"Cuci tangan, cuci kaki, ganti baju terus bobok siang ya, Sayang," perintah Niswa pada Sang putra beberapa saat setelah mereka memasuki rumah, mereka sudah makan siang di rumah Febi sebelum pulang tadi jadi saat sampai rumah Kama bisa langsung tidur siang.
"Oke, Bunda," jawab Kama patuh, bocah itu lalu memeluk sang ibu sesaat dan mencium pipi Niswa yang harus menunduk agar putranya itu bisa mencium pipinya.
Kama langsung berlari kecil menaiki anak tangga menuju kamarnya sedangkan Niswa langsung ke dapur untuk memasukkan cookies yang baru ia buat di rumah Febi ke dalam toples.
Niswa memang sengaja menjemput Kama dari sekolahnya lalu mengajak bocah itu ke rumah Febi karena acara membuat kuenya belum selesai, selain itu banyak hal yang masih ingin Niswa bicarakan dengan Febi.
Tentu saja pembicaraan itu tidak jauh-jauh dari perempuan yang mengangkat teleponnya tadi, perempuan yang mengatakan ingin bertemu dengan istri Ibram, istri dari laki-laki yang selalu dia sayang sayang.
Wanita cantik itu berusaha berkonsentrasi memasukkan cookies ke dalam toples toples kaca, memindahkannya dari wadah plastik yang ia bawa dari rumah Febi tapi tetap saja perasaan wanita itu terasa begitu kacau.
Tiba-tiba saja bayangan wajah Kama yang begitu bahagia ketika bermain bersama sang ayah berkelebat menyebabkan sedikit demi sedikit goresan di dalam hatinya terasa semakin nyata, Niswa sudah merasakan bagaimana kekosongan hati menjadi seorang anak yang tumbuh tanpa kasih sayang orang tua dan jelas wanita itu tidak ingin Sang putra merasakan hal yang sama.
Niswa lebih takut putranya itu merasa sakit hati daripada ketakutan merasakan sakit hatinya sendiri, ia begitu paham jika ketenangan hati Kama juga pasti akan terusik jika terjadi suatu masalah antara kedua orang tuanya.
Membayangkan nasib Kama jauh lebih menyakitkan dibandingkan membayangkan sakit hatinya sendiri jika benar-benar Ibram telah mengkhianati pernikahan mereka.
Niswa menggelengkan kepala seolah berusaha menepis bayangan menyeramkan yang sedang menghantui pikirannya, "enggak, semuanya belum jelas, aku akan ketemu perempuan itu semoga saja semua ini hanyalah sebuah salah paham. Arman juga nggak pernah melaporkan hal yang aneh padaku."
Kedua toples yang ada di hadapan Niswa sudah penuh lalu wanita itu teringat piring milik Jihan yang masih berada di rumahnya, wanita itu langsung mengambil piring tersebut dan mengisinya dengan cookies yang ia buat dan akan mengantarkannya ke rumah wanita itu.
Berjalan dengan langkah anggun seperti biasanya, Niswa membawa piring yang sudah terisi dengan cookies keluar dari rumah, berjalan melewati car port lalu keluar dari pagar dan menyeberang jalan kini wanita cantik itu sudah berada di depan pagar rumah Jihan yang sudah terbuka walaupun tidak begitu lebar.
Niswa mengetuk pintu beberapa kali sambil mengucap salam, dan beberapa saat kemudian seorang wanita bertubuh agak gemuk membukakan pintu.
"Eh ada Bu Niswa," sapa suster Rini melihat Niswa berdiri di depan pintu sambil membawa piring di tangannya.
"Suster Rini, Aku mau ngembaliin piringnya Jihan," kata Niswa sambil menunjukkan piring yang ia bawa, suster Rini melihat ada sesuatu di dalam piring berpenutup cantik itu.
"Silakan masuk Bu, Bu Jihan ada di ruang tengah. Bu Niswa kasih sendiri aja piringnya," kata suster Rini sambil membuka pintu lebih lebar, Niswa pun langsung memasuki rumah itu.
"Kalila mana sust kok nggak kelihatan?" tanya Niswa karena merasa rumah itu begitu sunyi.
"Kalila lagi bobok siang, Bu," jawab suster Rini wanita itu langsung berjalan menuju anak tangga sementara Niswa berjalan ke ruang tengah, wanita itu tersenyum melihat Jihan duduk membelakanginya bersandar pada sofa yang cukup tinggi sambil menempelkan ponsel di telinga.
"Kurang Mas, aku masih kangen," kata Jihan dengan nada begitu manja, Niswa mengulum senyum karena mengetahui wanita itu sedang berbicara dengan suaminya.
"Iya tapi kapan? tadi kan cuma sebentar, Aku pengennya lama-lama sama kamu terus," sambung Jihan setelah beberapa saat terdiam mungkin mendengarkan sang suami mengatakan sesuatu.
Niswa jadi malu sendiri mendengar Jihan bermesraan di telepon seperti itu lalu sengaja berdeham untuk memberitahu Jihan jika ada dirinya di tempat itu, "ehem ...."
Jihan langsung berjingkat kaget, duduk tegak sambil menoleh ke belakang agar bisa melihat ke arah tempat Niswa berdiri sekarang, Niswa menatap wanita itu dengan tatapan yang mencerminkan rasa tidak enak hati.
"Mbak Niswa?" kata Jihan sedikit gugup mungkin malu karena pembicaraannya ternyata didengar oleh orang lain, Niswa hanya tersenyum padanya.
"Mas sudah dulu ya ada Mbak Niswa tetangga aku datang," kata Jihan pada seseorang di ujung telepon sana, wanita itu langsung mematikan ponselnya dan berdiri menyambut Niswa.
"Maaf ya aku ganggu, Aku cuma mau ngembaliin piring ternyata kamu lagi teleponan sama suami kamu," kata Niswa tidak enak hati, Jihan langsung merangkul lengan wanita itu dan mengajaknya duduk di sofa ruang tengah tempatnya berada sejak tadi.
"Nggak apa-apa Mbak nggak ganggu kok, maklumin aja Ya namanya juga orang ldr-an," kata Jihan Sambil tertawa kecil, Niswa hanya tersenyum mendengarnya.
"Aku tuh salut banget loh sama orang yang bisa ldr-an, Han," kata
Niswa memuji, Jihan hanya tersenyum mendengarnya.
"Oh iya ini tadi aku bikin cookies kamu cicipin, ya, sekalian ini piring kamu aku kembaliin, Makasih browniesnya enak banget Mas Ibram juga suka," kata Niswa sambil memberikan piring yang ia pegang pada Jihan.
"Wah ini pasti enak banget kita makan sambil ngobrol-ngobrol yuk Mbak, tapi aku bikin teh dulu bentar ya. Mbak Niswa tunggu sini," kata Jihan sambil meninggalkan Niswa untuk pergi ke dapur.
"Kama mana Mbak, Kok nggak ikut ke sini?" tanya Jihan sambil membuat teh, dapur bersih rumahnya memang tidak terlalu jauh dari ruang tengah.
"Kama lagi tidur siang, kalau nggak dia pasti yang lebih heboh ngajakin ke sini," jawab Niswa sambil menatap foto-foto yang ada di meja, ada foto Jihan, foto Kalila dan juga foto suami Jihan. juga foto mereka berdua, sepertinya itu foto prewed mereka dulu.
"Kalau mbak Niswa ngerasa kagum sama orang yang bisa ldr-an, Aku justru ngerasa iri sama pasangan yang bisa terus berdampingan," kata Jihan yang sudah kembali sambil membawa dua cangkir teh, "ayo diminum tehnya Mbak."
"Tapi mau gimana lagi, ini sudah resiko aku. aku yang dengan sadar menerima pinangannya ayahnya Kalila," sambung Jihan sebelum menyeruput tehnya.
"Tapi semua itu atas dasar cinta kan, yakin aja deh kalau semuanya didasari dengan cinta pasti akan berjalan dengan baik dan mudah," kata Niswa, wanita itu tersenyum melihat Jihan yang sedang memakan cookies buatannya dan wanita itu terlihat begitu menikmatinya.
"Ini enak banget Mbak, Mbak Niswa harus ngajarin aku bikin cookies ini," kata Jihan dengan begitu antusias Niswa tersenyum mendengarnya.
"Iya kapan-kapan kita bikin bareng ya," Jawab Niswa sambil tersenyum lebar.
"Aku emang cinta banget sama ayahnya Kalila, cinta banget sampai aku hampir gila!" jawab Jihan dengan pandangan menerawang, Niswa mengulum senyum mendengarnya.
"Iya, aku bisa melihat dari mata kamu kok kalau kamu sangat mencintai laki-laki beruntung itu. dan walaupun kamu harus ldr-an sama ayahnya Kalila seenggaknya kan kamu deket sama keluarganya, kamu bisa diterima baik oleh orang tuanya," ucap Niswa juga dengan pandangan menerawang teringat pada nasibnya sendiri.
"Iya mbak, keluarga ayahnya Kalila emang bisa nerima aku dengan baik, kedua eyangnya Kalila juga sayang banget sama aku. tapi emang ada ya mbak keluarga suami yang gak bisa nerima wanita yang dicintai anaknya?" sahut Jihan ringan, Niswa hanya tersenyum karena merasa wanita itu tidak mengetahui sebuah hal yang banyak terjadi di dunia ini termasuk sesuatu yang dialami oleh dirinya sendiri.
"Tapi kalau Mbak Niswa nggak mungkin mengalami hal itu dong, Mbak Niswa itu terlalu sempurna buat diterima di manapun, keluarganya Mas Ibram juga pasti merasa beruntung banget bisa punya menantu kayak Mbak Niswa," kata Jihan sambil menatap Niswa dengan penuh kekaguman, lagi-lagi Niswa tersenyum teduh mendengarnya.
"Sayangnya apa yang terlihat di luar nggak seperti apa yang terjadi Jihan, Aku bukan salah satu dari perempuan beruntung itu. satu-satunya hal yang mendasari dan membuat rumah tangga kami bertahan sampai saat ini hanyalah rasa cinta antara kami berdua juga rasa cinta kami pada Kama, Mas Ibram adalah laki-laki luar biasa yang memperjuangkan aku walau tidak ada satupun dari keluarganya yang bisa menerima aku," kata Niswa membuat kedua mata Jihan membola tidak percaya.
"Masa sih Mbak, ada orang yang bisa nolak superstar seperti Mbak?" tanya Jihan, Niswa tertawa kecil mendengarnya.
"Nggak semua orang silau akan hal itu Jihan, ada juga orang-orang yang nggak cuma melihat masa kini atau masa depan tapi juga begitu mementingkan masa lalu. Aku yang nggak jelas bibit dan bebetnya membuat keluarga Mas Ibram nggak bisa menerima aku, walaupun pada akhirnya Mas Ibram tetap menikahi aku meskipun tanpa restu. aku nggak menganggap keluarga Mas Ibram nggak penting, mereka adalah orang yang begitu penting untuk mas Ibram, tapi karena Mas Ibram mau memperjuangkanku dan memiliki cinta yang luar biasa untukku maka aku memutuskan untuk hidup bersamanya," terang Niswa, Jihan hanya diam mendengarkan dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Aku tahu posisi Mbak Jihan pasti sangat sulit dari dulu sampai saat ini, tapi Mas Ibram juga pasti berada dalam posisi yang nggak mudah," kata Jihan, Niswa tersenyum melihat wanita itu sedih mungkin merasa prihatin mengetahui keadaan rumah tangga Niswa yang sebenarnya.
"Kamu bener Jihan, Mas Ibram berasal dari keluarga ningrat yang begitu kental akan akar budaya juga kedekatan antar keluarga, mas Ibram nggak pernah sekalipun menentang aturan keluarga itu atau ucapan kedua orang tuanya kecuali mengenai aku."