Bab 2. Berhenti Berharap

1936 Kata
Mendengar teriakan histeris Jeanice dari lantai dua mansionnya, Eryk dan anggota keluarga lainnya segera bergegas ke kamar Ava. Mereka terkejut melihat Ava tergeletak dalam bathtub dengan pergelangan tangan yang mengeluarkan darah segar. "Segera panggil ambulans!" teriak Eryk kepada salah satu maid yang turut berada di kamar Ava, sambil menarik tubuh Ava dari dalam bathtub. "Kenapa kau melakukan ini, Ava? Mommy mohon bertahanlah." Jeanice menangis dengan keras, mencoba menekan luka pergelangan tangan putrinya untuk menghentikan darah yang terus mengalir. Sementara itu, Flo--adik kandung Eryk, berusaha menenangkan Jeanice sambil mengambil handuk untuk memberikan tekanan pada luka tersebut. Beruntung Katherine--Ibu dari Eryk dan Flo sedang berada di rumah Alden--saudara mereka, sehingga tidak ikut merasakan kepanikan seperti yang mereka rasakan. Dalam kepanikannya, Eryk memutuskan untuk segera membawa Ava ke rumah sakit terdekat, karena ambulans yang mereka tunggu tak kunjung tiba. Di dalam mobil, suasana hening terasa tegang. Eryk menyetir dengan cepat, sementara Jeanice memeluk tubuh Ava yang lemah di kursi belakang. Sambil menangis, dia berdoa dengan keras agar putrinya terselamatkan. Tiba di rumah sakit, mereka segera membawa Ava ke unit gawat darurat. Tim medis langsung mengambil alih dan memulai tindakan medis yang diperlukan. "Dia sedang hamil. Tolong periksa juga bagaimana kondisi janinnya," tutur Jeanice pada seorang suster. Suster itu hanya mengangguk sebelum akhirnya menutup rapat pintu ruangan tersebut. Jeanice dan Eryk menunggu di luar ruangan dengan cemas dan penuh kekhawatiran. Eryk terus merangkul sang istri, berusaha mencoba menenangkan hatinya, meskipun hatinya sendiri pun merasa sangat kacau sekarang. Setelah beberapa jam yang terasa seperti berabad-abad, seorang dokter akhirnya keluar dari ruang perawatan. Wajahnya serius, membuat hati Jeanice dan Eryk berdegup lebih kencang. "Bagaimana keadaan putriku, Dok?" tanya Jeanice dengan suara gemetar. "Dia dalam kondisi stabil sekarang, meskipun belum sadar. Kami berhasil menghentikan pendarahan dan melakukan penjahitan pada luka di pergelangan tangannya. Tapi kami masih perlu memantau kondisinya selama beberapa hari ke depan," jawab dokter dengan suara yang tenang. "Terlebih dengan kondisi mentalnya. Setelah Nona Schwarz bangun, tolong jangan bertanya hal-hal yang akan mengganggu psikisnya, berikan saja perhatian lebih padanya." "Baik, Dok," jawab pasangan suami istri itu serempak. "Terima kasih," imbuh Jeanice. Eryk dan Jeanice merasa sedikit lega mendengar kabar itu. Mereka bersyukur bahwa Ava dan calon cucunya masih hidup dan dapat bertahan. Namun, perasaan cemas masih menghantui pikiran mereka, terutama ketika mereka berpikir tentang apa yang mungkin mendorong Ava untuk melakukan tindakan seperti itu. Setelah kepergian dokter tersebut, mereka pun masuk ke dalam ruangan untuk menemui putri mereka. Menunggunya hingga terbangun. Tiga jam berselang, Ava mulai terbangun dari tidurnya. Jeanice pun langsung membelai wajah sang putri. "Sweetheart, akhirnya kau bangun," ucapnya setelah menghela napas lega dengan kedua netranya yang mengembun. Tidak ada kata yang terucap dari bibir Ava. Wanita yang sedang mengandung itu hanya menatap kosong langit-langit ruang rawat dengan tatapan nanar. Jeanice dan Eryk saling menatap karena Ava masih enggan bersuara. "Ava ... kau makan dulu, ya. Sejak tadi siang belum ada makanan apa pun yang masuk ke dalam perutmu." Jeanice mencoba memecah keheningan dengan membujuk Ava untuk sekedar mengisi perutnya. Ava hanya menggeleng lemah tanpa menoleh, masih dengan tatapannya yang kosong yang tertuju pada langit-langit ruangan VVIP tempatnya dirawat. "Kau harus makan demi calon cucu Mommy dan Daddy, Ava," bujuk Jeanice lagi. "Kau tidak boleh egois, Ava, calon anakmu butuh nutrisi untuk perkembangannya di dalam perutmu." Eryk menimpali. Mendengar perkataan Eryk yang kurang ramah, Jeanice melemparkan tatapan sinis pada suaminya itu. "Mom ... Dad ...." Eryk dan Jeanice seketika menoleh dan menatap Ava penuh penasaran. "Ya, Sweetheart?" jawab kedua pasangan paruh baya itu dengan menyebutkan panggilan kesayangan untuk putri semata wayang mereka. Karena kedua adik kembar Ava berjenis kelamin laki-laki. "Lebih baik keluarkan saja anak ini dari dalam perutku," ucap Ava lirih tanpa menatap kedua orang tuanya. "No!" sahut Eryk dan Jeanice serempak. "Kau tidak boleh berpikir seperti itu, Ava!" imbuh Eryk dengan tatapannya yang tajam. "Benar kata Daddy, kau tidak boleh berpikir seperti itu," timpal Jeanice sambil membelai lembut sebelah pipi Ava. Suara isak tangis pun terdengar dari Ava yang tengah memegangi dadanya yang terasa sesak, "Aku ... aku butuh dia untuk mempertahankan bayi ini, Mom. Aku tidak bisa melahirkan bayi ini tanpa dia di sisiku. Aku tidak ingin anakku terlahir tanpa sosok seorang ayah," ujarnya tersengal. Jeanice pun ikut menangis, meratapi nasib sang putri yang begitu malang. Eryk mendekati Ava dan mencium keningnya, "Ada Daddy dan Mommy yang akan menjagamu dan bayimu, Sweetheart. Daddy janji, Daddy akan berusaha menemukan baji ... maaf, maksud Daddy, lelaki itu. Daddy akan menemukannya." "Mom, Dad ... untuk sementara waktu, tolong izinkan aku tinggal di Oxford bersama Theo. Aku ingin menenangkan diri di sana. Aku tidak ingin menjadi beban untuk kalian. Aku ...." "Ava ... Mommy dan Daddy tidak pernah merasa kau adalah beban bagi kami. Kau dan adik kembarmu adalah anugerah terindah dalam hidup kami," potong Jeanice yang kembali menitikkan air matanya. "Tolong berhenti berpikir seperti itu." "Tapi, Mom, aku ...." "Sweetheart, maafkan Daddy karena beberapa waktu belakangan Daddy sudah bersikap dingin padamu. Daddy berjanji, mulai sekarang Daddy akan menjagamu dan calon cucu Daddy dengan penuh kasih sayang, sehingga dia tidak akan merasa kehilangan lagi sosok seorang ayah." Kali ini Eryk lah yang memotong perkataan Ava. Ava menatap sendu Eryk dan bangkit dari tidurnya, kemudian berhambur memeluknya. "Maafkan aku karena sudah sering mengecewakan Daddy," ucapnya lirih di dalam dekapan Eryk seraya menangis terisak. *** Beberapa hari mendapatkan perawatan intensif di rumah sakit, Ava akhirnya pulih secara fisik. Namun, tantangan terbesar bagi keluarga Schwarz belum berakhir. Mereka harus menghadapi perjalanan panjang menuju pemulihan mental dan emosional Ava, serta mencari jawaban atas pencarian Tristan--Ayah dari benih yang dikandung Ava. Setelah kondisinya semakin membaik, Ava akhirnya diperbolehkan pulang, dan rencananya untuk tinggal bersama salah satu adik kembarnya--Theo--di Oxford, masih terus berkecamuk dalam pikirannya. "Mom, Dad, bisakah besok atau lusa aku berangkat ke Oxford?" tanya Ava saat keadaannya sudah semakin pulih. Jeanice dan Eryk menyadari bahwa Ava membutuhkan waktu untuk menyembuhkan luka-lukanya, baik secara fisik maupun emosional. "Ava, jika itu akan membuat perasaanmu lebih baik, Mommy dan Daddy akan mengizinkanmu tinggal di Oxford bersama Theo," ucap Jeanice dengan suara lembut saat mereka berada di dalam mobil menuju rumah, setelah selesai melakukan kontrol kandungan Ava di rumah sakit milik keluarga mereka. Ava menatap kedua orang tuanya dengan ekspresi campuran antara terima kasih dan kesedihan. "Terima kasih, Mom, Dad. Aku ... aku hanya butuh waktu untuk menenangkan pikiranku," jawabnya dengan suara yang lirih. "Kami mengizinkan karena tadi dokter mengatakan kepadamu sudah jauh lebih baik. Tapi, Mommy akan meminta seorang perawat untuk mendampingimu di sana. Mommy tidak bisa membiarkanmu jauh dari Mommy tanpa ada yang mengawasi. Mommy hanya tidak ingin kau melakukan hal nekat seperti kemarin," tutur Jeanice. Eryk menimpali, "Ya, benar apa yang dikatakan Mommy-mu. Daddy juga ingin ada seorang bodyguard yang mengawalmu ke mana pun kau pergi. Daddy tidak akan melakukan kesalahan yang kedua kalinya dengan membiarkanmu pergi jauh dari kami tanpa ada yang mengawalmu." Ava menghela napasnya dengan pasrah, "Baiklah," jawabnya. Dia tidak bisa menolak persyaratan dari kedua orang tuanya, karena sejujurnya, dirinya pun takut melakukan kesalahan lagi yang akan membuatnya kembali mengecewakan mereka. Saat mereka tiba di rumah, Ava segera mulai menyiapkan barang-barang dan segala keperluannya untuk pindah ke Oxford. Jeanice membantunya, mencoba memberikan dukungan sebanyak yang dia bisa. Sedangkan Eryk tengah menghubungi asisten pribadinya--Liam--untuk mencarikan seorang perawat dan pengawal untuk Ava. "Mommy akan merindukanmu, Ava. Tapi yang terpenting, kami ingin kau bahagia dan mendapatkan ketenangan di sana," ucap Eryk sambil memeluk putrinya dengan erat. "Aku juga akan sangat merindukan Mommy dan Daddy. Tapi, Mommy jangan khawatir, aku akan berusaha menghubungi kalian setiap hari," balas Ava sambil mencoba menahan air matanya. "Tanpa kau menghubungi Mommy pun, Mommy akan selalu menghubungimu. Bahkan jika kau tidak menjawab panggilan dari Mommy, Mommy akan menghubungi adikmu," balas Jeanice. "Jangan, Mom. Mommy tahu sendiri Theo sangat tidak suka jika kita sering menghubunginya," timpal Ava, Jeanice pun terkekeh. Karena memang salah satu anak laki-lakinya itu memiliki karakter dingin seperti suaminya--Eryk. Hanya saja, Theo masih bisa menjaga tutur katanya. Lidahnya tidak setajam sang suami ketika muda dulu. Setelah semuanya siap, keesokan harinya, mereka berpelukan erat sebelum Ava akhirnya meninggalkan Berlin menuju Oxford dengan jet pribadinya. Ava akan tinggal di apartemen Theo di sana. Di Oxford, Ava berusaha menenangkan dirinya dan mencoba untuk mengalihkan perhatiannya dengan menekuni hobi barunya. Theo memberinya dukungan pada kakak kandung perempuan satu-satunya itu. Theo selalu meluangkan waktu untuk sekedar mengajak sang kakak makan di luar maupun jalan-jalan, berusaha untuk membantu proses pemulihan mentalnya. Di tengah-tengah kesibukannya dalam proses pemulihan jiwanya, bayang-bayang Tristan masih menghantuinya. Setiap malam, Ava merenungkan tentang keberadaan Tristan dan nasib benih yang dikandungnya. Dalam hati, ia berharap agar keberadaan Tristan dapat ditemukan dan mengambil tanggung jawabnya sebagai seorang ayah untuk calon buah cinta mereka. Namun, di sisi lain, Ava takut menerima kenyataan tentang apa yang ayahnya pikirkan pada Tristan, bahwa Tristan hanya berniat mempermainkannya. Ava mulai merasa ragu pada Tristan, tapi cintanya begitu kuat untuk lelaki itu. Hingga perasaan bimbang menyelimuti jiwanya. Sementara itu, di Berlin, Eryk terus melakukan segala upaya untuk mencari keberadaan Tristan. Dia meminta bantuan dari berbagai sumber, termasuk kontak-kontak bisnis Eryk di negara asal Tristan--Paris, Perancis. Namun, upaya mereka belum membuahkan hasil yang memuaskan. Setiap kali Ava menghubungi, Jeanice dan Eryk berusaha untuk memberinya dukungan sebanyak yang mereka bisa. Mereka berharap bahwa dengan kesabaran dan waktu yang semakin berlalu, Ava akan dapat menerima takdirnya. Delapan bulan berlalu, Ava berusaha menjalani hidupnya dan menjaga kandungannya dengan sebaik mungkin. Meskipun kesedihan dan kekhawatiran masih menghantuinya setiap hari, dia berjanji untuk tetap kuat demi calon anaknya yang sudah memasuki bulan ke sembilan. Berbeda dengan Ava yang mulai berhenti berharap tentang kembalinya Tristan ke pelukannya, di Berlin, Jeanice dan Eryk justru tidak pernah kehilangan harapan bahwa suatu hari nanti, mereka akan menemukan Tristan dan membawanya untuk bersatu dengan Ava dan calon cucu mereka. "Mom, kapan Mommy datang ke sini? Kata dokter perkiraannya dalam minggu ini anakku sudah bisa dilahirkan, karena posisinya sudah di bawah, dan volume air ketubannya sudah sedikit berkurang. Jadi, jika dalam minggu ini dia tidak lahir juga, aku harus melahirkan dengan cara operasi," ujar Ava pada Jeanice di tengah-tengah panggilan video yang tengah mereka lakukan, sambil berjalan-jalan di sekitar apartemennya. "Oh ya? Ya sudah nanti Mommy akan bertanya lebih dulu pada Daddy-mu. Kau tahu sendiri, kan, Daddy tidak bisa jauh-jauh dari Mommy," jawab Jeanice. "Kau yakin akan melahirkan di sana, Sweetheart? Apa tidak sebaiknya kau melahirkan di Berlin saja?" Jeanice kembali membujuk Ava yang bersikeras akan melahirkan di Oxford. "Di sini saja, Mom. Aku belum siap bertemu dengan keluarga besar," jawab Ava menundukkan pandangannya. Karena memang setelah kepergian Ava ke Oxford, seluruh anggota keluarga Schwarz baru mengetahui tentang kehamilan Ava, dan Ava menolak untuk bertemu mereka karena malu telah mencoreng nama baik keluarga mereka. Meskipun tidak ada satu pun dari mereka yang menghakiminya. Ava tetap merasa kehilangan muka di depan mereka. Usai mengakhiri perbincangannya dengan sang mommy melalui panggilan video, Ava memutuskan untuk mampir ke supermarket, membeli bahan-bahan masakan untuk stok di apartemennya bersama Theo. Gadis manja itu sudah pintar memasak sekarang, karena hobi baru yang ditekuninya sejak dirinya mengalami depresi adalah memasak. Padahal sebelumnya, jangankan memasak makanan, menyalakan kompor pun dia tidak memiliki keberanian untuk melakukannya. Di saat semua bahan masakan yang hendak dibelinya sudah masuk ke dalam troli, Ava mendorongnya menuju kasir. Namun, belum sampai di sana, perutnya tiba-tiba merasakan sakit yang luar biasa. Bahkan ia merasa ada sesuatu yang mengalir di kedua belah pahanya. "Sepertinya aku akan melahirkan," batinnya. "To ... tolong," ucapnya lirih sambil mencoba menahan rasa sakitnya. Ava membungkukkan tubuhnya sambil memegangi perutnya yang semakin mengencang hingga ia terkulai lemah di atas lantai supermarket tersebut. "Ava?" Seorang pria yang tak asing baginya pun sudah berlutut di hadapannya dan menatapnya dengan tatapan kebingungan dan dipenuhi rasa penasaran.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN