DELAPAN

542 Kata
Tuhan, mengapa rasanya sakit sekali? Cabut saja nyawaku, Tuhan! Fara hancur lebur. Tubuhnya merosot di pintu kamar yang menjadi singgasananya. "Apa kau sudah tidur dengannya?" Andra tergagap. Mukanya pias. Dan saat itu, Fara sudah tahu semua jawaban yang membuatnya gundah hampir seminggu ini. Salahkah ia berharap Andra memegang ucapannya yang katanya tak mencintai perempuan itu. Namun harapannya terlalu tinggi. Suaminya hanyalah lelaki biasa. Bagaimana mungkin Andra tidak tergoda menyentuh Livia, istri yang halal untuknya. "Tinggalkan aku sendiri, Mas." Lirihnya sambil terus mengusap air matanya. "Sayang..." "KELUAR!" pekik Fara membuat Andra semakin merasa bersalah. Dengan lunglai ia menutup pintu kamar itu dan tak berkata apa-apa lagi saat tubuhnya merosot di depan pintu kamarnya. Memiliki dua istri bukan perkara yang mudah. Disatu sisi ia harus adil bagi keduanya, di sisi lain ia harus berbohong di sana-sini agar tidak ketahuan oleh Fara. Ini sulit, sangat sulit. Namun takdir ini memerangkapnya sampai napasnya sesak. Disini ia lah yang salah. Ia tidak akan menyalahkan siapapun untuk mencari pembenaran. Keruwetan masalah ini bukan salah Rani, bukan salah Fara, juga bukan salah Livia. Ini sepenuhnya salahnya yang tidak mampu tegas mempertahankan pilihannya. Saat ia diancam dengan neraka, ia patuh. Walaupun hasilnya, dalam tiga bulan saja, neraka dunia pulalah yang ia dapatkan. Andra menangis tersedu memeluk lututnya. Semalaman Fara tidak bisa tidur. Enam jam ia habiskan dengan menangis sampai matanya bengkak. Pukul empat subuh ia bangun dari tempat tidur dengan kepala sakit seperti dipukul palu besar. Segera ia mencuci mukanya lalu membereskan sling bag yang ia bawa lalu memesan taksi online melalui ponselnya. Tak perlu menunggu lama, Fara mendapatkan kendaraannya. Inilah enaknya hidup di kota besar. Jakarta, the city that never sleep. Menjelang pukul setengah lima, sudah ada taksi yang beroperasi bersaing paling pagi mencari sebongkah rejeki. Kreett. Pelan-pelan Fara membuka pintu kamarnya. Ia hampir terpekik melihat suaminya bergelung di lantai. Penampilan pria itu acak-acakan. Tubuh itu meringkuk seperti bayi menahan dingin. Ia menyangka, suaminya sudah pulang ke rumah ibunya setelah pertengkaran semalam. Fara berjongkok membelai rambut suaminya dengan iba. Wajah ini, tubuh ini, yang memeluknya dalam malam-malam panjang selama lima tahun terakhir. Lelaki ini tidak pernah kasar kepadanya walaupun juga hanya diam saat ia disakiti keluarganya. Lalu kemudian seketika ia terkesiap. Tidak, ia tidak boleh lemah. Ia tidak boleh iba. Andra bahkan tak berperasaan mengkhianatinya. Ia melangkah pelan-pelan tanpa meninggalkan suara. Ia sudah memutuskan untuk sementara kembali berdiam diri di apartemen. Mungkin bisa dibilang menenangkan diri sebelum memikirkan apa yang harus ia putuskan selanjutnya. "Bangun, Sayang. Sudah subuh." Suara lembut Fara merayunya untuk segera bangun. Andra tersenyum dalam tidurnya. Matanya tetap menutup, meresapi kedamaian yang ia rasakan tatkala sesuatu membelai lembut rambutnya. Semua baik-baik saja. Cintanya telah kembali. Kemudian ia terbangun dan tidak mendapati siapa-siapa. Belaian lembut itu terasa sangat nyata. Tetapi, kenyataan bahwa tak ada siapa-siapa di sana membuatnya terhempas. Ini hanya mimpi. Andra tidak mendapati istrinya di dapur. Tidak di ruangan tengah, tidak juga di kamar tamu. Ia mengumpulkan keberanian membuka pintu kamar tempat istrinya tidur semalam. Kreet. Alhamdulillah tidak terkunci. Andra mendesah lega. Tetapi harapannya kembali terhempas saat tak mendapati siapa-siapa dikamar itu. Dengan panik ia menghubungi ponsel istrinya. "Angkat, Sayang. Kumohon." Lirihnya sambil terus menelepon. Satu jam. Dua jam. Ia terus menunggu sambil tetap menelepon. Jangankan kembali, Fara mengangkat teleponnya saja tidak. Ia tertunduk lesu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN