DUA BELAS

1861 Kata
Le Garden Cafe. VIP 10 am. Come alone! Isi pesan Fara untuk Livia setelah ia memutuskan untuk menemui wanita itu. Ia menekankan padanya untuk datang sendirian karena bukan tidak mungkin Livia mengajak Andra. Ia sedang tidak ingin bertemu, setidaknya sampai hatinya benar-benar siap untuk menyelesaikan apa yang telah pria itu mulai. Livia menguatkan hatinya untuk menemui Fara. Ia siap dengan segala resiko yang akan terjadi. Mungkin nanti akan ada sumpah serapah atau jari-jari yang melayang menghiasi pipi mulusnya. Ia mengerti Fara punya lebih dari segudang kemarahan dan tidak akan begitu saja mau bicara baik-baik dengan dirinya. Apapun yang akan terjadi, ia sudah menyiapkan diri. Ia menaiki mobilnya menuju sebuah kafe yang dijanjikan oleh Fara. Ia tinggalkan urusan butik terlebih dahulu. Lagipula, sudah seminggu ini ia tidak menyambangi butik sama sekali karena kerepotan mengurus Andra. Untunglah kandungannya tidak apa-apa. Layaknya ibu hamil yang lain, ia pun mengalami morning sickness yang cukup parah tetapi tidak menganggu aktivitasnya sehari-hari. Justru ia kasihan pada suaminya. Lelaki itu mengalami mual muntah yang cukup ekstrim walaupun kondisi lambungnya sudah mulai membaik pasca keluar dari rumah sakit. "Aneh, kok kalian ngidamnya bisa kompakan begitu?" Celetuk Rani keheranan melihat anak dan menantunya berlomba mengeluarkan isi perut. Ia maklum, terkadang suami pun ikut mengalami mual-mual seperti ibu hamil walaupun kasusnya tidak seberapa banyak. Livia hanya tersenyum menanggapi. "Mungkin baby nya spesial, Ma." Rani terkekeh sambil mengelus perut Livia. "Cucu Oma jangan nakal ya, kasihan Mama dan Papa." Hatinya pun menghangat. Ia diperlakukan layaknya anak sendiri oleh Rani. Adik-adik Andra pun dekat dengannya meski keduanya kuliah di luar kota dan hanya pulang seminggu sekali. Ketika mereka datang, ia menyempatkan hangout bareng dengan adik-adik iparnya, Nia dan Tari. Livia memasuki tempat itu dengan hati berdebar. Pelayan cafe mengantarkannya ke sebuah ruangan VIP yang telah di pesan oleh Fara sebelumnya. Detak jantungnya tidak karuan. Bismillah, Ya Allah! Tepat pukul sepuluh, Livia mendengar bunyi detak sepatu yang mengarah ke tempatnya duduk. Ia mengangkat kepalanya dan memuji pelan dalam hatinya. Masya Allah, cantiknya! Pantas saja Andra uring-uringan kehilangan Fara. Terakhir kali ia melihat wanita itu hanya melalui foto yang diperlihatkan oleh suaminya. Fara terlihat anggun menggunakan tunik selutut berwarna putih dipadukan celana hitam yang membungkus kaki jenjangnya. Rambutnya yang ikal digerai panjang melewati pundaknya. Fara menghempaskan bokongnya di sofa berwarna peach yang ada di depan Livia dan memandang dengan raut menilai perempuan berjilbab modis di depannya. Raut wajahnya datar walaupun dalam hatinya panas dingin. Sebelum datang ke cafe ini, ia pun sudah menyiapkan mental. Tadinya ia enggan memenuhi undangan Livia sehingga mengabaikan pesan tersebut berhari-hari sampai rasa penasaran menginginkannya bertindak lebih. Keduanya terdiam cukup lama hingga Fara mengangkat cangkir kopinya dan menyesapnya perlahan. Sebenarnya ia tidak dibolehkan Julian meminum cairan berwarna gelap tersebut. Tetapi, saat ini ia membutuhkan sesuatu untuk mengalihkan rasa gugupnya. "Apa kabar, Mbak?" Livia terlebih dahulu memutuskan keheninga. Fara hanya menatapnya datar. "Mbak tinggal dimana sekarang?" "Bukan urusanmu!" Livia menghela napas. Baiklah, sepertinya percakapan ini akan berlangsung alot. "Bicaralah. Bukankah kita kesini untuk bicara?" Fara mengabaikan basa-basi Livia dengan menyilangkan tangannya di pangkuan dan menatap Livia dengan mata setengah memicing. Livia mengangkat kepalanya dan menghela napas panjang sebelum bicara. "Saya ingin bicara tentang suami kita" Fara mendengus. "Suami kita? Bukannya suamimu? "Mas Andra juga suamimu, Mbak." Livia mengabaikan Fara dan melanjutkan. "Pulanglah, Mbak. Mas Andra sangat mencemaskanmu." Ucapnya dengan lembut. Fara tercengang. "Pulang?" Livia mengangguk. "Kenapa saya harus pulang? Bukan urusanmu juga kan, menyuruh saya pulang?" "Mbak, tidak baik seorang istri meninggalkan rumah tanpa izin dari suaminya. Mas Andra kemarin sampai dirawat dirumah sakit karena stres memikirkan Mbak. Lambungnya kumat. Apapun masalah di antara kalian, hendaknya dibicarakan baik-baik, jangan kabur-kaburan seperti ini." Wow!!! Fara terngaga lalu menatap madunya dengan jengah. "Memangnya kamu siapa, sok mengajari saya tentang etika?" Lanjutnya sinis. "Saya..." "Jangan sok suci kamu, Livia! Kamu bahkan dengan sadar mengetahui, rumah tanggaku hancur, penyebabnya adalah kamu!" Pekik Fara sambil menggebrak meja membuat Livia terbelalak kaget. "Apapun masalah Mbak dan Mas Andra, itu bukan urusan saya. Saya tidak mencampuri urusan rumah tangga orang lain." Livia membalasnya dengan pandangan datar. Fara melongo. Perempuan ini, sungguh tak tahu malu! "Mas Andra sangat merindukan Mbak. Tiada harinya tanpa memikirkan Mbak. Ia sering menangis dalam tidurnya. Mbak pulang, ya!" Livia memohon kepada Fara berusaha meluluhkan kerasnya hati madunya. "Saya tidak akan pulang, kalau itu maksudmu mengajak saya bertemu. Tidak lama lagi, kalian bisa hidup tenang tanpa bayang-bayang saya." "Maksud Mbak, apa?" Livia bertanya dengan wajah pias. Ia bisa menerka arah perkataan Fara. Oh, tidak! "Saya akan bercerai dengan Andra, jadi kamu bisa memilikinya untuk dirimu sendiri. Bukannya itu yang kamu mau?" "Mbak, saya ga pernah ingin merebut Mas Andra dari Mbak untuk diri saya sendiri. Sedari awal Mas Andra sudah berjanji tidak akan menceraikan mbak." Ia tidak pernah berniat mendominasi sang suami untuk ia miliki karena ia cukup tahu diri dengan posisinya sebagai isteri kedua. Ia memegang keyakinan, Andra bisa membagi kasihnya dengan adil. "Ini bukan masalahmu, perempuan sok suci! Aku yang tidak ingin melanjutkan pernikahan dengan seorang pengkhianat. Bilang saja pada suamimu untuk mengurus perceraian, maka urusan kita selesai!" Livia mengambil napas sejenak. "Saya hanya meminta kerelaan Mbak untuk berbagi, itu saja." "Saya tidak sudi berbagi! Apa yang menjadi milik saya tidak akan saya bagi dengan orang lain. Mungkin memang sudah saatnya saya melepaskan. Toh, dari awal saya sudah dikhianati. Saya yang akan mengurus perceraian jika suamimu menolak!" "Tidak akan ada yang bercerai, Mbak. Baik itu Mbak atau pun saya!" Tegas Livia lirih. Ia sengaja merendahkan suaranya. Panas api yang membakar akan semakin berkobar jika ia ikut menyiram minyak. Fara memutuskan untuk diam sejenak. Tingkah perempuan di depannya membuatnya muak. Perempuan itu bersikap sok polos di atas kehancurannya. Maunya apa? "Bolehlah aku bertanya?" Fara memutar-mutar cangkir kopi yang ada di genggamannya. "Apa kau tahu Andra sudah punya istri saat menikah denganmu?" "Tentu saja saya tahu, Mbak." Fara tercengang. "Lalu? Kenapa masih mau menikahinya? Apa kau tidak laku sampai tega merebut suami orang?" "Mbak, saya tidak merebut...." Fara mengangkat tangannya dengan malas. Perempuan ini akan terus berdalih dengan dalilnya "Saya mencintai Mas Andra sudah sejak lama, Mbak. Bahkan sebelum ia mengenal Mbak, kami sudah berhubungan. Kami terpisah sementara karena jarak yang membentangi hubungan kami. Perlu Mbak tahu, hubungan kami tidak pernah ada kata putus." "Jadi maksudmu, disini saya yang merebut kekasihmu?" Ia mencondongkan tubuhnya kedepan dan menantang mata sang madu berhati batu di depannya. Livia mengangkat bahunya sambil menyesap minumannya. "Saya tidak bilang begitu." "Kalian bahkan berani sekali menikah tanpa izinku!" "Mbak, dalam poligami tidak mewajibkan adanya izin dari istri pertama. Saya menjalani pernikahan ini murni karena niat ibadah karena Allah. Saya ingin melabuhkan cinta saya pada Mas Andra dalam ikatan yang sah. Kami membangun istana dalam aturan yang dihalalkan oleh agama." "Tapi kau mendirikan istanamu dengan menghancurkan istanaku!" Pekik Fara dengan emosi. "Tidak ada yang menghancurkan istanamu, Mbak, begitu juga dengan Mas Andra. Itu hanya asumsi Mbak saja. Malah mungkin tanpa sadar Mbak sendirilah yang menghancurkannya." Fara tertawa sumbang. "Apa kau tidak memikirkan sama sekali perasaanku disini, Livia? Aku sakit hati. Aku hancur melihat suamiku bersama wanita lain. Ya Tuhan, terbuat dari apa hatimu?!" "Maaf, Mbak. Saya tidak berurusan dengan perasaan Mbak. Rasa yang Mbak miliki adalah haknya Mbak. Disini, saya adalah seorang istri yang mengabdi kepada suaminya. Kita jalani saja peran kita masing-masing tanpa saling mencampuri. Masalah perasaan Mbak yang tersakiti, itu adalah tanggung jawab Mas Andra untuk memahami. Bukan saya." Astaga, perempuan ini sungguh tak tahu diri! Ingin sekali Fara melayangkan tangannya menyalurkan rasa marah dan benci yang sudah siap meledak kapan saja. "Setidaknya, sesama perempuan apakah kau tak punya empati?" Livia mengerjab. Ia datang kesini untuk membujuk Fara, bukan untuk terlihat lemah dengan menyelami empati dan t***k bengeknya. Ia kemudian mengelus d**a melihat sang madu di depannya yang terlihat sudah berkaca-kaca. Bukan, bukan ini tujuannya kemari. Tetapi baiklah, jika dengan meladeni Fara dapat membuat perasaan Fara lebih baik, akan ia lakukan. "Bukankah lebih baik, sebuah perahu dikayuh oleh tiga orang agar lebih cepat sampai menuju tujuannya..." "Atau bisa jadi perahu tersebut kelebihan beban dan malah tenggelam di tengah lautan." Potong Fara cepat. Livia terdiam tak berniat membalas. Fara menatapnya jengah. "Sudahlah Livia. Aku sudah muak mendengar ocehan omong kosongmu. Bertingkah sok polos untuk membodohiku. Bujuk sajalah suamimu untuk melepasku. Akan lebih mudah bagiku juga bagi kalian." "Tidak akan, Mbak. Mas Andra tidak akan menceraikanmu." Fara mengerinyitkan kening. "Oh, ya?" "Atau bagaimana kalau saya yang membujuk Andra untuk menceraikanmu, Livia?" Egonya tersentil melihat tingkah Livia yang menjelma bagaikan mahluk tanpa dosa di depannya. Ia mengkonfrontasi Livia, mencari sisi lemah perempuan itu. "Itu tidak akan terjadi mbak. Mas Andra tidak akan menceraikan saya." "Ahh, kau terlalu percaya diri." Fara mengibaskan tangannya. "Kau tahu kan, Andra sangat mencintaiku? Baiklah, aku yang akan membujuknya untuk menceraikanmu. Gampang, bukan? Saya bisa merebut hatinya kembali. Andra bahkan pernah bilang ia tidak mencintaimu." Livia menunduk sambil meremas-remas ujung kemejanya pelan. Hatinya tertusuk-tusuk pedih. Ia sadar, cinta Andra kepadanya tidak sebesar pada Fara. Ia juga menyimpan rasa takut, bagaimana kalau Andra meninggalkannya setelah Fara kembali? Tidak, ia tidak boleh lemah. "Kalau bukan cinta, tidak mungkin dia membuat saya mengandung anaknya." Livia mendongak dengan tatapan menantang. Dalam sekejab dunia Fara kembali runtuh. Kepercayaan diri yang ia bangun semenjak menemui Livia menguap entah kemana. Kata-kata Livia seperti gema tak berdasar di dalam otaknya, lalu menyeruak menyakitkan. Membuka lagi luka yang sudah mati-matian ia balut dengan tangis kesakitan. "Kau ha – hamil?" Livia mengangguk. "Iya mbak, saya sedang mengandung anak yang telah ditunggu Mas Andra bertahun-tahun." Fara tergugu. Bagaimana bisa? Susah payah ia menahan kristal bening yang hendak tumpah dari matanya. Ia mendongak melepaskan sesak di dadanya. Dimana keadilanmu, Tuhan? Pandangannya mendung. "Anakku nanti akan jadi anak Mbak juga. Kita akan besarkan anak kita bersama-sama, Mbak." Tawar Livia. "Aku tidak sudi menganggap anakmu!" Teriaknya sambil menggelengkan kepala. "Mbak, Mas Andra juga awalnya tidak mau menikahi saya. Tetapi, Mama memohon pada saya agar memberikannya seorang cucu. Apakah itu salah, Mbak?" "Salah! Karena saya juga mampu memberikan cucu buat Mama. Seharusnya kamu tidak perlu hadir dalam kehidupan kami, Livia. Seharusnya kisah kalian sudah selesai!" Isaknya tertahan. "Tetapi, sampai sekarang, Mbak belum juga hamil, kan?" "Aku sudah...." Fara tersadar lalu mengunci mulutnya. Ia tidak akan mempertaruhkan rahasianya dengan meladeni wanita ini. Keberadaan anaknya harus tertutup rapat dari siapapun. "Saya mohon Mbak, pikirkanlah dengan jernih. Pulanglah, istanamu membutuhkan ratunya. Maaf, saya permisi!" Livia berdiri meninggalkan Fara yang termenung. "Nikmati saja bekasku sampai puas, you b***h!!!" Teriak Fara ketika Livia hampir mencapai pintu. Tubuhnya menengang kemudian ia memutar knop pintu tersebut dan memilih mengabaikan teriakan frustasi madunya. Livia menaiki mobilnya dengan tergesa. Setiba di atas mobil, tubuhnya gemetar dan menggigil dengan hebatnya. Tidak mudah baginya menghadapi Fara dengan tatapan tajam yang seakan hendak mengulitinya. Perempuan itu sangat mengintimidasi lawannya. Sekali saja ia bertindak gegabah, runtuh sudah pertahanannya. Selanjutnya hanya harapan yang ia gantungkan dalam doa-doanya agar Fara mau mendengar permohonannya untuk pulang. Setelah beberapa malam ia mendengar igauan Andra menyebut-nyebut nama Fara, sejujurnya ia kasihan dan hatinya semakin pedih. Ia ingin membantu mengobati luka suaminya yang sedang patah hati. Sementara itu, setelah ditinggalkan Livia, Fara menyesap kembali kopi yang baru sedikit diminumnya. Tak lama kemudian, tangisnya pun pecah. Siapapun tak akan sanggup mendengar tangisannya yang sangat menyayat hati. Ya Tuhan, sudah, cukupkanlah sampai disini. Aku tidak kuat lagi!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN