Bab 5. Apakah Itu Dia?

1465 Kata
"Ya! Dia adalah pria yang sudah membuat Anna pergi menjadi sukarelawan di Afrika Selatan," jawab Katherine. Ava tersenyum manis, "Syukurlah, Grandma. Akhirnya Anna bersedia membuka hatinya lagi untuk laki-laki. Aku turut senang mendengarnya," tutur Anna. *** Keesokan harinya, Ava yang sudah siap untuk kembali ke Oxford menemui Ethan yang tengah mengurung diri di dalam toilet, menolak untuk keluar. "Ethan, apa yang terjadi, Son?" tanya Ava dengan suara lembut sambil mengetuk pintu toilet. Tidak ada jawaban dari dalam. Ethan tetap diam, bahkan ketika Ava mencoba membujuknya untuk keluar. Ketika Jeanice dan Katherine mendengar keributan dari kamar Ava, mereka segera mendekat. "Apa yang terjadi dengan Ethan?" tanya Jeanice khawatir. "Aku tidak tahu, Mom. Dia tidak mau keluar," jawab Ava dengan suara tertekan. Ava akhirnya memanggil salah satu pengawal, memintanya untuk membuka pintu toilet itu dengan hati-hati. Karena Ethan masih enggan untuk membukakan pintunya, meskipun Katherine dan Jeanice membantu Ava untuk membujuknya. Setelah pintu toilet itu terbuka lebar, mereka mendapati Ethan duduk di lantai dengan pandangan murung. "Son, kenapa kau mengurung diri seperti ini?" tanya Ava dengan penuh perhatian. "Ethan, apa yang terjadi?" tanya Jeanice sambil mengelus punggung cucunya itu. Ethan masih terdiam, tapi ekspresinya jelas menunjukkan bahwa dia tidak ingin kembali ke Oxford. Katherine mencoba memeluk Ethan dengan lembut. "Ethan, apakah kau tidak ingin pulang bersama Mama karena masih ingin di sini?" Ethan mengangguk pelan, air mata mulai mengalir lagi dari matanya. "Ava, bagaimana jika kau biarkan Ethan tinggal di sini bersama kita sampai akhir pekan? Kita akan menjaganya dengan baik," saran Katherine dengan tatapan penuh harap. Ava ragu-ragu sejenak, tapi melihat keadaan Ethan yang sedang rapuh dan kedua netranya menyorotkan harapan yang begitu tinggi padanya, akhirnya dia setuju. "Baiklah, tapi Ethan harus berjanji bahwa kau harus ikut pulang bersama Mama Minggu sore. Bagaimana? Deal?" "Okay, Mama! Deal!" seru Ethan yang seketika menjadi sangat ceria. Katherine dan Jeanice bersedia menjaga Ethan dengan penuh kasih sayang, sehingga Ava bisa kembali ke Oxford dengan pikiran yang tenang. *** Ava yang tengah merasa kesepian pun akhirnya merasakan suasana apartemennya berubah menjadi sedikit lebih hangat setelah Jake datang dan membawakan makanan favoritnya. Meskipun hatinya masih terasa kosong tanpa kehadiran Ethan, namun kehadiran Jake sedikit menghangatkan ruangan itu. "Terima kasih, Jake. Tidak seharusnya kau repot-repot datang ke sini," ucap Ava dengan raut wajahnya yang nampak sungkan pada Jake. "Tidak masalah, Ava. Aku tidak pernah merasa direpotkan. Kenapa kau bicara seperti itu?" jawab Jake sambil tersenyum ramah. Melihat Ava masih terlihat murung, Jake pun memberanikan diri untuk mengajaknya bermain ice skating di sebuah mal yang terletak tidak jauh dari apartemen mereka. "Bagaimana jika kita bermain ice skating sebentar? Siapa tahu bisa membuatmu sedikit lebih bersemangat," ajak Jake dengan penuh semangat. Ava merasa ragu sejenak, namun akhirnya dia mengangguk setuju. Karena dirinya sungguh merasa kesepian sejak dia meninggalkan Ethan di Berlin. Mereka pun segera menuju arena ice skating dan mulai menikmati waktu bersama di atas es. Meskipun awalnya canggung, Ava dan Jake akhirnya bisa menikmati bermain ice skating bersama. Ava menari di atas es seolah sedang menari balet, berputar-putar dengan indahnya seperti gerakan balet, dia merasa lega bisa melupakan sejenak semua masalah yang ada dan hanya fokus pada momen tersebut. Setelah bermain ice skating, mereka pun kembali ke apartemen Ava sambil tertawa dan bercanda. Ava merasa beruntung memiliki seseorang seperti Jake yang selalu ada untuknya. "Terima kasih, Jake. Hari ini sungguh menyenangkan," ucap Ava sambil memandang Jake dengan tulus. "Senang bisa membuatmu bahagia, Ava. Aku akan selalu ada di saat kau sedang merasa kesepian," jawab Jake sambil tersenyum hangat. Mereka pun menghabiskan malam itu dengan menonton film favorit Ava sambil menikmati makanan yang dibawa Jake. Ava merasa sangat bersyukur memiliki teman seperti Jake yang selalu peduli dan mendukungnya dalam setiap situasi. Namun, dia merasa, dia harus berhenti merepotkan pria itu. Ava duduk di ujung sofa, menatap Jake dengan ekspresi serius. Hatinya berdebar-debar karena dia tahu dia harus mengatakan hal yang sulit ini. "Jake," panggilnya. "Hum?" Jake menyahut sambil menatap lekat wajahnya. "Aku minta maaf ... aku rasa cukup sampai di sini, Jake," ucapnya dengan suara yang agak gemetar dan kepala yang menunduk. Sebenarnya dia tak kuasa menolak kebaikan Jake. Namun, Ava memutuskan untuk berhenti memberi harapan pada Jake, yang dia sendiri belum tahu bisa menerima hati Jake atau tidak di kemudian hari. "Maksudmu aku pulang sekarang? Baiklah, aku akan pulang. Kau pasti sudah sangat lelah," jawab Jake yang salah mengira maksud perkataan Ava. Ava menggeleng, "Bukan itu Jake. Maksudku ... sudah cukup kau memberikan perhatian-perhatian lebih padaku dan Ethan selama ini. Aku hanya tidak ingin membuat Ethan berharap lebih padamu. Juga, sampai hari ini, aku masih belum tahu kapan aku bisa membuka hati ini untukmu. Karena hatiku masih berharap pada Tristan, di hatiku masih ada dia. Aku harap kau bisa memahaminya, Jake. Aku tidak ingin membuatmu terluka," ujar Ava masih menunduk dengan suaranya yang lembut. "Sesulit itukah kau melupakannya?" tanya Jake yang lantas meraih jemari lentik Ava dan mengusapnya lembut. Ava hanya mengangguk kecil dengan kepala yang masih menunduk sebagai jawabannya, membuat Jake hanya bisa menghela napas pasrah. Jake tersenyum pahit, "Aku mengerti, Ava. Aku akan menghormati keputusanmu. Aku tidak masalah jika kau tidak bisa memberikan hatimu untukku. Tapi tolong, jangan menghindariku seperti akhir-akhir ini. Selama enam tahun ini aku selalu bersamamu dan Ethan, aku merasa kesepian jika tidak bisa bertemu kalian," tuturnya. "Maaf," balas Ava tanpa mendongakkan wajahnya. "Tapi aku tidak ...." "Sssst ... aku tidak ingin mendengar alasan apa pun, Ava. Jika memang kau ingin terus menunggu pria itu, aku akan selalu ada untukmu dan Ethan sampai kalian benar-benar bertemu dengannya. Setelah itu, barulah aku akan menjauh dari kalian. Tapi untuk saat ini, aku tidak bisa membiarkan kalian hanya berdua di sini," jelas Jake memotong kalimat Ava. "Aku hanya ingin membantumu melewati masa sulit ini," imbuhnya. "Aku berharap kau bisa fokus untuk mencari wanita yang bisa mencintaimu dengan tulus, Jake. Kau pantas mendapatkan itu. Kau adalah pria yang sangat baik, kau layak mendapatkan wanita yang jauh lebih baik dariku," tambah Ava yang kali ini menatap Jake dengan penuh pengertian. Jake tersenyum, namun Ava bisa melihat sorot matanya yang dipenuhi kekecewaan, "Terima kasih, Ava. Aku akan mencoba melupakan perasaanku. Tapi aku tetap tidak bisa jauh darimu dan Ethan." Keduanya diam sejenak, merenungkan percakapan mereka. Meskipun hati Ava terasa berat karena harus mengucapkan hal itu, dia merasa lega karena akhirnya bisa jujur pada Jake. Setelah itu, Ava dan Jake memutuskan untuk tetap menjaga hubungan persahabatan mereka. Meskipun ada kekecewaan yang tersisa, namun mereka berdua yakin bahwa waktu akan menyembuhkan semuanya. *** Cuaca buruk membuat penerbangan Ava terlambat. Hujan deras dan angin kencang menghambat perjalanan jet pribadinya menuju Berlin. Namun, Ava tak ingin melewatkan acara makan malam keluarga yang begitu penting bagi adik sepupu kesayangannya--Anna. Setelah cuaca membaik dan private jet-nya sudah mendarat di Bandara Internasional Brandenburg Berlin, Ava segera meluncur ke mansion keluarga Schwarz. Namun, saat dia tiba, acara makan malam sudah selesai, karena Ava datang terlambat. Beruntung mereka belum bubar dan masih berbincang di taman belakang mansion tersebut. "Ava! Akhirnya kau datang, Sweetheart," sambut Jeanice dengan senyum hangat. "Maafkan aku, Mom. Cuaca buruk membuatku terlambat untuk ikut makan malam bersama kalian," ucap Ava sambil mencium pipi sang mama. "Tidak apa, yang terpenting kau selamat sampai di sini. Putramu itu sejak kemarin terus bertanya kapan kau akan datang ke sini," tutur Jeanice. "Ya, itu benar! Grandma sampai pusing menjawab pertanyaan putramu itu," timpal Katherine terkekeh. Tak lama setelah itu, saat Ava hendak menghampiri putra semata wayangnya, Anna mendekatinya, "Kak Ava! Aku sudah menunggumu. Aku sangat merindukanmu!" serunya. "Aku minta maaf, Anna. Cuaca benar-benar tidak mendukung," jawab Ava sambil tersenyum. "Aku juga sangat merindukanmu," imbuhnya sambil memeluknya. "Semakin tua kau semakin cantik, Kak!" puji Anna setelah mengurai pelukan mereka. "Kau juga. Jatuh cinta membuat kecantikanmu lebih terpancar, Anna!" balas Ava menangkup wajah Anna yang tak kalah cantik darinya. Mereka pun terkekeh setelah saling memuji. "Ayo, aku akan memperkenalkanmu pada seseorang," kata Anna sambil menarik tangan Ava. Mereka berdua berjalan ke arah pria yang berdiri di tengah ruangan. Ava merasa jantungnya berdebar-debar saat melihat sosok pria itu dari belakang. Dia merasa seolah melihat bayangan dari masa lalunya. Pria itu berbalik dan menatap Anna, "Kak, perkenalkan, dia kekasihku ... Alexander," ucap Anna dengan full senyum sambil memeluk lengan pria itu. Ava terperangah. Matanya tak berkedip saat dia menatap pria itu. Alexander, pria yang dikenalkan oleh Anna, terlihat begitu familiar baginya. Namun, Ava masih merasa ragu, karena penampilannya yang sedikit berbeda. Pria itu sengaja menumbuhkan sedikit bulu di rahangnya. Namun, wajahnya, sorot matanya sama persis dengan pria yang sangat dicintainya. Apakah ini benar-benar hanya sebuah kebetulan, ataukah ini pertanda dari takdir yang mempertemukan mereka kembali? "Tristan?" jerit Ava dalam batinnya. "Dia sungguh terlihat seperti Tristan. Apa dia sungguh Tristan?" Sesaat, Ava tak bisa berkata-kata. Dia hanya berdiri di samping Anna, terpaku menatap pria di hadapannya. Hati Ava semakin berdebar kencang saat matanya bertemu dengan mata lelaki itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN