PART 13

1082 Kata
ALEX POV Aku melihatnya telah berlalu dari sana. Dan aku pun ikut berlalu menuju ruang kerjaku, dan kuyakini jika Claudia mengikutiku saat ini. Sekarang wanita itu sudah berada di dalam ruangan dan mendekat, namun terhenti saat aku bersuara. "Jangan mendekat." ucapku. Dia berhenti di tempat dan menatapku penuh kebingungan. "Alex, aku kemari karena merindukanmu," ujarnya lagi dengan nada menjijikkan. "Aku tidak pernah menyuruhmu ke mari dan jangan pernah datang ke mari lagi. Keluarlah!" Entah apa yang ia rasakan, aku sempat melihat raut wajahnya yang terkejut mendengar perkataanku barusan. "Lihat saja, kau akan kembali padaku," katanya. Aku tidak peduli. Aku tidak pernah mengharapkan dia ataupun Jessica untuk datang dalam kehidupanku. Merekalah yang mendekat dan menyerahkan tubuh mereka dengan sukarela kepadaku. Kehadiran mereka hanya membuatku pusing saja. Ku keluarkan tablet yang secara otomatis menampilkan gambar wanitaku. Hei, aku berhak untuk mengklaim Stella seperti itu bukan? Terima atau tidak, dia adalah istriku. Beruntung tadi aku datang tepat pada waktunya, jika tidak, mungkin Claudia akan benar-benar menampar Stella. Dan aku tidak menyukai itu meski membayangkannya saja. Entah apa yang terjadi padaku saat ini. ***** Saat jam pulang kerja tiba, dering pendek ponsel Stella yang menandakan satu pesan masuk. Seharian ini perhatian Stella tersita saat Karen terus-terusan minta maaf atas kejadian tadi pagi. Temannya itu terlalu terbawa emosi dan hampir membocorkan semuanya. Alex: Supirku akan menjemputmu, aku masih ada urusan. Setelah membalas pesan Alex, Stella segera memasukkan ponselnya kembali ke dalam tas dan pamit pada Karen, bahwa ia akan pulang duluan. Karen mengerti, kini Stella telah menjadi istri sang CEO, ia hanya mengatakan untuk hati-hati pada sahabatnya. Stella kemudian berlalu dari sana. ***** Hari ini, Stella harus rela menghabiskan jam makan siangnya seorang diri, sebab Karen tidak masuk bekerja. Karen wajib melakukan kunjungan rutin ke rumah orangtuanya, jika tidak ingin fasilitasnya ditarik. Karen memang berasal dari keluarga menengah. Tapi wanita itu ingin menunjukkan pada keluarganya bahwa ia dapat hidup mandiri. Ketika sedang menikmati makan siangnya, tiba-tiba seseorang duduk di hadapannya, ikut bergabung satu meja dengannya. "Tampaknya ada wanita cantik yang membutuhkan seorang teman," ucap orang tersebut. "Calvin." Yang dipanggil hanya menunjukkan senyum tanpa dosanya dan melanjutkan acara makannya. "Sendiri saja?" tanya Calvin seraya memasukkan makanan ke dalam mulutnya. "Karin sedang mengambil cuti," jawab Stella, memperhatikan cara maka pria di hadapannya. "Stella, bagaimana jika akhir pekan kita pergi bersama?" tanya Calvin setelah keheningan yang sempat terjadi beberapa menit di antara mereka. "Okey." "Jika begitu aku akan menjemputmu," ujar Calvin tiba-tiba, membuat Stella terhenti menyuapkan makanannya. "Tidak, kita janjian ketemu di tempat tujuan saja." sahut Stella cepat. Dia tidak mau Calvin mengetahui pernikahannya dengan Alex. Jika pria itu mengajak bertemu, itu artinya Calvin tidak mengetahui perihal pernikahannya, bukan? "Kenapa?" "Kau mau keluar atau tidak?" tawar Stella. "Okey, terserah padamu saja." Calvin akhirnya menyerah. Ia sudah cukup baik mengenal Stella. Wanita itu sangat keras kepala. Dia pernah menemui orang yang sama keras kepalanya seperti Stella. Ayahnya. ***** Setelah jam kerja selesai, Stella berpikir untuk mengunjungi ibunya di rumah sakit. Sudah beberapa hari ini Stella tidak mendapatkan kabar dari Suster Widya dan juga Rafael, dokter khusus untuk ibunya. Selain itu ia juga sangat merindukan ibunya. Stella duduk termenung di samping ranjang Sarah, ibunya. Ia menatap wanita paruh baya yang terbaring lemah dalam diam. Stella sangat merindukan senyuman hangat Sarah. Ia merindukan dekapan nyaman milik ibunya. Ia juga merindukan aroma masakan ibunya. Stella merindukan segala hal yang ada pada ibunya. Ia selalu membayangkan bagaimana jika tiba-tiba ibunya terbangun dari tidur panjangnya itu dan menyambut Stella dengan senyuman hangat. Dan bagaimana reaksi ibunya saat terbangun ketika tahu bahwa kini kehidupan putrinya telah berubah total. Tak terasa setitik bulir bening mengalir di pipinya. Stella mencoba menahan, tapi tidak bisa. Jam telah menunjukkan waktu tengah malam, Stella baru tersadar bahwa ia masih berada di rumah sakit, masih di ruang rawat ibunya. Stella tertidur seraya menggenggam tangan ibunya. Ia tersenyum, setidaknya hari ini ia bisa tidur dengan ibunya. Namun, senyumannya mendadak hilang setelah teringat suatu hal. Dengan cepat Stella berlalu dari kamar ibunya, setelah ia mencium kening ibunya seperti biasa. Selama perjalanan pulang ke apartemen Alex, Stella terus merutuki kebodohannya. Dia pergi tanpa minta izin dulu pada Alex. Dia sama sekali tidak memberi kabar pada suaminya dan dia pulang larut malam. Astaga, tiga kesalahan fatal telah ia lakukan malam ini. Stella tidak tahu bagaimana menghadapi kemarahan Alex dan dia tidak pernah ingin tahu. Tapi, kenapa ia harus merasa khawatir? Toh, belum tentu Alex menunggunya pulang. Begitu Stella telah tiba di depan pintu apartemen, ia ragu untuk langsung membukanya. Setelah lama menimbang, akhirnya ia putuskan untuk menekan bel beberapa kali. Beberapa saat kemudian pintu dibuka oleh seorang wanita paruh baya yang nampak terkejut mendapati Stella baru saja pulang. "Astaga, Nyonya baru pulang?" ujar Lila, asisten rumah tangga yang dikirim Litina untuk membantunya. "Apa Alex sudah datang?" tanya Stella mengabaikan perkataan Lila dan berjalan memasuki apartemen. "Belum, Nyonya. Tuan belum datang," jawab Lila. "Jika begitu, kembalilah beristirahat, Lila. Maaf sudah mengganggumu," ujar Stella merasa bersalah. Lila langsung menuruti perintah itu. Setelah Lila kembali ke kamarnya, Stella pun ikut masuk ke kamarnya dan segera membersihkan diri. Beberapa lama saat ia telah selesai membenahi dirinya, Stella mendengar suara keributan dari luar kamar. Segera wanita itu keluar dan mendapati dua orang pria yang langsung menatapnya tajam. Alex dan Max, berdiri di sana menatapnya dalam pandangan tidak terbaca. "Dari mana kau?" tanya Alex dengan nada dingin. Membuat nyali Stella menciut. "KUTANYA DARI MANA KAU?!" Bentakan itu membuat Stella terlonjak karena terkejut. "Bro, sabarlah." Max mencoba menenangkan Alex. Entah menyadari sikapnya yang kasar atau apa, tiba-tiba Alex berlalu dari sana dan masuk ke kamarnya seraya menutup pintu dengan kasar. Stella lagi-lagi dibuat terkejut. Max menatap Stella yang menunduk ketakutan, mendekat dan mengelus bahu wanita itu. "Dia begitu kalut mencarimu hampir ke seluruh kota. Lain kali jangan lakukan ini lagi." Stella mengangguk lemah, Max masih berusaha menenangkan temannya itu. Stella merasa terkejut mendengar perkataan Max bahwa Alex mencarinya hampir ke seluruh kota. Apa Alex mengkhawatirkannya? Sepeduli itukah pria itu padanya? Namun, kembali semua pertanyaan itu menguap dari pikiran saat ia tersadar. Bahwa raga dan jiwanya adalah milik Alex dan tentu saja pria itu tidak ingin kehilangan miliknya. Berbeda dengan Alex. Ia tidak mengerti apa yang terjadi padanya. Sebelumnya dia tidak pernah seperti ini. Dia tidak pernah sepanik ini, saat supir sekaligus asistennya mengatakan bahwa Stella tidak ada. Bahkan dulu waktu Aliya hilang, Alex masih bisa berpikir jernih. Setelah beberapa lama Aliya tidak ditemukan, barulah Alex turun tangan. Tapi sekarang? Sebesar itukah pengaruh Stella padanya? Padahal Stella adalah wanita yang baru saja ia kenal @@@@@
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN