SEMBILAN

779 Kata
"Bukankah dalam agamamu, beristri dua itu dibolehkan?" Julian menyambangi Fara ke apartemen setelah mendapat kabar bahwa Fara kembali ke sana untuk menenangkan diri. Saat ini, Fara tak lagi peduli pada Andra. Ponselnya mati kehabisan daya setelah puluhan misscall dan ratusan pesan yang tak ia hiraukan. Fara membantunya membuat makanan instan, karena tidak ada bahan makanan apapun dalam kulkasnya kecuali dua bungkus mie instan yang dimonopoli untuk dirinya sendiri yang terlihat sangat kelaparan. Jika ada yang bertanya siapa Ian untuknya, Fara akan menjawab, Ian adalah sahabat dan layaknya saudara baginya. Mereka bersama sejak masih orok karena bertetangga belasan tahun lamanya. Setelah ia menikah, hubungannya dengan Ian sedikit renggang. Fara yang menjaga perasaan suaminya dengan tidak terlalu akrab dengan teman lawan jenis, juga Ian yang segan menghubunginya karena telah bersuami. Lagipula ketika Fara menikah, Ian sedang menjalankan pendidikan dokternya lalu kemudian mengambil spesialis kandungan yang tentunya, kesibukan sangat menyita waktunya. Mereka bertemu kembali saat Fara dan Andra memutuskan untuk berkonsultasi di rumah sakit di mana kebetulan Ian menjadi residen disana. "Dibolehkan, tetapi tidak semua wanita mampu menerimanya. Hanya untuk wanita-wanita terpilih, dan aku bukan salah satu dari wanita itu. Tidak ada wanita yang ikhlas berbagi suami. Kalaupun ada, menurutku itu atas keterpaksaan. Kerelaan. Wanita-wanita seperti itu hanya mencoba bertahan. Entah itu demi anak, atau diperbudak oleh cinta." Fara menjelaskan panjang lebar argumennya. Ian tidak akan mengerti, karena bukan ranahnya untuk mengerti tentang poligami. Ia berada dalam zona dimana pernikahan adalah hubungan sakral antara satu orang lelaki dan satu orang perempuan. Dan Fara pun tak bisa banyak menjelaskan tentang posisi poligami dalam agamanya. Ia hanyalah wanita fakir ilmu. Shalatnya tidak bolong-bolong saja, ia sudah bersyukur. "Lalu bagaimana denganmu?" Tanya Ian. "Entahlah. Aku tadinya lebih berharap Andra berselingkuh dari pada menikah lagi. Masih ada harapanku untuk meraihnya kembali jika ia hanya bermain hati. Tapi dengan menikah lagi, tak ada pilihan apapun bagiku selain bertahan atau melepaskan." Ian menatap Fara dalam-dalam. Air mata Fara kembali menggenang. Ia melawan sesak di kerongkongannya dengan memalingkan wajah. Ia tak boleh terlihat lemah. "Hey, jangan mengasihaniku!" Serunya tak terima. "Tidak. Aku hanya tidak menyangka jalan hidupmu sepelik ini." Kata Ian yang  sudah berdamai dengan hatinya melihat Fara baik-baik saja. Segala sumpah serapahnya terhadap Andra telah ia lepaskan sebagian ketika mereka berteriak-teriak memaki Andra dari balkon apartemen Fara. Konyol memang. "Aku pun tidak." Fara tersenyum masam. "Bersyukurlah kamu masih punya orangtua, Ian. Masih ada tempatmu untuk pulang." Ia mengedikkan bahunya. "Punya pun tak ada gunanya." "Hush, jangan kurang ajar! Durhaka kamu!" Ian terkekeh. "Dua orang tua itu terus merecokiku, Ra. Makanya aku malas pulang." "Memangnya mereka bilang apa?" "Apalagi, coba? Pak tua itu menyuruhku meneruskan estafet perusahaan dan Mama menyuruhku segera menikah lalu memberikannya cucu, agar nenek tua itu tidak kesepian. Aduh!" Ia mengusap-usap kepalanya saat Fara memukulnya dengan spatula. "Kualat kamu, ngatain ibu sendiri." Fara mendelik. Ian nyengir. "Habisnya, aku gerah sih." "Mereka cuma mau kamu bahagia. Masih untung kamu punya orangtua, tidak sepertiku yang sebatang kara." Fara tertunduk lesu mengingat ayahnya. "Hey, jangan sedih. Masih ada aku kan? Mau menemaniku pulang kerumah? Mama pasti senang, sudah lama kamu tidak berkunjung." Ucapnya dengan nada bersalah. Fara mengangguk antusias. "Oh ya, hmm..." Julian menggantung kalimatnya dengan ragu. "Kenapa?" Ian menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Semalam, Al menelepon." "Tumben?" Fara menaikkan sebelah alisnya. "Al sering kok, nelpon aku. Dia nanyain kamu." "Kamu nggak bilang, kan?" "Belum, sih. Dia nggak telpon kamu?" Fara menggeleng lemah. Alfaraz jarang sekali menghubunginya. Kalaupun ada, hanya sekedar basa-basi. Entah kenapa, Fara merasa kakaknya semakin jauh. "Jangan sampai Bang Al tahu, aku nggak mau membebaninya." Tukas Fara. Memberitahukan kondisi rumah tangganya yang sedang kacau bukan pilihan yang bijak. Apalagi sedari awal, Al tidak setuju dengan pilihannya menikah terlalu cepat. Ditambah lagi dengan responnya yang tidak begitu baik saat Fara mengenalkan Andra sewaktu meninggalnya Ibra. Al seperti menjaga jarak dengan Andra, begitupun dengan Andra. "Apa tidak sebaiknya Al tahu?" "Urusan rumah tangga tidak seharusnya dicampuri walaupun oleh keluarga sendiri, nanti jadi lebih runyam." Ian mencibir. "Halah! Nenek lampir itu juga campur tangan terus, kok kamu nggak membolehkan Al ikutan. Aku yakin kalau Al tahu, ia akan menyeretmu ikut ke Jerman dan kamu cerai dengan suami brengsekmu!" Cerai? Fara terkesiap mendengar kata-kata Ian. Siapkah ia menjadi janda? Terus terang saja, umurnya masih dua puluh enam tahun dan menjadi janda tidak pernah terpikirkan olehnya. "Apa kata orang kalau aku jadi janda?" Fara bergumam. "The closest is the one who can hurt you the most. Lepaskan kalau hanya membuat luka,  Fara." Ian tersenyum. "Tenang aja, kalau kamu jadi janda, aku kenalin sama teman-temanku. Ada CEO, dokter, pengusaha, artis, dosen, kamu tinggal pilih. Just pick one and take him home." Ian nyengir lebar saat Fara mendelik menggelengkan kepala. Ck, bocah ini!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN