SEBELAS

1016 Kata
Fara bersyukur kehamilannya tidak merepotkan sama sekali. Ia tidak mengalami morning sickness yang parah seperti halnya ibu-ibu hamil kebanyakan. Hanya saja ketika gosok gigi, perutku suka mual. Fara tidak mengidam. Dulu ia membayangkan masa-masa hamil adalah masa yang menyenangkan. Ia bisa bermanja-manja pada sang suami yang sudah pasti akan menuruti semua kemauannya agar anaknya tidak ngeces. Ia membayangkan Rani berubah menyayanginya, dan adik-adik Andra senang menantikan calon keponakannya. Namun kenyataan membuatnya terhempas. Terkadang muncul godaan untuk berterus terang tentang kehamilannya. Namun, hati dan logikanya berperang. Ia menginginkan Andra ada disampingnya, tapi akalnya berkata, jika Andra tahu ia tengah mengandung anaknya, ia tidak akan melepas Fara dengan mudah. Pikirannya berkecamuk. Ucapan Ian tempo hari berputar-putar di kepalanya. Bercerai dari Andra sepertinya tidak mudah, tetapi akan lebih sulit hidup menjanda. Stigma masyarakat mengenai janda di negeri ini masih sangat buruk. Semenjak Fara 'melarikan diri', Ian mulai merecoki hidupnya. Ian bahkan seenaknya menjadikan apartemennya sebagai rumah keduanya. Sebelum ke rumah sakit, Ian akan singgah untuk sarapan, dan sepulang dari sana ia menyempatkan datang untuk mengecek kondisi Fara. Ia hanya pulang untuk sekedar tidur atau membersihkan tubuhnya. Ian juga yang sering bicara dengan bayi di perutnya. "Sehat-sehat ya, Nak. Be a good boy. Om ga sabar  ketemu kamu." "Tau darimana anakku cowok?" Fara mengangkat alis. Ia mengedikkan bahunya. "Nggak tahu, feeling saja." Perhatian Ian membuat dadanya sesak. Harusnya ini tanggung jawabmu, Mas. "Makan yang banyak, kamu butuh nutrisi buat dua orang, jangan egois." Julian sekarang menjadi seksi sibuk di apartemen Fara sejak dua hari yang lalu. Setelah kemarin dia memenuhi kulkas dengan berbagai bahan makanan sehat, pagi ini dia membawa seorang wanita paruh baya yang diperkenalkan sebagai asisten rumah tangga yang biasa mengurusnya di apartemen. "Ini namanya Mbok Nur, beliau yang akan menemanimu disini, bersih-bersih, masak, mencuci." "Gak usah, Ian. Makanan bisa delivery kok." "Makanan delivery banyak micinnya, nggak baik untuk perkembangan janin." "Aku bisa masak sendiri, lho. Nggak usah pake asisten segala." "Memangnya, kamu bisa masak?" Ian mengerutkan keningnya bingung. "Bisa lah." Jawab Fara. "Masa? Terakhir makan masakanmu, aku muntah keasinan." "Itu kan dulu, waktu aku masih bocah." Ian berdecak. "Nggak usah macam-macam, nanti kamu mual mencium bau bawang, bau nasi atau apalah. Aku sudah hapal ya, emak-emak hamil itu bawaannya aneh-aneh." Fara melotot. "Aku bukan emak-emak." "Sebentar lagi jadi emak-emak." "Aku juga ga mual-mual." "Ga usah bawel." "Kamu yang bawel." "Emang. Trus mau apa?" "Ian!" Bentak Fara. "Diam! Nurut aja kenapa, sih?" Balas Ian pantang kalah. “Galak bener?" "Biarin, baru tau?" Astagadragon!! Ian tak mau dibantah. Fara meringis melihat mbok Nur yang cekikikan sambil membereskan cucian kotor yang menumpuk di kamarnya. Kemudian Ian mengajak wanita tua itu ke dapur dan menunjukkan dimana letak bahan makanan, bumbu dapur dan peralatan masak. "Mbok Nur tidur di kamar sebelah. Panggil saja kalau butuh sesuatu. Aku juga sudah menyimpan nomor ponsel Mbok Nur di ponsel kamu." Apartemen Fara memang memiliki dua kamar. Biasanya kamar itu ia pakai untuk menyimpan peralatan kerjanya. Hari ini, Ian dan Mbok Nur membereskan kamar tersebut dan memindahkan buku-buku yang tidak seberapa banyak, laptop, pen tablet dan kertas-kertas gambar ke kamar pribadinya. Ian mengantur kamar itu senyaman mungkin digunakan untuk istiharat maupun untuk bekerja. "Lho? Mbok Nur tidur disini? Nggak balik hari saja, gitu?" "Nggak." "Terus, apartemen kamu siapa yang beresin?" "Gampang lah itu." Fara lama-lama tidak enak hati dengan kebaikan Ian. Laki-laki itu beralasan Mbok Nur sekalian bisa menjaganya kalau ada apa-apa. "Nggak baik ibu hamil tinggal sendirian. Mbok, kalau dia bandel telepon saya ya!" "Beres, bos!" Jawab Mbok Nur sambil mengangkat kedua ibu jarinya. Fara menghela napas melihat Ian keluar dari apartemennya. Sakarepmu lah, aku isa opo? Fara cepat menyesuaikan diri dengan Mbok Nur. Wanita setengah baya itu sungguh menghibur dengan kecerewetannya. Logat Jawanya masih sangat kental walaupun telah lama hidup di Jakarta menjadi kesan tersendiri untuk Fara. Dari cerita Mbok Nur, ia tahu sedikit banyak tetang gaya hidup Ian yang suka gonta-ganti pacar. "Kalau sudah bawa cewek, Mbok di usir pulang gitu, Non. Amit-amit, jangan sampai Mbok punya anak macam si bos!" Fara hanya terkekeh geli. Wajahnya yang campuran Spanyol - Manado membuatnya mudah digilai wanita. Dengan kulit bersih, hidung mancung, dan rahang yang kokoh dihiasi cambang yang dicukurnya rapi, bahu lebar dan otot yang berisi. Apalagi kalau jas dokter sudah menempel di tubuhnya. Fara jadi ragu, jangan-jangan ia sering dicemburui oleh suami para pasiennya. "Jangan dekat-dekat, kamu bau!" Teriak Fara pada Ian ketika baru saja memasuki apartemennya. Ian melongo. Ia membaui tubuhnya sendiri. "Masa, sih?" Katanya sambil terus mendekati Fara. Perut Fara bergejolak. Bau obat yang menguar dari tubuh Ian membuat kerongkongannya penuh. "Kamu kenapa sih?" Hoekkkk... Fara berlari ke kamar mandi. "Astaga, aku tersinggung, loh!" Ian berjengit menatapnya "Bodo! Jauh-jauh, aku bilang!" "Kemarin-kemarin, kok nggak apa-apa?" "Kamu bau obat. Udah sana...!" Fara kembali muntah. "Udah bos, sana pergi. Nggak kasian liat non Fara muntah-muntah begitu?" Mbok Nur cekikikan dan mengusir Ian yang semakin bengong kemudian memijit-mijit tengkuk Fara. "Emang saya bau ya, Mbok?" "Ibu hamil itu hidungnya sensitif. Nggak usah baper. Makanya nikah, biar ngerasain gimana istri ngidam." "Gitu ya, Mbok?" Tanya Ian cengengesan. "Ho oh." Mbok Nur mengangguk. "Ogah ah, Mbok!" "Ogah apanya?" "Ogah nikah, ngurusin satu ibu hamil saja sudah bikin pusing." "Terus, maunya bos gimana? Mau sampai kapan bawa cewek gonta-ganti macam ganti celana dalam? Keburu aus ntar itu barang!" "Barang apa, Mbok?" "Idihh, bocah gemblung!" Ian terkekeh menghindari cubitan Mbok Nur. Interaksi antara Ian dan ART nya itu sering membuat Fara geli. Ian tidak menciptakan batasan yang kaku antara dirinya dan Mbok Nur seperti atasan dan bawahan pada umumnya. Tak lama kemudian, ponsel Fara berdering berkali-kali. Mbok Nur berinisiatif mengambil dan memberikannya pada Fara. Fara menatap mbok Nur dengan enggan lalu beralih melihat ke arah ponselnya. Deg! Jantungnya berdetak kencang melihat nama yang terpampang di layar tersebut. Mama? Fara bingung mau mengangkat atau tidak. Rani tidak pernah berbicara manis kepadanya dan cenderung kasar tanpa basa-basi. Syukurlah panggilan itu terhenti ketika ia berniat mengangkatnya. Beberapa menit setelahnya, ponselnya kembali berbunyi. Fara membuka pesan w******p dari nomor yang tidak ia kenal. Seketika perasaannya menjadi tidak karuan dan mood-nya terjun bebas. [Mbak, ini Livia. Bisakah kita bertemu?] Ada apa lagi ini?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN