Chapt 5. Still The Same Discussion

1385 Kata
… Labaratorium pribadi Zea.,            Rega menutup rapat pintu laboratorium ini. Dia mengikuti langkah kaki Zea menuju meja di ujung sana. “Aku akan meletakkan ini di inkubator,” ujarnya berjalan ke arah inkubator yang terletak di sebelah sana, tepat di dekat meja penelitian Zea.            Sementara Zea sendiri, dia mendaratkan bokongnya di kursi bundar kecil berwarna silver. Dia melihat beberapa catatan kecil disana, lalu membacanya berulang kali.            Sebuah kata motivasi dimana akan menjadi penyemangat tersendiri baginya disaat dia benar-benar terjatuh dan merasa putus asa. Jika membaca satu kalimat itu, dia akan mengingat bagaimana rasa sakit ketika ia melihat dengan mata kepala sendiri, keluarganya meregang nyawa karena virus Monodna IV-98.            Terutama ketika ia harus melihat secara langsung, kedua orang tuanya meninggal tepat di hadapannya sendiri, tanpa dirinya bisa mendampingi dari jarak dekat. Sungguh, virus Monodna IV-98 adalah musuh terbesar Zea karena sudah membuatnya bermimpi buruk hingga tidak bisa melepas bayangan itu hingga detik ini.            Dia sadar bahwa semua yang terjadi di muka bumi ini adalah takdir dan rencana Tuhan. Namun, dia juga percaya bahwa Tuhan selalu memberikan solusi dan penawar dari penyakit yang ia ciptakan melalui tangan manusia. “Aku tahu mungkin hasilnya tidak akan sesuai dengan ekspektasi kita, Zea.” Rega berjalan mendekati Zea, lalu menarik satu kursi bundar yang sama di dekat sana, dia duduk tepat di sisi kiri Zea.            Tanpa menyentuh Zea, dia menatap sahabatnya yang satu ini. “Tapi … tidakkah kau berniat untuk mengujinya sekali lagi?” tanya Rega berusaha meyakinkan hati Zea.            Pertanyaan Rega membuat Zea menoleh ke kiri. “Mungkin kau tidak akan menemukan spesifikasi yang cocok. Tapi … aku pikir sepertinya tidak akan masalah kalau kau mencobanya sekali lagi, sembari kau menemukan kadar yang tepat. Atau … bisa saja kau mendapatkan ilham dari Tuhan ketika mengujinya nanti. Tiba-tiba saja ada beberapa bahan baru yang harus kau racik,” jelas Rega mengungkapkan pendapatnya.            Zea masih menatap lekat Rega. “Aku … sebenarnya aku tidak tahu, Rega. Aku bingung harus bagaimana lagi,” ujarnya lalu menatap ke arah depan, melihat ke sembarang arah. “Kau tahu aku sudah menguji ini selama beberapa bulan terakhir. Aku sudah memakai DNA yang sama beberapa minggu lalu, aku menaikkan kadarnya beberapa persen. Tapi … hasilnya tetap nihil.” Dia melirik Rega sekilas. “Kita bisa menemukan vaksin yang tepat. Walau itu … juga berasal dari Negara mereka. Bagaimana mungkin kita tidak bisa menemukan itu, Rega?? Sementara semua pengetahuan adalah sama. Kita sudah tahu masalah utamanya. Kenapa sulit sekali untuk menemukan kadar yang tepat?? Ini sangat mustahil bukan??” ujarnya meluapkan semua emosi dalam dirinya. Dia menyematkan kedua jemarinya diatas meja keramik putih, pikirannya bercabang kesana-kemari.            Rega menarik panjang napasnya. Dia tahu bahwa semua laboratorium pasti tengah meneliti penawar yang tepat, tidak hanya dijadikan vaksin untuk mencegah penyebaran virus masuk ke dalam tubuh. “Sebelumnya … aku minta maaf padamu, Zea.”            Zea langsung menoleh ke kiri, keningnya berkerut. “Tadinya aku ingin bercerita padamu mengenai media yang kami buat. Tapi … aku sudah berjanji pada mereka untuk tidak mengganggu konsentrasimu,” ujar Rega.            Dia tersenyum tipis dibalik masker penutup mulutnya, kepalanya mengangguk kecil. “Tidak masalah, Rega. Kau tidak perlu mempermasalahkan itu,” balas Zea.            Rega melihat dan memperhatikan laboratorium utama Zea. Sepertinya memang kesalahan besar jika dia masih berada disini.            Apalagi dia tahu bahwa Zea butuh banyak waktu untuk berpikir sekaligus melanjutkan penelitiannya. Wanita ini harus diberi banyak waktu dan ruang.            Sebagai seorang peneliti, Rega sangat memahami dan mengerti dengan kondisi Zea. Dia akan memberi Zea waktu sementara. “Kalau begitu … aku keluar Zea,” ujarnya beranjak dari duduk.            Zea mengangguk kecil. “Terima kasih, Rega. Maaf kalau aku sangat menyebalkan pagi ini,” ujar Zea berdiri lalu menatap Rega.            Dia tersenyum sambil menggelengkan kepala. “Kau jangan berpikiran sempit! Tentu saja aku memahamimu. Lagi pula … ada yang harus aku kerjakan. Semoga ada sesuatu yang gembira yang kami dengar darimu. Tidak tahu apakah hari ini, siang ini, atau besok, lusa. Atau beberapa hari lagi. Aku yakin Tuhan pasti membantu kita. Membantumu,” jelasnya memberi semangat kepada Zea.            Rega menggepal kedua jemarinya. “Semangat, Zea! Kami selalu mendukungmu!” ujarnya memberi semangat sekali lagi.            Zea mendekati Rega lalu memeluknya. “Terima kasih, Rega. Terima kasih kau sudah memahamiku. Aku yakin … kalian melakukan ini semua untuk kita. Untuk membantuku,” ujarnya lagi.            Rega mengangguk kecil, mengusap pelan punggung Zea yang sama berbalut alat pelindung diri sama seperti dirinya. …            Mereka masih berdiam diri disana, sementara Prof. Calder sudah beranjak dari duduknya, dia hendak berjalan menuju meja kerjanya. “Aku tidak tahu apa yang sedang diteliti oleh Zea. Tapi aku merasa … kalau dia benar-benar serius dengan apa yang sedang ia racik,” ujar Prof. Calder berjalan lambat.            Mereka semua saling menatap satu sama lain. Apa yang dikatakan oleh Prof. Calder memang benar. “Aku sendiri percaya kalau apa yang Zea lakukan memang serius, Prof. Tapi … apakah kita hanya bisa membantu sampai disini saja?” tanya Prof. Gil masih duduk disana.            Prof. Calder menghentikan langkah kakinya. Dia berbalik badan, melihat mereka semua yang masih duduk disana. “Kita harus menunggunya, Gil. Kalian tahu bukan? Zea tidak pandai berbasa-basi dan menjelaskan sebelum ada pembuktian. Jadi … kita dukung saja dia. Dan yang paling penting … jangan sampai berita ini keluar lagi. Atau mereka akan berusaha keras untuk menggagalkan penelitian terakhir Zea,” ujar Prof. Calder.            Mereka semua mengangguk paham. “Tentu saja, Professor. Tim kita tidak akan membocorkannya kepada siapapun,” ujar Axton masih duduk disana. “Aku yakin kalau Zea akan berhasil dengan penelitiannya. Dia sangat cerdas. Tapi … memang harus membutuhkan waktu untuk membuktikan keberhasilan penelitiannya,” ujar dr. Atlas.            Hugo berpikir sejenak. Semua inti pembahasan mereka adalah untuk mendukung penelitian Zea. Sementara rekan kerja mereka itu enggan untuk memberitahu apa yang tengah Zea racik. “Sepertinya kita hanya perlu diam sebentar, Prof. Jika bukan tahun ini, mungkin saja tahun depan. Atau beberapa tahun lagi. Kita tidak bisa tahu kapan Zea akan berhasil dengan penelitiannya. Karena dia harus melakukannya berulang kali. Berbeda hal jika kita mencari tahu mengenai jenis vaksin terbaru. Kita bisa saja membuatnya dalam jangka waktu cepat,” ujar Hugo mengemukakan pendapatnya.            Tidak ada sahutan dari mereka yang lain. Sebab apa yang dikatakan Hugo memang benar. Sangat sulit bila ingin tahu penawar yang tepat. Karena virus ini tidak hanya merusak sistem imunitas tubuh dalam jangka waktu cepat, tetapi juga bisa membuat seseorang sekarat hanya dalam hitungan hari saja. “Sekarang, kita hanya perlu memastikan kalau mereka tidak berpikir bahwa Zea masih melanjutkan penelitian ini. Kita harus waspada terhadap siapapun yang mencoba untuk mengambil informasi dari laboratorium kita,” ujar dr. Viona kembali mengingatkan mereka. Sreekk…            Pintu laboratorium Zea terbuka. Mereka melihat Rega keluar dari sana, menutup kembali pintu laboratorium itu, lalu berjalan ke arah mereka sambil mengendikkan bahu. “Bagaimana dengannya?” tanya Prof. Calder.            Rega meliriknya. “Masih sama, Prof. Sepertinya Zea kembali putus asa,” jawab Rega berjalan menuju rak khusus dimana mereka menyimpan berkas hasil penelitian. Rega mengambil satu catatan miliknya disana. “Dia merasa bahwa apa yang dia lakukan mungkin akan sia-sia saja. Aku tidak mengerti bagaimana cara menyemangati dia.” Rega menghampiri mereka yang masih berkumpul dan duduk di sana. “Aku hanya bisa menyemangati dia saja. Karena … tidak mungkin aku meminta dia untuk memberitahu racikan yang sedang dia buat, walau belum menemukan keberhasilan,” sambung Rega lagi.            Mereka saling menatap satu sama lain. Prof. Calder kembali melanjutkan langkah kakinya berjalan menuju meja kerjanya disana. “Kita tunggu saja. Jika memang Tuhan berkehendak, penelitian Zea pasti akan berhasil. Karena sejujurnya … aku sendiri sangat penasaran dengan bahan-bahan yang dipergunakan oleh Zea. Walaupun aku sendiri … juga belum bisa menemukan penawar yang tepat. Itu sangat sulit sekali,” ujar Prof. Calder.            Yah, mereka tidak bisa melakukan banyak selain berusaha masing-masing. Mungkin sebagian dari mereka masih terus melakukan penelitian agar bisa menemukan penawar yang tepat. Lalu, sebagian lagi mungkin sudah menyerah dan memilih untuk melakukan penelitian pribadi yang tidak berhubungan dengan virus Monodna IV-98.            Hugo beranjak dari posisi duduknya. “Baiklah. Aku akan kembali bekerja. Ada cicilan yang aku harus aku bayar kepada Professor Gil,” ujarnya melirik Prof. Gil sambil melakukan salam hormat di ujung pelipis kanannya.            Mereka menggelengkan kepala melihat tingkah konyol Hugo. Pria bertubuh gempal yang tidak pernah gagal membuat lelucon disaat-saat tertentu. * * Novel By : Msdyayu (Akun Dreame/Innovel, IG, sss)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN