SEPULUH

879 Kata
Pria itu terlihat menyedihkan dan pemandangan didepannya sangat menyesakkan. Ia sangat terluka. Berkali-kali Andra mengigau memanggil nama Fara dalam tidurnya. Tubuhnya menggigil menahan panas dan dingin yang menyerang bergantian. Giginya gemeletuk. Livia merasakan sesak di dadanya. Air matanya menetes membasahi pipi. Malangnya nasibmu, Mas. Tubuh Andra lemas tak berdaya. Berkali-kali ia memuntahkan apa yang masuk ke mulutnya walaupun itu hanya air putih atau teh hangat. Livia memandang suaminya sambil berurai air mata. Begitu besar cinta suaminya pada Fara, istri pertamanya. Sampai-sampai ia demam karena kehilangan Fara. Livia sedih sekaligus menahan cemburu. Ia tidak tega melihat keadaan suaminya yang terpuruk, namun juga cemburu melihat begitu besar cinta Andra pada Fara. Ia sadar posisinya hanya sebagai istri kedua yang hadir belakangan. Tetapi, ia merasakan panas bergejolak di rongga dadanya. Tiga bulan menikah, walaupun awalnya Andra menolak, ia tetap memperlakukan Livia dengan baik. Lalu lambat laun, akhirnya rasa sayang itu kembali muncul. Andra pun tidak tahu, entah ia mencintai Livia atau tidak, hanya rasa sayang kepada Livia semakin besar seiring lamanya mereka tinggal bersama. Apalagi semenjak kepergian Fara ke Singapura, Rani memintanya tinggal di Jakarta sehingga Andra tidak perlu bolak-balik ke Bandung setiap akhir minggu. Lalu, ketika ia tahu istrinya hamil, Andra bersujud saking senangnya akan menjadi seorang ayah dan ia semakin memanjakan Livia. Dua hari yang lalu, Andra pulang dalam keadaan kacau. Tatapannya kosong dan tubuhnya terlihat sangat lelah. Lalu kemudian suaminya tersedu-sedu sambil memeluk dirinya. "Kamu kenapa, Mas?" Ia bertanya sambil membelai lembut rambut suaminya. "Fara, Dek." Andra menjawab sambil tergugu. "Fara sudah tahu semuanya." "Astagfirullah!" Livia terdiam. Mukanya memucat. Livia kaget dan takut, walaupun dihati kecilnya merasa senang karena tidak lama lagi statusnya diakui sebagai istri Andra dan sebagai madu dari Fara. Ia tidak lagi harus sembunyi-sembunyi meminta haknya kepada suaminya. Mau tidak mau, Andra harus membagi waktunya sama rata antara dirinya dan Fara. Apalagi saat ini, kondisinya sedang hamil yang tentu saja membutuhkan Andra setiap saat disisinya. "Mas takut, Dek. Mas tidak mau kehilangan Fara. Mas bisa mati." "Mas tenang dulu. Mbak Fara pasti baik-baik saja, jangan mikir aneh-aneh dulu ya. Tenangkan diri Mas." Bujuknya. "Bagaimana Mas bisa tenang, Dek. Fara menghilang. Ponselnya tidak bisa dihubungi. Mas tidak tau harus mencarinya kemana." Livia terdiam. Dari cerita ibu mertuanya, ia sedikit mengetahui bahwa Fara tidak punya siapapun di Jakarta. Kedua orangtuanya sudah meninggal, sementara kakaknya di luar negeri. Fara tidak punya saudara jauh juga teman dekat. Hubungan sosialnya terbatas semenjak menikah. "Mas udah cari kerumah orangtua Mbak Fara?" "Dia tidak punya siapapun, Dek. Tidak ada saudara maupun teman. Ia benar-benar sendirian." "Mas tenang dulu, ya. Kita akan cari Mbak Fara sama-sama." "Bagaimana kalau Fara tersesat, Dek. Dia tidak pernah kemana-mana kecuali dengan Mas. Bagaimana kalau dia lapar, dia tidur dimana? Mas sudah cek tantenya di Singapura, Fara tidak ada disana." Andra kalut. Istrinya tidak punya teman di Jakarta. Selama mereka menikah, pergaulan Fara ia batasi hanya seputar lingkungannya dan keluarganya, bahkan Andra jarang mengenalkan istrinya ke rekan-rekan kantor mengingat ia sangat cemburu mereka menatap kagum akan kecantikan Fara. Beberapa kali ia membawa istrinya ke acara-acara resmi kantor dan di sana pun Fara tak sekalipun lepas dari pantauannya. Sekarang istrinya pergi entah kemana. Pikirannya berkecamuk. Fara tinggal dimana? Apakah ia sudah makan? Apakah ia kepanasan apakah kehujanan? Apakah uangnya cukup untuk menyewa penginapan? Andra bingung. Selama menikah ia hanya memberi uang secukupnya untuk istrinya. Bukannya pelit, namun aliran keuangannya dikontrol oleh ibunya yang langsung menjatah bagian Fara langsung ke rekeninnya. Di hari ketiga, keadaan Andra semakin memburuk. Selain muntah-muntah yang bertambah parah, tubuhnya semakin lemas. Rani dan Livia memutuskan untuk membawanya ke rumah sakit. "Pak Andra menderita gastritis akut. Penyakit ini disebabkan rusaknya mukus pelindung lambung sehingga menyebabkan radang mukosa pada lambung. Gastritis diawali pola makan yang tidak teratur lalu dipicu oleh stres. Sebisa mungkin, jangan sampai Bapak ada beban pikiran karena sangat berpengaruh pada proses penyembuhannya." Dokter penyakit dalam yang melakukan serangkaian pemeriksaan pada Andra menjelaskan pada Rani dan Livia tentang kesehatan Andra setelah berbagai tes dilakukan termasuk endoskopi saluran pencernaan Andra. Seingat Rani, sudah cukup lama penyakit anaknya tidak muncul. Dahulu Andra sering mengeluh sakit ketika masih kuliah karena ia sering telat makan. Setelah menikah, tidak sekalipun Andra menderita penyakit itu lagi. "Kalian ada masalah apa?" Bisik Rani pada menantunya setelah Andra tertidur. Livia menunduk dengan gugup. Ia ragu menceritakan masalah yang sebenarnya pada Rani. Walaupun hubungan keduanya sangat dekat bagai ibu dan anak, tetapi ia juga segan membenani pikiran Rani. "Livia?" Rani menepuk punggung tangan Livia yang terlihat melamun. "Vi – Via juga kurang tahu, Ma. Semenjak Mas Andra demam tiga hari ini, ia tidak cerita apa-apa kecuali sesekali mengigaukan nama mbak Fara." Rani mengerinyitkan kening. "Fara?" "Iya, Ma." "Ya sudah, kamu tungguin suamimu sebentar. Mama keluar dulu." Rani melangkah keluar kamar perawatan Andra dengan kening berkerut. Ia kemudian mengambil ponselnya dan memutuskan untuk menelepon Fara. Berkali-kali ia menelepon dan tidak diangkat oleh Fara membuat Rani mengumpat kasar. Dasar menantu tidak tahu diri, suami sakit dia entah dimana! Tak lama kemudian ia kembali ke dalam ruangan Andra dan menemukan Livia tengah memijit-mijit kaki Andra. "Gimana, Ma?" "Perempuan mandul itu tidak mengangkat teleponnya!" Astagfirullah! Livia bergumam pelan. Hatinya berdenyut perih mendengar umpatan Rani. Sesama perempuan, ia memaklumi perkataan Rani sungguh tidak pantas diucapkan oleh seorang ibu. Sepeninggal Rani, Livia memutuskan, ia harus bertemu dengan Fara untuk mengajaknya bicara.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN