Bab 3. Ethan Alexander Edwards

1800 Kata
Saat Ava menoleh dan melihat sosok pria yang berlutut di hadapannya, ia terkejut bukan main. Matanya membulat dan bibirnya terkatup rapat saat melihat wajah yang sudah lama tidak ditemuinya. "Jake?" gumamnya dengan suara yang hampir tidak terdengar, terlalu terkejut untuk berbicara dengan jelas. Rasa sakitnya pun mendadak sedikit reda. Jake Preston, teman sekolahnya sejak mereka duduk di bangku sekolah menengah pertama, dan bukan hanya itu, keluarga Preston adalah partner bisnis keluarga Schwarz. Ava tidak pernah menduga bahwa mereka akan kembali bertemu di situasi seperti ini, terutama di saat ia tengah mengalami kontraksi persalinan seperti saat ini. "Y-ya, Ava ... ini aku, Jake," jawab Jake dengan raut wajah yang terlihat jelas sangat terkejut dengan keadaan Ava. "Kenapa Ava hamil? Sejak kapan dia menikah? Kenapa aku tak pernah mendengar kabar tentang pernikahannya?" gerutu Jake dalam batin. Tetapi keterkejutan Ava dan Jake hanya bertahan sesaat, sebelum Ava kembali mengerang kesakitan saat terserang oleh rasa sakit yang semakin menjadi. Kontraksinya semakin kuat dan ia merasakan dorongan yang kuat di bawah sana. "To-tolong ... tolong bawa aku ke rumah sakit, Jake," pintanya sambil menahan rasa sakit yang sangat dahsyat di perutnya. "Sebentar," kata Jake sambil berdiri, tampak panik dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Dia hanya ingin merogoh ponsel dari dalam blazer yang dikenakannya untuk menghubungi ambulans. Namun, sebelum Jake sempat merogoh sakunya, Ava menahannya dengan tangan gemetar dan dahinya yang sudah dipenuhi peluh. "Cepat, Jake," ucapnya dengan napas yang terengah-engah akibat rasa sakit. "Sakit ...." Jake menoleh padanya dengan tatapan penuh kekhawatiran. "Tunggu sebentar, Ava, aku akan memanggil ambulans." Ava menggelengkan kepala pelan. "Tidak, itu menghabiskan terlalu banyak waktu. Aku sudah merasakan dorongan yang sangat kuat ... aku ... aku harus melahirkan secepatnya, Jake," jelasnya dengan suara yang agak terengah-engah. Jake tampak panik, tidak tahu harus berbuat apa. Namun, dia mencoba untuk tetap tenang dan mencari solusi. "Baiklah, aku akan membantumu. Apakah kau bisa berjalan?" Ava mengangguk, meskipun wajahnya pucat karena rasa sakit yang amat dahsyat itu. Dengan bantuan Jake, Ava berusaha bangkit dari lantai dan berjalan menuju pintu keluar. Namun, baru beberapa langkah, Ava sudah terlihat tidak sanggup untuk terus melangkah, dahinya semakin dipenuhi peluh sebesar biji jagung. Akhirnya, dengan cepat, Jake mengangkat tubuh Ava ala-ala bridal style. Ava pun menautkan kedua tangannya di leher Jake. Di luar supermarket, Jake membawa Ava masuk ke mobilnya dan melajukan mobil mewah miliknya itu dengan cepat, menuju ke rumah sakit terdekat. Ava merasakan kontraksi yang semakin sering dan begitu kuat, membuatnya semakin gelisah. "Terima kasih, Jake," ucapnya dengan suara yang terengah-engah saat mereka tiba di rumah sakit dan kembali menggendongnya menuju brankar yang telah disambut oleh dua orang perawat laki-laki. Jake mengangguk, tampak lega bahwa Ava sudah dalam perawatan medis yang tepat. "Tidak perlu mengucapkan terima kasih. Kau tahu benar, aku selalu peduli padamu, Ava," jawabnya dengan serius. "Aku akan menunggumu di sini. Kau harus kuat, Ava. Oh ya, apa ada seseorang di sini yang bisa aku hubungi?" "Adikku ... Theo ... tolong hubungi dia," jawab Ava dengan napas yang tersengal. "Theo? Kenapa dia tidak memintaku untuk menghubungi suaminya?" batin Jake menatap heran pada Ava dengan dahinya yang mengernyit. "Baiklah," jawab Jake yang langsung mencoba menghubungi Theo. Beruntung dia memiliki kontak Theo. Setelah Ava masuk ke dalam ruang bersalin dan Jake sudah menghubungi Theo, Jake masih menunggu di luar ruangan dengan perasaan cemas dan khawatir. Meskipun hatinya terasa pahit setelah dia harus menerima kenyataan bahwa Ava telah memiliki pria lain di hatinya, namun Jake merasa bertanggung jawab untuk memastikan keselamatan Ava dan bayinya. Beberapa jam kemudian, seorang perawat keluar dari ruang persalinan dengan senyum lega di wajahnya. "Selamat, Anda telah memiliki seorang bayi laki-laki yang sehat," ucapnya kepada Ava yang masih terbaring di brankar dengan napasnya yang tersengal. Wajahnya terlihat sangat kelelahan setelah melahirkan bayinya dengan persalinan pervaginam atau yang biasa disebut persalinan normal. Ava tersenyum lemah, merasa lega bahwa proses persalinannya telah berjalan lancar. Namun, di tengah kebahagiaannya, dia tidak bisa melupakan perasaan cemas dan kekhawatirannya tentang masa depannya dan calon anaknya. Air matanya mengalir deras dari kedua sudut matanya. Dalam momen ini, Ava sungguh membutuhkan sosok Tristan. Membayangkan bagaimana Tristan akan memanjakannya dan memberikan perlakuan-perlakuan manis padanya seperti dulu, membuatnya merindukan sosok pria yang berhasil menawan hatinya itu. Hati Ava sungguh tertawan oleh dokter berkarakter dingin itu. Meskipun Tristan menghilang tanpa kabar, namun Ava tidak pernah membencinya, karena hingga hari ini ia masih yakin telah terjadi sesuatu pada Tristan. Theo yang telah menerima kabar dari Jake, segera menghubungi kedua orang tuanya. Tanpa menunggu lama, Jeanice dan Eryk pun langsung bergegas menuju bandara, dan terbang ke Oxford dengan menggunakan jet pribadinya. Hanya berselang dua jam, pasangan suami istri itu sudah tiba di rumah sakit tempat putrinya melahirkan cucu pertama mereka. "Ava!" Jeanice yang baru saja membuka pintu kamar rawat VVIP itu langsung berlari kecil dan berhambur memeluk putrinya itu. Namun, Ava tak membalasnya. Hanya ada suara isak tangis di balik punggungnya. "Hei, kau kenapa, Sweetheart?" tanya Eryk setelah menyadari putri kesayangannya itu menangis pilu. "Dad ... kapan kau akan menemukannya? Kenapa sampai hari ini kau masih belum bisa menemukan Tristan? Bagaimana dengan nasib anakku nanti, Dad?" tanya Ava setelah mengurai pelukannya dari sang mommy. "Maaf, sampai hari ini orang-orang suruhan Daddy masih belum bisa menemukannya. Mereka bahkan sudah menelusuri seluruh Perancis, tapi mereka tetap tidak bisa menemukan keberadaannya," ujar Eryk dengan raut wajah penuh penyesalan. "Daddy tidak sedang membohongiku, kan, Dad?" Ava menatapnya curiga. "Ava, Daddy tidak berbohong. Daddy-mu sungguh belum mendapatkan kabar baik itu. Bersabarlah ... semoga tidak lama lagi Daddy berhasil menemukannya," sela Jeanice yang merasa sedikit kecewa dengan tuduhan Ava kepada suaminya. Sebab Jeanice tahu benar bagaimana perjuangan Eryk mendapatkan kabar tentang pria itu. "Tapi, Mom, rasanya tidak mungkin orang suruhan Daddy tidak bisa mengetahui di mana keberadaan terakhir Tristan. Mereka pasti bisa menyusuri jejaknya." "Baji ...." "Dad, sudah berapa kali aku katakan padamu, jangan pernah memanggilnya dengan sebutan seperti itu! Dia itu Ayah dari cucumu!" potong Ava tersungut. Dia tak pernah terima setiap Eryk memanggilnya seperti itu. "Okay, fine, maaf!" ucap Eryk. "Dia terakhir terlihat keluar dari unit apartemennya menuju rooftop, dan setelah itu dia menghilang," sambungnya. "Menghilang di apartemennya? Tapi bagaimana mungkin, Dad?" "Entahlah ... Daddy pusing setiap kali memikirkan hal itu, Ava. Daddy tidak habis pikir, bagaimana bisa dia menghilang bagai ditelan bumi seperti itu." "Meski begitu, Mommy yakin suatu hari nanti kalian pasti akan kembali bersatu. Kau hanya perlu menjaga anak kalian dengan baik, Sweetheart. Mommy dan Daddy akan membantumu merawatnya. Iya, kan, Honey?" Jeanice mencoba menenangkan hati putrinya. Eryk pun mengangguk. "Setelah kau pulih, kita kembali ke Berlin, kami tidak bisa lagi membiarkan kau jauh dari kami. Aku sudah mengirim bodyguard dan suster untukmu, tapi kau keluar sendirian dari apartemen, dan hampir saja tadi kau melahirkan di supermarket. Daddy sungguh tidak bisa bernapas dengan tenang jika kau jauh dari kami, Ava. Tolong kembalilah, Sweetheart. Kami melakukan ini karena kami begitu menyayangimu, bukan karena ingin mengekangmu," ujar Eryk dengan penuh kecemasan, "beruntung tadi ada Jake, bagaimana kalau tadi dia tidak ada di sana?" "Maaf, Dad ... tadi aku hanya tidak tega membangunkan Ellia dan Thomas. Jadi aku berjalan-jalan sendiri di sekitar apartemen," jawab Ava. "Benar yang dikatakan Daddy, Sweetheart, kau harus ikut kami kembali ke Berlin." Jeanice menimpali. "Aku belum siap, Mom, Dad. Aku ... aku ingin di sini saja," tolak Ava dengan menundukkan pandangannya. Jeanice dan Eryk saling menatap dan menghela napasnya dengan berat. Mereka memutuskan untuk membiarkan Ava pulih lebih dulu, barulah mereka akan mencoba membujuknya lagi. Suara ketukan pintu pun terdengar dan ternyata Jake yang datang bersama Theo. Kedua lelaki itu memang cukup akrab, karena mereka kuliah di universitas yang sama, Jake adalah senior Theo. Pria itu sedang melanjutkan pascasarjana-nya. "Selamat sore, Tuan, Nyonya," ucap Jake dengan penuh rasa hormat sambil mengulas senyumnya. Wajahnya seketika berubah saat Eryk tiba-tiba memeluknya. "Terima kasih banyak sudah menolong putriku, Jake," ucap Eryk. "Ya, Tuan. Tadi aku hanya kebetulan bertemu Ava," jawab Jake setelah Eryk mengurai pelukannya. "Tetap saja, kami sangat berhutang padamu, Jake," timpal Jeanice, Jake hanya tersenyum, lalu menatap Ava yang masih terlihat lemah. Jake memberikan s**u stroberi favorit Ava, "Ini untukmu. Kau masih menyukainya, 'kan?" Jake sangat hafal apa saja hal-hal yang disukai dan tidak disukai Ava. Karena mereka sempat bersahabat, namun sejak Jake mengungkapkan perasaannya pada Ava, hubungan mereka pun merenggang, bahkan hilang kontak karena Ava yang selalu berusaha menjauhinya. Ava sungguh tidak ingin memanfaatkan kebaikan Jake padanya. Jadi, dia memilih untuk menghindarinya. "Thank's," ucap Ava yang menerima s**u kotak itu. Jake pun membalasnya dengan senyuman yang disertai anggukan kecil. Setelah mendengar cerita dari Theo tentang Ava dan bayinya, Jake memutuskan untuk melindungi Ava. Dia berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia akan selalu ada di sisi Ava sampai Ava kembali bertemu dengan ayah dari bayi itu. Setelah mendapatkan perawatan intensif selama beberapa hari di rumah sakit, Ava akhirnya pulih secara fisik dan diperbolehkan pulang bersama bayinya yang baru lahir. Meskipun tantangan yang dihadapinya masih besar, Ava masih berharap jika suatu hari nanti dia ada Tristan yang akan mendampinginya membesarkan buah cinta mereka yang Ava beri nama Ethan Alexander Edwards. Ava juga sangat berterima kasih pada Jake yang telah membantunya di saat-saat genting, dan itu adalah hal yang tidak akan pernah bisa dilupakannya. *** Empat tahun berlalu, Jake selalu berada di sisi Ava, bahkan dia membeli unit apartemen yang pintunya berseberangan dengan apartemen tempat Ava dan Ethan tinggal, agar dia bisa membantunya jika Ava tengah merasa kesulitan untuk menjaga Ethan. Meskipun ada seorang pengawal dan seorang suster yang membantunya menjaga Ethan, namun Jake masih tidak bisa tenang jika meninggalkan Ava dan Ethan. Karena setelah Theo menyelesaikan pendidikannya, Theo memutuskan untuk kembali ke Berlin, membantu sang ayah untuk mengelola perusahaannya. Hubungannya bersama Ethan nampak sangat akrab bagaikan ayah dan anak kandung. Namun, tetap saja Ava hanya menganggapnya sebagai seorang sahabat. "Ethan!" teriak Ava dari dalam mobilnya saat melihat putra semata wayangnya itu belum juga menyadari kehadirannya. Karena bocah tampan itu hanya menundukkan kepalanya. Mendengar panggilan sang mama, Ethan mendongakkan wajahnya dan menoleh ke arah sumber suara. Anak itu menghela napas panjang dan bergegas. naik ke dalam mobil. Hari ini tidak ada Ellia, pengasuh Ethan yang sudah membantu Ava merawat Ethan sejak masih di dalam perutnya, karena Ellia sedang izin pulang ke rumah ibunya yang sedang sakit. Sedangkan pengawalnya sedang Ava minta untuk mengantar dokumen penting ke perusahaannya. Jadilah dia sendiri yang menjemput putranya itu. Seperti biasa, Ava mencium kening putranya saat sudah masuk ke dalam mobilnya. "Kenapa anak Mommy cemberut seperti ini? Apa kau sedang ada masalah, Son?" tanyanya cemas. "Apa karena kau tidak mendapat nilai seratus?" "Tidak, Mama. Seperti biasa, aku selalu mendapat nilai seratus," jawab Ethan dengan cepat, namun raut wajahnya masih menyiratkan kesedihan. "Lalu kenapa kau bersedih?" "Mama ... Mama pernah mengatakan, suatu saat Papa akan kembali pada kita dan aku bisa bertemu dengannya, lalu kapan aku bisa bertemu dengan Papaku?" tanyanya dengan raut wajah sendu dan penuh harap, kedua matanya nampak berkaca-kaca.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN