Chapter 4 : Sendirian

879 Kata
            Cekrek! Sam membuka pintu rumahnya. Kemarin siang, presentasi Tina berjalan lancar. Klien cukup puas dengan hasil kerjanya. Sam menghempaskan dirinya di atas sofa, dan mengambil remote tv, lalu menyalakannya asal-asalan. Tidak ada acara yang bagus. Sudah berapa lama ia tidak nonton tv?  Kerjanya sehari-hari cuma tidur, makan, dan berkutat dengan pekerjaannya selama berjam-jam. Rutinitas lagi. Rutinitas lagi. Bosan. Belakangan ini Sam kehilangan kontak dengan teman-temannya. Hari ini malam minggu.  Tidak ada teman yang bisa diajak jalan. Rata-rata temannya sudah menikah dan jadi ibu rumah tangga dengan seorang bayi yang lucu. Kehidupan yang tidak dikenalnya. Sedangkan teman laki-lakinya sibuk pacaran atau mengumpulkan uang untuk biaya pernikahan. Pacar? Sesuatu yang belakangan ini sama sekali tidak ingin disinggungnya. Payah. Betul-betul payah.             Sam membuka-buka kulkas dan tidak menemukan makanan yang menarik di dalamnya. Isinya nyaris kosong. Ia perlu pergi ke supermarket untuk memenuhinya dengan sayuran atau daging. Tapi, siapa yang akan memasak? Yang jelas bukan dirinya. Jadi, sepertinya makanan yang perlu diolah bukan ide yang bagus.  Rumahnya sepi sekali. Nyaris tidak terdengar suara. Hampir tiga tahun ini tidak ada orang selain dirinya sendiri yang menghuni rumahnya. Sejak Karin, kakak perempuannya pergi ke Amerika Serikat bersama suaminya enam tahun yang lalu, rumah jadi terasa lebih luas.  Tiga tahun yang lalu, ibunya memutuskan untuk tinggal bersama Karin di Amerika serikat, mengurus ketiga cucunya yang lucu-lucu. Daniel, yang berusia 2 tahun, si kembar Andrea dan Andreas yang baru saja dilahirkan saat itu. Sam tersenyum pahit. Enam tahun yang lalu dunianya terasa hancur. Kedua orang tuanya memutuskan untuk bercerai setelah perselingkuhan yang dijalani ayahnya selama beberapa tahun terakhir terbongkar. Bahkan kakaknya Karin harus memohon-mohon agar kedua orang tuanya mau hadir di pernikahannya yang dilangsungkan sebulan setelah perceraian orang tuanya terjadi. Pernikahan itu sudah dirancang sejak lebih dari setengah tahun sebelumnya. Sungguh aneh jika mempelai wanita tidak didampingi orang tuanya di pelaminan. Setelah itu, tanpa ingin menambah kenangan menyakitkan, Karin pergi meninggalkan tanah air. Tinggal Sam dan ibunya berdua di rumah. Sepanjang hari Sam harus mendengarkan keluh kesah ibunya yang meratapi nasibnya sepanjang waktu. Tidak terhitung berapa kali ibunya berulang-ulang mengatakan padanya kalau pria itu b******k, pengkhianat, b******n, mesin seks, maniak, dan sebagainya. Hal itu benar-benar membuatnya muak.  Sam benci dengan rengekan ibunya yang terdengar lemah sepanjang hari. Ia benci cara ibunya menjelek-jelekkan ayahnya. Ia benci pada ibunya yang tidak bisa apa-apa tanpa ayahnya. Ia benci. Benci sekali. Sam tidak berpikir buruk tentang laki-laki sebelumnya. Khususnya, ayah. Sam cukup dekat dengan ayahnya. Ia betul-betul tidak percaya kalau sang ayah rela meninggalkan keluarganya demi wanita lain. Ia yakin pasti terjadi suatu kesalahpahaman. Hati kecilnya tidak pernah berhenti berharap agar kedua orang tuanya bisa rujuk kembali.  Sayangnya, sekali lagi Sam harus menerima kenyataan pahit. Hanya selang beberapa bulan dari perceraian kedua orang tuanya, ayahnya menikah lagi. Hal itu benar-benar membuatnya hancur. Ayah yang disayanginya telah mengkhianati kepercayaannya. Sam ingin lari. Lari ke pelukan seseorang yang mencintainya. Ia membutuhkan dukungan untuk tetap tegar. Namun kekasihnya Denis, yang sudah mendampinginya selama 3 tahun, saat itu sangat susah dihubungi. Ponselnya nyaris tidak pernah diangkat. Kalau pun diangkat biasanya dalam keadaan tergesa-gesa. Sam sangat membutuhkan Denis.  Baginya Denis adalah udara. Denis adalah pria pertama yang dicintainya sepenuh hati, dengan kepolosan dan keluguannya. Dalam hatinya Sam sudah menetapkan bahwa cintanya hanya untuk Denis, sekali dan seumur hidup. Makanya, ia sangat girang sekali ketika Denis mengatakan hal yang sama. Di saat tersusah dalam hidupnya, Sam bisa bertahan, asalkan ada Denis.  Ya, Denis. Betapa menyakitkannya ketika ia memergoki Denis berciuman dengan gadis lain di dalam mal, sementara ia sedang berduka. Denis mengkhianatinya. Mungkin apa yang dikatakan ibunya memang benar... Pengkhianat! Semua pria b******k. Semua pria b******n. Semua laki-laki egois. Tidak ada laki-laki yang betul-betul mencintai wanita sepenuh hati. Semua laki-laki hanya tertarik pada satu hal. Seks. Mereka tidak tertarik pada komitmen. Mereka tidak tertarik dengan cinta. Terlebih lagi... keluarga. Hanya wanita bodoh yang percaya laki-laki membawa cinta.  Dan, Sam berhenti percaya. Ia tidak butuh laki-laki. Sam berjanji pada dirinya sendiri untuk bisa sukses tanpa bergantung pada laki-laki. Ia tidak ingin dirinya terlihat menyedihkan seperti ketika ibunya kehilangan ayahnya. Tidak. Sam tidak akan bergantung pada siapa pun. Sejak saat itu, hidup Sam terasa kosong. Berbagai perasaan sedih, muak, marah, dan terluka menghantuinya silih berganti. Ia terus berusaha menyibukkan dirinya dengan berbagai kegiatan.  Ia bersyukur tugas-tugas kuliahnya datang bertubi-tubi tanpa henti, hingga pikirannya tidak usah melayang ke mana-mana. Bahkan ketika lulus pun, ia langsung mendapatkan pekerjaan yang diinginkannya. Dengan jam kerja yang gila-gilaan, Sam tidak usah berpikir banyak untuk mengisi hidupnya. Hidupnya adalah pekerjaan. Tidak ada yang lain. Ketika ibunya memutuskan untuk merawat cucu-cucunya, Sam tidak terlalu merasa kehilangan. Ia malah bersyukur karena dirinya terlepas dari sumpah serapah yang diucapkan ibunya siang dan malam. Lagipula, mungkin kesibukan merawat cucu bisa membuat ibunya melupakan luka hatinya yang mendalam.  Otomatis Sam benar-benar sendirian di dalam rumah yang memiliki empat kamar tidur. Berarti ada tiga kamar kosong. Rumahnya terasa lengang. Kosong. Sekosong hatinya. Sekosong hidupnya. Entah karena apa, malam ini Sam begitu sentimentil. Rasa sepi dan kekosongan terasa begitu menusuk. Begitu nyeri sehingga rasanya lebih baik mati.  Sam tergelak sinis. Ia membayangkan dirinya hidup sendirian sampai tua dan mati tanpa seorang pun mengetahuinya. Tidak. Ia tidak boleh berpikir yang bukan-bukan.             Kalau begitu, apa yang sebaiknya dilakukannya dengan tiga kamar kosong? Sam tersenyum. Ia buru-buru mengambil selembar karton dan spidol besar, lalu mulai menulis.             DISEWAKAN KAMAR KOS             TEMPAT TERBATAS             HUBUNGI 08156753248 (24 JAM)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN