Syahla semalaman tidak bisa tidur memikirkan apa yang diaktakan oleh majikannya. Karena keresahan di hatinya itu, akhirnya Syahla memutuskan untuk mengatakan langsung kepada Margaretha kalau dirinya tidak mau diadopsi oleh beliau.
“Ibune …” kata Syahla.
“Ada apa, Ani?” tanya Margaretha.
“Kata Mas Marco ndak boleh panggil Ani. Panggilnya Syahla aja ibune biar keren.” Kata Syahla sambil terkekeh.
Mendengar ha tersebut, majikannya itu langsung terkekeh.
“Oke, oke. Syahla. Nama yang bagus.” Kata beliau.
“Makasih, ibune.” Kata Syahla yang masih melanjutkan basa basinya.
“Duduk sini.” Kata beliau.
Syahla pun menurut dan duduk di samping Syahla, sebenarnya Syahla merasa tidak enak dengan teman-temannya yang juga bekerja sebagai asisten rumah tangga di keluarga Silalahi. Sebab, sering kali mereka menunjukkan kecemburuannya kepada Syahla yang notabenenya adalah ART baru. Namun, Syahla tidak mau ambil pusing soal itu.
“Seru ya, ibune?” tanya Syahla.
Margaretha mengangguk.
Syahla pun terdiam, dia bingung mengenai cara mengawali obrolan dengan majikannya tersebut. Margaretha yang mengendus bau ketidakberesan langsung menoleh ke arah Syahla.
“Ada apa, Syahla?” tanya Margaretha.
“Anu Ibune, …” kata Syahla.
Margaretha pun menunggu dengan sabar mengenai apa yang hendak dikatakan oleh Syahla, “Soal jadi anak ibune. Mohon maaf, ibune bercanda kan ya?” tanya Syahla.
Kini perhatian Margaretha sepenuhnyer tertuju pada Syahla. Saking ingin mendengarkan apa yang ingin dikatakan oleh Syahla, beliau bahkan langsung mematikan televisi.
“Kenapa? Saya benar-benar sungguh-sungguh, Syahla. Saya bahkan sudah daftarkan kamu ke sekolah Marco.” Kata Margaretha.
“Daftar sekolah, Ibune?”
“Iya, daftar sekolah. Kamu mau kan sekolah lagi?”
“Mau sih, Ibune. Tapi kulo bingung ibune.”
“Sebut Syahla aja jangan kulo.”
“Baik, Ibune.”
“Jadi gimana? Kamu menolak untuk sekolah?”
Syahla menggeleng. “Syahla ingin sekolah, Ibune. Tapi Syahla merasa ndak pantas jadi anaknya ibune.”
“Loh, memang kenapa?”
Syahla menggeleng pelan. Dia tidak tahu apakah dengan memberitahukan apa yang sebenarnya terjadi akan membuat dirinya terlihat sopan atau tidak.
“Katakan saja, saya tidak akan marah. Jawab saja yang jujur.” Kata Margaretha.
“Begini, Ibune. Syahla merasa takut Ibune. Syahla merasa takut diadopsi lagi.” Kata Syahla.
Kini Margaretha mulai mengeti mengapa Syahla tidak mau diangkat anak oleh beliau. Padahal, menurut Margaretha, di luaran sana banyak sekali yang mengharapkan menjadi anak angkat keluarga silalahi, sedangkan kini Syahla yangs sudah ditawari suka rela justru tidak mau.
Namun, dari penolakan ini juga Margaretha mulai mengenal Syahla dan bisa menilai bagaimana perangai Syahla. Syahla bukanlah anak yang ‘mata duitan’. Dia justru sama seali tidak terlihat menginginkan uang.
“Apa orang tua angkatmu memperlakukanmu dengan buruk?” tanya Margaretha.
Syahla buru-buru menggelengkan kepalanya. Meski kedua orang tua angkatnya suka semena-mena terhadap dirinya, Syahla bisa hidup sampai sebesar ini berkat asuhan kedua orang tua angkatnya tersebut.
“Ndak, Ibune, orang tua Syahla di kampung sangat baik kepada Syhala. Cuma Syahlanya saja yang tidak bisa memenuhi permintaan mereka.” Kata Syahla.
Margaretha tersenyum, Syahla bahkan tidak mau menjelekkan orang tua angkatnya yang terlihat sudah menorehkan luka dalam untuk dirinya.
“Baiklah kalau kamu tidak mau menjadi anak adopsi saya, namun bagaimana kalau begini, kamu saya anggap sebagai anak dan saya membebaskan kamu mau menganggap saya beserta keluarga saya keluarga atau tidak. Namun, saya akan tetap memasukkanmu ke daftar keluarga kalau kamu memang ingin sekolah.” Kata Margaretha.
Syahla membelalakkan matanya, dia benar-benar tidak menyangka kalau dirinya akan mendapatkan majikan sebaik Margaretha. Diam-diam dia berdoa kalau orang tuanya juga sebaik Margaretha.
“Tapi apa ndak merepotkan Ibune?” tanya Syahla.
“Tentu saja tidak.” Kata Margaretha. “Bagaimana? Kalau kamu setuju, hari senin kamu akan mulai masuk sekolah.” Sambungnya.
“Mau, Ibune. Mau …” kata Syahla dengan senang hati.
“Tapi ada syaratnya.” Kata Margaretha.
“Apa syarat-e, Ibune?” tanya Syahla
“Panggil saya Mama.” kata Margaretha.
***
Hari senin pun tiba. Pagi-pagi sekali Syahla sudah mandi dan sudah menggunakan pakaian seragamnya. Margaretha meminta agar Syahla berhenti bekerja dan fokus sekolah saja. Syahla awalnya merasa tidak mau kalau dia sampai tidak bekerja, sehingga Syahla pun meminta agar dia mengerjalan pekerjaan rumah sepulang sekolah.
“Syahla kamu sudah sarapan?” tanya Margaretha.
“Belum ibune. Ini mau ke dapur.” Kata Syahla.
“Di sini saja di samping saya.” Kata Margaretha.
Syahla menoleh ke arah Tuan Besar atau Suami Margaretha. Syahla tidak berani duduk karena takut Tuan Besarnya itu marah kepada dirinya. Dalam hal ini, rasanya Syahla lebih memilih untuk tidak duduk di sana.
“Iya, mulai saat ini kau makan saja bersama kami.” Kata Tuan Besar.
Syahla pun mengangguk dan duduk di sana. “Terima kasih, Bapake.” Kata Syahla.
“Loh, panggil papa dong, Syahla.” Kata Margaretha mengingatkan.
Syahla mengangguk, “Terima kasih, Papa.” Katanya.
Majikannya itu hanya menganggukkan kepala.
Tak lama kemudian, Marco pun turun dan bergabung dengan keluarganya. Namun, dia merasa terkejut dengan pakaian yang digunakan asisten rumah tangganya. Dia memang belum pernah mendengar kalau Syahla akan masuk sekolah. Mereka kini berpakaian putih-putih, seragam hari senin.
“Kok dia pakai seragam, Ma?” tanya Marco yang merasa ada tidak beres.
Firasat Marco mengatakan sesuatu yang tidak dia suka terjadi. Dia merasa ada yang tidak beres di atas meja makannya pagi ini. Kali ini Syahla merasa harus diam terlebih dahulu. Dia melirik Margaretha dan suaminya.
“Iya, mulai hari ini, Syahla akan sekolah di sekolah kamu. Dia juga sudah resmi jadi adik kamu. Papa juga sudah setuju untuk hal ini. Kamu harus jaga dia baik-baik di sekolah.” Kata Margaretha.
“Mama benar-benar seenaknya sendiri!” seru Marco dengan sangat murka. “Kemarin mama pilih dia sebagai asisten rumah tangga, sekarang dia dijadikan anak, besok apa lagi, Mah?” tanya Marco dengan kesal.
“Marco!” seru Ayah Marco.
Marco yang sudah terlanjur kesal pun langsung memilih untuk berbalik dan tidak jadi sarapan. Dia merasa tidak sudah duduk di samping Syahla dan dia tidak sudi untuk menganggap Syahla sebagai adiknya.
“Marco, berkata sopanlah kepada ibumu!” seru Ayah Marco yang juga murka.
Syahla meremas tangannya di bawah meja agar tidak terlihat. Dia benar-benar merasa tidak enak kepada Marco.
Syahla kali ini merasa tidak enak hati. Syahla seakan mengerti apa yang ada di pikiran Marco saat ini. Marco memang sangat membencinya sejak dia mulai masuk ke rumahnya, jadi menurutnya wajar jika Marco merasa marah besar.
“Kamu makan saja Syahla. Biar papa yang urus Marco.” Kata Ayah Marco.
“Terima kasih, Bap- Papa.” Kata Syahla.
“Iya, Nak. Kamu jangan kepikiran ya? Marco pasti hanya marah sesaat. Besok dia akan kembali lagi.” Kata Margaretha.
“Terima kasih, ibun … maksud-e Mama.” Kata Syahla.