan Ibu terus mendorongku. Ini adalah hari di mana aku harus memberikan jawaban. Aku mematut diri di cermin memakai gaun berwarna hitam sampai di atas lutut. Tanpa lengan dan ini sengaja aku melakukan hal ini. Terbit senyum kecil dari bibirku saat berdiri sembari mengibas-ngibaskan rambut. Memakai warna hitam, ini hari dukaku seperti menggali tanah untuk kuburanku sendiri.
Ah, aku sudah cantik dan sexi. Semoga saja rencanaku berhasil. Ini dandanan yang tebal dengan riasan yang mencolok dengan ditambah memakai lipstik merah meriah. Ah, aku seperti wanita penghibur yang tengah bergoyang di atas panggung.
"Arabella!"
"Iya, Bu." Buru-buru aku beranjak keluar sembari membuang napas panjang sambil berjalan gontai menghampiri Ibu yang rupanya sudah berdiri di depan kamar sambil melipat kedua tangannya.
"Apa-apaan ini, Bella? Kamu mau dangdutan di mana? Ini acara keputusan jawabanmu bukan acara nyanyi, itu pakai berapa lapis bedaknya. Aneh tahu, bukan kaya Arabella. Tapi, malah kayak Anabell!" dumel Ibu yang kalau ngomong itu suka nyelekit sampai ulu hati dan suaranya tidak pakai saringan gorengan.
"Ini makeup masa kini biar kayak Barbie."
"Bukan Barbie kamu, Bella. Tapi, Bellek."
"Ibu, aku gini-gini anak Ibu, lho," dumelku sambil menggelayut di lengannya.
Kami pun berdua berjalan bersisian menuju ruang tamu. Saat tiba di tempat yang menurutku itu atmosfer sangat panas. Kuselisik di sana ada kedua mertuaku dan melihat Pak Alvin duduk dengan tegak memakai jas berwarna hitam.
Ihk, itu orang kenapa sama-sama pakai warna hitam? Padahal kami tidak janjian.
"Duduk, Bella." Ibu memintaku duduk.
Aku yang masih berdiri sempat melirik ke arah foto pernikahanku dengan Fahri yang masih terpajang pigura foto itu di ruang tamu. Aku pun tersenyum getir sambil duduk dan dengan posisi menundukkan wajah. Agak tidak punya berani menampakkan wajahku yang sudah kupoles sedemikian rupa. Kendatipun demikian, rupanya tidak ada yang protes dengan yang kupakai saat ini.
"Kamu cantik banget, Bella," ucap Ibu Pak Alvin.
Menyebalkan, bukan? Ingin tampil jelek di depan kedua mertuaku dan di depan Pak Alvin. Kenapa aku terima pujian?
Mau tidak mau. Aku angkat wajah dan menyunggingkan senyum tipis, "Terima kasih, Bu."
"Bagaimana, Bella? Sudah ada jawaban. Ini sudah satu minggu."
Pertanyaan mertuaku seperti tusukan jarum suntik yang membuatku nyaris saja ingin pergi. Aku takut jarum suntik.
Hening.
Aku masih tertegun sembari meremas-remas jemariku yang kata orang, jemariku kelingking semua saking kurusnya aku.
"Bella, jawab," bisik Ibu sambil mencubit pinggangku.
Kubuang napas panjang dengan seperti biasa gas alamku pun ikut keluar. Dalam detik-detik tegang seperti ini. Pasti aku akan mengeluarkan gas alamku yang memberikan aroma Surga. Aku garuk-garuk kepala menutup malu saat kulihat kedua mertuaku langsung pakai masker dan juga Pak Alvin pakai masker lantas kulirik Ibu yang memelotot sambil menutup hidungnya sendiri.
"Apakah harus ciuum kentutmu dulu sebelum memberikan jawaban?" protes Pak Alvin sembari berdiri. Kemungkinan dari sorot matanya tampak geram dan kesal dengan kebiasaanku ini.
Aku cengar-cengir bebek. "Maaf, kalau ditahan jadi penyakit mendingan dikeluarin. Mau ke ruang tengah, nggak sempet. Si kentut belum bilang kalau mau kentut di sini."
"Emangnya kamu ngobrol sama kentut?" Pak Alvin menimpali dari nadanya mungkin jengkel.
"Ngobrol, Pak," jawabku asal.
"Ngobrolnya kayak gimana?"
"Pak Alvin, mau tau caranya?" Aku berdiri dan seperti ditantang oleh pria yang menyebalkan itu. Aku pun beringsut mundur menjauhi dari kedua orangtuaku dan Ibu. Kakiku terus mundur sampai di depan pintu dan berhenti di tempat dengan memasang wajah genit sembari mataku disipitkan padahal tidak sipit.
"Sebelumnya mau minta maaf dulu, nih. Ibu mertua sama Pak Mertua. Bukannya aku nggak sopan. Berhubung ini Pak Alvin nanyain."
"Terserah kamu aja, Bella," jawab mertuaku yang kalau ngomong adem bak bawa AC di tubuhnya.
Lalu aku tepuk bokoongku tiga kali sembari berkata, "Ntut, jangan keluar dulu, yah. Aku mau ngobrol serius. Kalau mau keluar sekarang aja."
Duutt!
Gas itu keluar terbang keluar tanpa beban lagi. Namun sayangnya, ada suara yang membuatku tercengang.
"Arabella!"
Otomatis aku menoleh ke belakang. Rupanya ada Marini dan Adiba baru datang.
"Sorry, ngapain kalian ada di situ?" dumelku.
"Mau tahu." Marini menjawab sambil menerobos masuk melewatiku.
Marini ini benar-benar, yah. Orangnya itu tidak bisa dikasih tahu. Padahal dia tengah dihukum sama suaminya. Gara-gara tempo hari menginap di rumahku. Ini justru berani datang. Aku geleng-geleng kepala melihat Marini yang berani menentang.
"Besti, ayo. Duduk," ucap Marini sambil menepuk kursi yang ada di sampingnya kosong.
Kemudian aku duduk. Berhubung ini sudah cukup mengulur waktu. Aku melirik ke arah Ibu dan terbit senyum manis Ibu seperti memberikan tanda kalau aku tak boleh mengecewakan.
"Aku mau menikah dengan Pak Alvin," ucapku lirih.
"Apa? Saya nggak dengar," jawab Pak Alvin tegas.
"Aku mau menikah dan menjadi istri Pak Alvin!" kataku kembali mengulang dengan nada tinggi.
Tiba-tiba Ibu mertuaku langsung menghambur memelukku. "Terima kasih, Bella. Kamu mau terima Alvin jadi suamimu."
"Iya, Bu."
Rasanya seperti tengah berada di sebuah lubang besar dan aku menunggu waktu duniaku hancur dalam sekejap mata kalau punya suami yang pemain wanita dan juga galak. Sudah membayangkan saja ngeri, dengan mengangguk pelan aku sudah pasrah mengikuti perintah Ibu dan menjalankan amanat Fahri.
"Pasangkan cincinnya, Alvin," tutur Ibu Pak Alvin seraya mengurai pelukannya dan aku berdiri sembari mengatur ritme napas dan debar-debar jantung bukan karena aku tengah jatuh cinta, melainkan aku akan menikah dengan seorang pria yang mempunyai daya pikat untuk sejuta hawa.
Kami pun bertatapan sambil berhadapan. Pak Alvin mengambil cincin dari kotak berwarna beludru merah yang disodorkan oleh mertuaku. Kemudian Pak Alvin menyematkan cincin berlian mata satu berwarna biru dongker. Namun sayangnya, aku langsung menggerakkan cincin berlian itu melorot dan tersenyum sinis dengan tatapan berkaca-kaca pada Pak Alvin.
"Kedodoran, Pak. Kayaknya kita bukan jodoh."
"Kata siapa bukan jodoh. Emang jari manismu kurus kering. Kalau makan itu jadi daging bukan jadi kentut," dumelnya bergerutu sembari mengambil sesuatu yang ada di balik saku jasnya.
Ya Tuhan, dia punya seribu cara. Pak Alvin mengeluarkan kalung yang liontinnya sama dengan warna cincin.
"Bu, saya juga sudah bilang apa? Cincinnya pasti longgar di Bella," ucapnya sambil tersenyum lebar dan aku melihat itu melongo saat Pak Alvin memakaikan kalung di leherku.
"Jangan senang dulu, saya punya kontrak nikah denganmu," bisiknya.
Apa ini? Pak Alvin tadi bilang. Kontrak nikah? Dia pikir aku itu ruangan kontrakan empat petak gitu yang bisa ditempati, lantas pergi begitu saja. Bisa-bisanya Pak Alvin lolos ngomong seperti itu.
Aku terdiam membisu mencerna ucapan Pak Alvin pakai mode kalem. Lalu, aku pun kembali duduk setelah acara pemberian kalung itu. Ini namanya sandiwara cinta. Suara tepuk tangan bergemuruh menyambut gembira keputusanku. Iya, tidak apa-apa aku berkorban perasaan demi Ibuku sayang dan demi suamiku sayang Fahri, semoga kamu tenang di Surga.
Kemudian acara makan malam bersama sebagai bentuk kebahagiaan. Tidak ada satu pun yang membuka pembicaraan. Aku masih terpaku dengan ucapan yang dibisikkan oleh Pak Alvin. Enggan rasanya makan kalau saja Ibu tak memaksaku untuk makan, pasti aku langsung lari ke dalam kamar.
Setelah acara makan selesai. Celetuk kata Ibu. "Kalian besok bisa lihat gedung pernikahannya dan ini rekomendasi WO untuk kalian."
"Besok? Maaf saya tak bisa, Bu. Ada acara. Bisa pinjam Bella dulu. Kami mau bicara empat mata di depan," kilah Pak Alvin dan langsung menarik tanganku yang memang aku duduk di sampingnya.
"Mau bicara apa, sih?" tanyaku sambil mengerucutkan bibir.
Pak Alvin merangkul bahuku dan mau tidak mau aku mengikuti kemauannya. Kami beranjak keluar rumah. Berjalan bersisian.
"Mau dangdutan di mana, Neng?" bisiknya.
"Apa? Kamu bawa aku ke sini. Cuma mau ngomong itu. Receh banget," sahutku sewot.
Kami pun sudah ada di teras rumah. Suasana di sana tampak hening dan sunyi memeluk senyap.
Aku berdiri sembari melipat kedua tangan. "Sebenarnya mau ngomong apa, Pak?"