Bab 4. Kembali Ke Mansion

1663 Kata
Alih-alih menjawab pertanyaan putranya, Ava mengalihkan pandangan sambil mendongakkan wajahnya, berusaha menahan air matanya yang sudah membendung di pelupuk matanya. Namun, cairan bening itu meluncur dengan cepat tanpa bisa dia tahan. "Maafkan aku, Mama," ucap Ethan yang menyadari jika sang mama menangis setelah mendengar pertanyaannya, membuatnya seketika diselimuti rasa bersalah. Anak laki-laki tampan yang sangat mirip dengan Tristan itu pun menundukkan pandangannya. Ava menoleh sambil berusaha mengulas senyumnya setelah menghapus air matanya, lalu membelai puncak kepala putranya itu. "Tolong bersabarlah sebentar lagi, Son," ucapnya. Tidak ada sahutan dari Ethan, anak itu hanya masih menundukkan pandangannya sambil memainkan jemarinya. Ava mencoba mengatur napasnya agar rasa sesak di dadanya sedikit berkurang, dan segera melajukan mobilnya menuju kantornya. Sejak Ethan berusia satu tahun, Ava memutuskan untuk membantu sang ayah mengelola salah satu anak perusahaan yang ada di Oxford. Dia memilih untuk menyibukkan dirinya agar tidak terus memikirkan Tristan. Setibanya di perusahaan, Ava membawanya ke ruangan, dan meminta Ethan menunggunya di sofa. Sedangkan dia bergegas ke toilet untuk menumpahkan tangisnya. Dadanya selalu terasa sesak setiap kali Ethan menanyakan keberadaan ayahnya. Jake yang akan menghadiri pertemuan penting dengan perusahaan Ava pun mendatangi Ava terlebih dahulu di ruangannya sebelum pergi ke ruang pertemuan. "Ethan?" panggilnya saat melihat sosok mungil tampan itu duduk di sofa sambil menggosok kedua matanya. "Kau kenapa, Boy? Apa ada seseorang yang menyakitimu di sekolah?" tanyanya setelah duduk di samping Ethan. Ethan menggelengkan kepalanya dengan pandangan yang masih menunduk, enggan untuk menatap Jake. "Mamamu di mana, Boy?" tanyanya lagi seraya menyapu pandangannya ke sekitar, mencari keberadaan Ava yang tak nampak di ruangan itu. Ethan hanya menunjuk pintu toilet dengan mendongakkan dagunya. "Uncle," panggil Ethan yang akhirnya mengeluarkan suaranya. "Ya, Boy?" sahut Jake sambil mengusap kepalanya. "Apa benar aku memiliki Papa?" tanya Ethan dengan kedua matanya yang berkaca-kaca, sorot matanya terlihat penuh harap. Suara Jake tercekat di tenggorokan, dia bingung harus menjawab apa, karena dirinya pun tidak pernah tahu seperti apa sosok pria yang telah membuat hati Ava hancur enam tahun ini. "Uncle ... kenapa diam saja? Apa Mama selama ini sudah membohongi aku? Apa sebenarnya aku ini tidak memiliki seorang ayah?" cecar Ethan. "Tidak, Boy. Dia tidak berbohong. Setiap anak yang terlahir pasti memiliki seorang ayah dan ibu," jawab Jake tersenyum. "Lalu kenapa Mama tidak pernah mempertemukan aku dengannya? Apa mereka sudah bercerai seperti yang dikatakan teman-temanku? Atau ... apa dia sudah meninggal?" Ethan terus mencecarnya, membuat Jake semakin bingung untuk menjawabnya. Ketika pikiran Jake tengah disibukkan dengan memikirkan jawaban untuk Ethan, terdengar suara benda terjatuh dari dalam toilet, membuatnya seketika bergegas menghampirinya. "Ava! Are you okay?" panggilnya sambil mengetuk-ngetuk pintu toilet itu. "Aku baik-baik saja, Jake!" sahut Ava dengan suaranya yang terdengar seperti habis menangis. "Baiklah," kata Jake sambil menatap Ethan yang kembali menitikkan air matanya. "Hei, Boy. Jagoan tidak boleh menangis seperti ini," ucap Jake sambil menarik tubuh mungil itu ke dalam pelukannya. "Uncle, kenapa bukan Uncle saja yang menjadi Papaku?" tanya Ethan lagi yang semakin membuat Jake kebingungan. "Kenapa harus Uncle? Apa kau sungguh tidak keberatan jika Uncle menjadi Papamu?" Jake balik bertanya. "Tentu saja tidak. Uncle selalu ada di setiap hari ulang tahunku, dan di saat aku sedang sakit, Uncle selalu membantu Mama untuk merawatku. Aku berharap, Papaku itu sepertimu, Uncle." Jake hanya bisa tersenyum getir mendengar jawaban Ethan. Karena dia pun berharap demikian. Namun, hati Ava selalu terikat dengan Tristan, sehingga sulit untuknya menggapai hati Ava. Ava yang baru saja keluar dari toilet pun berusaha mengulas senyum terbaiknya. "Jake, apa kau keberatan jika meetingnya kita tunda sepuluh menit lagi? Aku sedang menunggu Thomas untuk menjaga Ethan, dia sedang di perjalanan, tidak lama lagi tiba di sini," tutur Ava sambil menatap jam di pergelangan tangannya. "Okay," jawab Jake tersenyum sambil menatap lekat wajah Ava, dan membuat Ava sedikit salah tingkah. *** Sore harinya, setelah tiba di apartemennya, Ava segera menghubungi sang mommy, karena ada 2 panggilan tak terjawab darinya. "Halo, Mom?" "Ava, apa kau bisa pulang ke Berlin? Grandma sangat merindukanmu, Sweetheart. Kesehatannya menurun karena menolak untuk makan sejak kemarin malam. Dia mengatakan tidak akan makan jika kau masih tidak mengunjunginya," ujar Jeanice dari seberang teleponnya. Mendengar itu, Ava yang tengah duduk di sofa pun mengusap kasar wajahnya sambil menghela napas kasar. "Akan kupikirkan nanti, Mom. Aku baru saja pulang, aku sedang lelah sekali," jawabnya yang terdengar acuh bagi Jeanice. "Ava, kali ini Grandma benar-benar sakit, dia tidak berbohong, bahkan sekarang dia sedang di infus di kamarnya. Tolong pulanglah bersama Ethan, Sweetheart," bujuk Jeanice. "Ada Daddy tidak, Mom?" "Tidak ada. Daddy-mu sedang perjalanan bisnis ke Jepang bersama Theo," jawab Jeanice. Dia sangat tahu putrinya itu selalu berusaha menghindari Eryk satu tahun belakangan ini, karena Eryk selalu membujuknya untuk membuka hatinya pada Jake. Ava menghela napas lega, "Baiklah, aku akan berangkat besok pagi, Mom." "Ya sudah, kau beristirahatlah. Oh ya, di mana cucu Mommy?" "Dia ada di kamarnya, Mom. Tadi dia ikut ke kantor, karena Suster Ellia sedang pulang ke rumahnya untuk menjenguk ibunya yang sedang sakit." "Oh ya sudah. Mommy tunggu kedatangan kalian, ya. Sampai jumpa besok, Sweetheart." "Iya, Mom. Bye." Mereka pun mengakhiri panggilannya. Ava segera beranjak ke kamarnya. Di tengah keheningan, wajah Tristan kembali terlintas di benaknya. Rasa rindu itu semakin menyakitkan hatinya. Rasanya seperti merindukan sosok yang telah tiada. "Di mana kau sebenarnya, Tristan?" gumamnya yang lagi-lagi menumpahkan air matanya. Keesokan harinya, jam 5 pagi, Ava bergegas pergi ke bandara untuk penerbangan menuju negara asalnya, tanpa mengabari Jake. Kemarin Ava mendengar percakapan putranya bersama Jake, yang membuat Ava merasa bersalah pada Jake. Karena hingga detik ini, Ava masih belum bisa memberikan hatinya untuk pria yang selama enam tahun belakangan ini selalu ada untuknya itu. Ava memutuskan, mulai sekarang dia akan menjaga jaraknya dengan Jake agar putranya tidak berharap lebih pada Jake. "Mama, kenapa kita tiba-tiba pulang ke Berlin?" tanya Ethan saat baru saja tiba di Bandara Internasional Brandenburg Berlin. "Grandma sangat merindukanmu, Son," jawab Ava yang terus melangkahkan kakinya menuju mobil yang telah menjemputnya sambil menggenggam tangan mungil putranya itu. Mendengar jawaban mamanya, Ethan hanya mengangguk paham. Namun, sorot matanya seketika berbinar ketika mendengar hal itu, karena Ethan selalu merasa kesepian saat tinggal di Oxford. Setelah tiba di mansion keluarga Schwarz, Jeanice sudah menyambutnya di depan pintu utama mansion bersama putranya--Leo--salah satu adik kembar Ava. "Uncle!" teriak Ethan yang sangat bersemangat saat turun dari mobil. Anak kecil berusia 5 tahun itu berlari dengan langkah mungilnya untuk menghampiri Leo. Sedangkan Ava masih melangkah dengan ragu. Karena ini adalah kali pertamanya kembali ke mansion sejak dirinya memutuskan untuk tinggal di Oxford. Dia menyapu pandangannya, menatap mansion tersebut dengan kedua netranya yang mengembun. Setiap kali dia pergi ke Berlin untuk menemui Jeanice, Eryk, dan adik kembarnya, dia memilih untuk tinggal di salah satu apartemen milik Eryk. "Oh, My Nephew!" sahut Leo yang menyambutnya dengan kedua tangannya yang membentang. Ethan pun langsung berhambur memeluknya. Leo dan Jeanice memang selalu Ethan rindukan. Karena mereka berdua selalu memanjakannya. Terlebih Leo, dia selalu membelikan keponakannya itu mainan-mainan edisi terbaru dan terbatas. Leo langsung mengangkat tubuh mungil yang sedikit gempal itu dan mencium pipinya dengan gemas. "Uncle sangat merindukanmu, Boy! Bagaimana kabarmu? Apa kau juga merindukan Uncle mu yang tampan ini?" tanyanya. "Tentu saja! Aku sangat merindukanmu, Uncle. Di mana Grandpa dan Uncle Theo?" tanya Ethan dengan suaranya yang renyah dan nyaring, yang membuat siapapun yang mendengarnya merasa gemas padanya. "Mereka sedang bekerja di negeri sakura, tempat asalnya Ultramen," jawab Leo yang membuat Jeanice dan Ava terkekeh. Jeanice pun mencium pipi cucu semata wayangnya itu dengan gemas, "Apa kau merindukan Grandma juga?" tanyanya mencebikkan bibirnya. "Tentu saja, Grandma!" jawab Ethan yang langsung membalas ciuman dari sang nenek. Akhirnya Leo pun membawa Ethan ke kamarnya. Sedangkan Jeanice menemani Ava ke kamar ibu mertuanya--Katherine. Ava membuka pintu kamar Katherine dengan perlahan, yang ternyata neneknya itu baru saja duduk dan bersandar pada sandaran ranjang. Namun, jarum infus masih terpasang pada punggung tangannya. "Ava?" gumamnya saat melihat sosok cucu pertamanya yang sangat dia rindukan. Meskipun cucunya bukan hanya Ava. Namun, tidak dapat dipungkiri jika Ava adalah cucu yang sangat disayanginya, karena Ava seperti cinta pertama baginya. Ava hadir di saat dirinya sudah begitu mendambakan seorang cucu dari putra sulungnya--Eryk. Ava tersenyum manis sambil menghampirinya dengan kedua netranya yang mengembun, kemudian memeluknya dengan erat. "Maafkan aku, Grandma," ucapnya dengan suaranya yang bergetar. Rasa bersalah menyelimuti hatinya karena sudah menghindari neneknya itu selama enam tahun belakangan. "Grandma sangat merindukanmu, Ava. Kenapa kau selalu menghindari Grandma?" tanya Katherine seraya menangkup wajahnya setelah mengurai pelukan Ava. Ava mulai menangis terisak, "Maaf, Grandma. Aku ... aku sudah mencoreng nama baik keluarga kita. Aku ...." "Sssstt, kau tidak boleh berbicara seperti itu, Sweetheart. Kau adalah salah satu harta berharga milik keluarga kita. Pria itu saja yang b*rengsek karena sudah meninggalkan wanita secantik dirimu begitu saja." Katherine mencoba menenangkan Ava agar tangisnya mereda. "Grandma, kau sudah tahu tentang apa yang terjadi padaku?" tanya Ava yang terkejut mendengar kalimat terakhir dari sang nenek. "Ya! Grandma tidak sengaja mendengar pembicaraan orang tuamu. Maka dari itu Grandma memutuskan untuk mogok makan agar kau bersedia menemui Grandma," jawab Katherine seraya mengusap kedua belah pipi Ava yang basah karena air mata dengan ibu jarinya. "Maaf, aku ...." "Ssst! Stop meminta maaf. Kau harus tahu, apa pun kesalahan yang kau perbuat, kau tetap cucu kesayangan Grandma. Grandma tidak akan menganggap kau buruk hanya karena nasib sialmu, Sweetheart." Ava pun mengangguk sambil mencoba mengulas senyumnya, "Terima kasih, Grandma," ucapnya yang kembali berhambur memeluk Katherine. Mereka pun menghabiskan waktu berdua, karena Jeanice memutuskan untuk menemui sang cucu di kamar putranya untuk melepas rindu. "Oh ya, hari Sabtu malam minggu ini, kau masih di Berlin, kan, Sweetheart?" tanya Katherine setelah menghabiskan makanan yang disuapi oleh Ava. "Sepertinya besok aku harus kembali ke Oxford, Grandma. Karena sedang ada beberapa masalah di perusahaan yang harus aku tangani langsung," ujar Ava. "Memangnya ada apa, Grandma?" "Kami ada acara makan malam keluarga, karena Anna akan memperkenalkan seorang pria pada kita ... akhirnya cucu Grandma yang satu itu memiliki kekasih juga," ujar Katherine dengan raut wajahnya yang berbinar. "Benarkah?" tanya Ava yang tak kalah senang mendengar kabar baik tentang adik sepupunya itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN