Dipusat kota Bandung, disebuah hotel bintang lima yang berada di jalan Pasir Kaliki Kota Bandung, tampak Raditya tengah bertemu dengan Sahabat lamanya yang juga pimpinan dipabrik Garment yang berada dibahwa naungan Kharisma grup.
“ Jadi, lo yakin tidak akan kembali ke Jakarta?” tanya seorang laki – laki yang usianya sama dengan Raditya.
“ Gua udah mutusin akan tinggal di Bandung untuk menenangkan pikiran gua, sambil mencari kabar tentang keberadaan mantan bini gua dan adak gua,” jawab Raditya sambil menatap kosong kearah pintu keluar coffe Shop. Pikirannya melayang memikirkan tentang Risma dan juga anaknya.
“ Makanya, segala sesuatu itu harus dipikir dulu jangan asal percaya dengan apa yang lo lihat dan lo dapat dari orang lain,” sindir laki – laki itu.
“ Iya gua tahu, gua juga nyesel karena telah percaya dengan perkataan ibu tiri gua tentang Risma,” sesal Raditya. “ Gimana pabrik kita, Don?” Adit bertanya tentang pabrik Garmentnya yang di pegang oleh sahabatnya Donni.
Donni adalah teman Adit dan juga teman Fajar semasa SMA dulu. Dan terpisah saat kuliah. Fajar memilih jurusan kedokteran, sementara Raditya lebih memilih Ilmu Management, karena memang akan akan meneruskan usaha warisan keluarganya.
“ Sejauh ini baik – baik saja. Bahkan ada peningkatan lima belas persen dari tahun sebelumnya,” jawab Donni, “ Dan bulan depan adalah hari jadi berdirinya Gramenda Garment, dan gua minta pendapat lo tentang acara syukuran yang akan gua adakan nanti,” jelas Donni.
“ Kalau gua terselah lo aja, apapun yang akan lo selenggarakan nanti, gua manut saja. Yang penting, jangan lupa semua karyawan harus hadir dalam acara tersebut, sekaligus gua mau kasih bonus buat karyawan yang berprestasi,” jawab Adit.
“ Ok kalau begitu,” ucap Donni, “ Ngomong – ngomong kapan lo mau ngontrol ke pabrik? Semenjak bokap lo meninggal dua tahun lalu, belum pernah pewaris Nalendra datang berkunjung ke Gramenda Garment.”
“ Insyaallah lusa gua kesana. Karena besok gua ada perlu dulu ke Cikajang Garut, mau ngontrol kebun teh dan pebrik teh disana.” Donni hanya mengangguk – anggukan kepalanya menandakan dirinya paham dengan kesibukan seorang Raditya Putra Nalendra.
“ Ya udah kalau begitu, gua pamit dulu, soalnya masih ada urusan dengan keluarga gua.” Donni pun berdiri, diikuti oleh Raditya juga. Mungkin merasa kalau perbincangan mereka berdua dirasa cukup.
“ Ingat, acaranya harus disusun dari sekarang, anggarannya tinggal lo tulis saja dan buat laporannya serta serahkan ke gua, dan sudah pasti gua akan menyetujui semuanya selama untuk suksesnya acara tersebut.”
Mereka berdua pun langsung berpelukan. Dan setelah itu Donni pun pergi keluar untuk kembali kerumah, sementara Raditya berjalan menuju lobby hotel untuk mengambil kunci kamarnya, dan Raditya memutuskan untuk istirahat.
*****
Pagi ini Risma sudah bersiap untuk berangkat kerja. Setelah membereskan tempat tidur, dan mengganti baju Alkema serta menyiapkan pakaian ganti Alkema, Risma pun keluar dari rumah dengan mengendong Alkema. Risma memang selalu membawa Alkema kepabrik, dan disana Alkema di jaga oleh umi Sondari pemilik kantin didalam pabrik dan juga sudah dianggap ibu sendiri oleh Risma, begitu juga dengan Sondari yang juga menganggap Risma sebagai anaknya sendiri.
Setelah menutup pintu pagar, Risma pun berjalan menuju jalan besar untuk menaiki angkutan umum yang akan mengantarnya sampai ke pabrik tempatnya bekerja. Sementara dibelakangnya terlihat Yulia pun sama – sama berjalan, dan tentu saja memiliki tujuan yang sama yaitu pergi ketempat kerja. Dan seperti biasa, Yulia pergi selalu Bersama dengan Melisa yang merupakan teman dekatnya dan satu grup dengan Yulia. Sementara Risma memang beda grup tapi masih satu Len dengan Yulia dan Melisa.
“ Assalamualaikum tampan, mau bareng ayah gak?” Risma menoleh kearah suara yang tidak asing ditelinganya.
“ Tidak, terima kasih,” jawabnya sambil terus melangkah menuju jalan besar.
“ Jangan menolak rejeki Risma, aku ikhlas kok nganter kamu. Kasihan Alkema kepanasan,” bujuk Damar berusaha meluluhkan hati Risma.
“ Ajak yang dibelakang saja, pasti tidak akan menolak,” ucap Risma sambil mengarahkan ujung matanya kearah Yulia dan Melisa yang berjalan dibelakang Risma.
“ Ya sudah kalau memang kamu gak mau, aku berangkat duluan. Sampai ketemu di tempat kerja, Dadah Junior.” Damar langsung menutup kaca mobilnya dan melajukan lebih cepat. Sementara Yulia terlihat kesal, karena Damar sama sekali tidak meliriknya, malah serius mengajak Risma didepan matanya.
“ Dasar janda gatel. Pake pelet apa sih dia?” sindir Yulia dengan sedikit keras, agar bisa didengar oleh Risma.
“ Ini gak bisa dibiarin, Yul. Lama – lama gebetan lo bakal lepas gara – gara janda kampungan itu,” sahut Melisa mengompori.
“ Kita lihat saja nanti, gue tidak akan tinggal diam, gue yakin kalau mas Damar itu suka sama gue,” geramnya sambil mengepalkan kedua tangannya.
Sesampainya dijalan besar, Risma langsung menaiki angkutan umum yang sudah menunggunya. Mungkin saat berjalan tadi pengemudinya sudah melihat mereka bertiga, hingga memutuskan untuk menunggu. Lumayan ada tambahan penumpang. Tapi Yulia dan Melisa menolak dia lebih memilih naik angkutan umum berikutnya. Padahal angkutan umum yang ditumpangi Risma masih cukup untuk tiga orang lagi.
Sesampainya di Pabrik, Risma pun menuju kantin dulu untuk menitipkan Alkema, sebelum melakukan absensi kehadirannya yang berada di dekat ruang satpam.
“ Titip Alkema, ya umi,” ucap Risma,
“ Udah tenang aja, sebaiknya kamu segera absen dulu,” jawab umi Sondari.
“ Baik umi,” sahut Risma. “ Jangan nakal ya jagoan mamah,” ucapnya sambil mencium pipi Alkema yang gembul. Dicium Risma Alkema hanya tersenyum sambil mengangguk
Risma pun segera menuju ruang absen untuk mengisi daftar kehadirannya dimesin absensi pabrik.
“ Hey, Ris!” panggil seseorang sesaat setelah Risma keluar dari ruangan mesin absensi.
“ Hai, Nur, Fit,” sahutnya sambil melambaikan tangan pada kedua orang Wanita yang usianya sekitar dua puluh lima tahun. Mereka berdua adalah Nurita dan Fitri teman satu grup Risma, sama – sama operator jahit.
“ Kamu kemana aja, dua hari tidak masuk? Apa kamu sakit?” tanya Nurita setelah Risma berada didekatnya.
" Iya, pak Beni nanyain terus loh,” sahut Fitri menimpali.
“ Gak apa – apa, aku hanya gak bisa ninggalin Anakku sendirian di kontrakan. Kalian kan tahu, kalau umi Sondari sedang keciamis, dan baru pulang kemarin sore,” jawab Risma sambil mengajak mereka berdua jalan menuju tempat kerja.
“ Makanya, kamu cepetan nikah. Yang mau sudah banyak, ada pak Damar sang Manger, ada pak Beni sang pengawas Len, ada pak Wisnu yang juga sama Manager. Kamu hanya tinggak milih saja,” ucap Fitri sambil terkekeh.
“ Benar Ris, mereka semua sangat tergila – gila sama kamu. Tapi kalau menurut aku sih meningan memilih pak Damar, sudah ganteng, mapan, jabatannya Manager, dan yang paling penting masih bujangan,” goda Nurita.
“ Kalian berdua itu ngomong apa sih, aku masih belun kepikiran untuk menikah lagi. Rasa sakit saat di buang mantan suamiku masih terasa sampai saat ini, dan-“ ucapan Risma dipotong Nurita.
“ Dan kamu memang masih mencintainya, juga berharap untuk bisa kembali padanya, kan?” potongnya sambil melirik kearah Risma yang terdiam mendengar perkataan Nurita.
Tidak bisa dipungkiri, apa yang dikatakan oleh Nurita itu memang ada benarnya. Risma masih berharap untuk bisa kembali menjalin rumah tangga dengan Raditya. Karena perasaan cintanya yang begitu besar. Membuatnya tidak bisa berpaling dari laki – laki lain sampai saat ini. Wajah Raditya selalu membayangi lamunannya, apalagi saat Risma sedang bermain dengan Alkema. Saat menatap wajah putranya itu, Risma serasa menatap wajah mantan suaminya, karena kemiripannya yang begitu sempurna.
“ Ternyata masih ada ya orang yang sama sekali tidak sadar diri,” sindir Yulia yang kebetulan berjalan dibelakang Risma. Mendengar perkataan itu, Nurita, Fitri dan juga Risma tahu kalau sindiran itu ditujukan pada Risma.
Risma memegang tangan Nurita yang sudah bersiap untuk melabrak Yulia, karena Nurita masih dalam pengawasan setelah pertengkarannya dengan Yulia dua minggu yang lalu. Padahal yang salah jelas Yulia, tapi karena bagian personalia bernama Baroto adalah pamannya Yulia, maka Yulia lolos dari sanksi, sementara Nurita langsung dikenakan sanksi akan dipecat, tapi karena hampir semua operator jahit di len satu mau mengundurkan diri dan mengadukan hal itu pada atasanya Baroto, akhirnya Nurita hanya dikasih peringatan dan diskor selam lima hari tidak boleh masuk kerja.
“ Sudah abaikan saja,” ucap Risma sambil terus berjalan menuju tempat kerjanya karena alarm pabrik sudah berbunyi, menandakan kalau semua operatot harus segera berada di mesin jahitnya masing – masing sesuai dengan len mereka.
Risma, Nurita dan Fitri pun mempercepat langkahnya untuk segera sampai di tempat kerjanya yang hanya tinggal beberapa puluh meter lagi, dan juga agar menghindar dari Yulia yang terus – terusan memprovokasi mereka bertiga, agar terpancing dan membuat keributan. Dengan demikian, maka akan mudah bagi Yuliar menendang jauh – jauh Risma dan teman – temannya keluar dari pabrik tersebut. Tentu saja menggunakan pengaruh dan jabatan Baroto pamannya Yulia.