Reino mengerjapkan matanya untuk kedua kalinya. Apa yang dilihatnya sekilas di seberang jalan sana cukup mengusik perasaannya.
“Itu barusan yang masuk ke mobil sama seorang Cewek muda, benar Bapak atau bukan, sih? Tapi kelihatannya kok bukan, ya? Masalahnya aku nggak bisa melihat dengan jelas wajahnya karena cuma sekilas. Mobilnya keburu jalan sebelum aku sempat memutuskan buat menyeberang ke sana. Hanya saja, perawakan orang itu memang mirip benar sama perawakan Bapak. Dan mobilnya juga jelas bukan mobil Bapak. Lagi pula, nggak mungkin banget deh, jam segini Bapak kok bisa ada di sekitar sini, yang jauh dari lokasi kantornya?” Reino setengah bergumam.
Meski bibirnya berkata seperti itu, toh hati Reino tidak seketika menjadi tenang. Ada rasa penasaran yang mengoda. Penasaran yang berbalut kecurigaan.
Karenanya, ia mencoba untuk membujuk hatinya lebih keras lagi. Reinopun menggelengkan kepalanya, berusaha mengusir selaksa prasangka buruk atas ayahnya.
“Ah, tapi bisa jadi, itu tadi memang Bapak, dan kebetulan pakai mobil kantor, jadinya disupiri. Mungkin saja kan, Bapak baru mengadakan rapat di luar kantor sama Cewek itu. Masuk akal saja dong? Orang si Cewek juga pakai blazer rapi dan bawa laptop begitu. Mana tahu mereka berdua itu rekan kerja dan baru menemui calon klien, kan? Bahasa tubuh mereka juga biasa. Terus buat apa juga aku mikir yang macam-macam?” gumam Reino lagi.
‘Kadang-kadang jadi kasihan juga sama Ibu. Seharian berada di rumah melulu, sementara Bapak banyak kegiatan baik di kantor ataupun di lingkungan. Banyak teman, banyak relasi. Suka sedih aku tuh, kalau mendengar warga pada kasak-kusuk ngomongin Ibu. Ibu juga aneh sih, bukannya melibatkan diri sama acara ibu-ibu di wilayah kami, aktif ikut pkk kek, atau apa gitu. Atau justru karena risih sama mereka yang suka ngerumpi, makanya Ibu membatasi diri? Ya Ibu memang paling nggak suka sih, bergunjing. Soal itu, aku setuju. Bukannya apa, beberapa tetangga juga mulutnya pada nyinyir, bagaimana Ibu bisa nyaman berakrab ria sama mereka?’ pikir Reino.
‘Tapi apa Ibu nggak bosan ya, di rumah melulu? Padahal kan Bapak nggak pernah melarang Ibu untuk beraktivitas di luar rumah? Kan sudah nggak punya anak kecil sekarang. Di rumah juga ada Mbak Asnah yang membantu Ibu untuk bersih-bersih. Aku jadi mikir, kalau di kantor Bapak ketemu sama orang-orang yang se-bening itu, berdandan serapi itu, terus pulang ke rumah ketemunya sama Ibu yang jarang merias diri...Aaah! jangan sampai! Jangan sampai Bapak mengkhianati Ibu! Kalau Bapak sempat macam-macam di luar rumah, aku nggak akan ragu untuk melawannya,’ pikir Reino lagi.
Reino enggan memenuhi pikirannya dengan kecurigaan terhadap ayahnya lebih jauh lagi. Dia tahu, itu takkan ada gunanya selain membuat kepalanya pusing saja. Maka ia mematikan rokoknya lalu membuang ke tong sampah. Reino menatap arlojinya.
Lalu, ditujukannya pandangan matanya ke arah gerbang kampus. Senyumnya terulas begitu saja. Seseorang yang telah dua puluh menit dinantinya, tampak berjalan dengan seorang kawannya, melewati gerbang yang terbuka itu.
“Azkia,” seru Reino, memanggil Azkia.
Yang dipanggil menoleh ke arah suara.
Mata Azkia segera membulat. Sejarak dua setengah meter dari tempatnya berdiri, ia melihat sang kekasih hati sedang melambaikan tangan kepadanya dan berjalan ke arahnya.
“Reino?” ucap Azkia tak percaya. Sepasang mata gadis itu berbinar menatap sang kekasih.
Reino tersenyum.
“Ciyee.. ciyee! Ehm! Dijemput sama pacar, ya? Itu pacarmu, Kia? Pantas, si Bobby yang setengah mati dekatin kamu, kamu cuekin melulu. Terus, aku perhatikan sudah lumayan lama kamu itu enggak berusaha lagi untuk ikut-ikutan mencari perhatiannya si Febri, yang aku tahu banget, sebenarnya kamu taksir diam-diam dari kamu duduk duduk di semester III itu. Ternyata oh ternyata..., sudah ada seseorang yang menempati kavling hatimu. Pantesan deh,” goda Kristina, teman yang berjalan bersama Azkia.
“Ish! Apa sih!” Azkia menempelkan telunjuknya ke bibirnya, mencegah Kristina untuk bicara lebih banyak lagi. Dia melihat Reino tengah menghampiri mereka berdua.
Kristina memperhatikan sosok Reino yang mendekat.
“Cakep juga Kia. Pinter banget kamu milihnya. Terus kelihatannya sudah kerja ya? Kenalin dong, Kia. Siapa tahu dia punya teman sekantor yang masih single and available juga, jadinya kan bisa diperkenalkan ke aku,” bisik Kristina.
"Iya entar aku kenalkan. Asal itu mulut nggak ngomong apa-apa lagi. Jangan ngember. Makanya, diam,” suruh Azkia lirih.
“Hai Kia, sudah mau pulang?” tanya Reino yang sekarang telah berdiri di depannya.
“Hai Rein. Iya. Kamu kok, bisa ada di daerah sini? Memangnya kamu nggak kerja hari ini?” Azkia balik bertanya usai membalas sapaan Reino.
Reino mesem kecil.
“Sengaja dong, mau jemput kamu,” ucap Reino, membuat hati Azkia berbunga-bunga.
“Masa? Nah kalau kebetulan aku pas nggak ada jadwal kuliah terus gimana?” tanya Azkia.
“Kan aku sudah bilang, sengaja. Kemarin waktu aku tanya, kamu sempat bilang, pulangnya sekitar jam segini. Makanya aku sengaja atur jadwalku. Jadi kunjungan ke customer yang dekat sini, aku persingkat waktunya,” jawab Reino.
“Ih, so sweet. Dikasih kejutan tuh, Kia. Pacarnya niat banget, mau jemput kamu tapi nggak bilang-bilang dulu,” olok Kristina sembari menyunggingkan senyum centil di ujung kalimatnya.
“Kenalin dong, Kia, pacarnya,” ucap Kristina kemudian.
Reino tersenyum menanggapi ucapan Kristina.
Azkia tersipu dan segera memperkenalkan mereka berdua.
“Rein, ini Kristina, temanku yang paling bawel di seantero kampus ini. Kristina, ini Reino, eng...” Azkia mengantung kalimatnya.
“Pacarnya,” potong Kristina sambil mengedipkan matanya dengan genit.
Reino tertawa kecil, sementara Azkia berdecak gemas digoda macam itu.
“Dasar kamu tuh!” ujar Azkia sembari mencubit lengan Kristina.
Kristina berkelit lincah, menghindari cubitan Azkia.
“Rein, kamu ada teman di kantor yang belum punya pacar? Kristina minta dikenalkan, tuh! Mumpung dia masih jomblo akut,” kata Azkia tanpa tedeng aling-aling, maksudnya untuk membalas celetukan Kristina.
Reino terkekeh sementara Kristina tampak tersenyum malu.
“Nggak frontal begitu kali, ngomongnya!” Kristina mencondongkan kepalanya kepada Azkia, membisiki gadis itu.
“Yang penting maksudnya sampai, kan?” ejek Azkia pelan, merasa puas karena telah berhasil membalas Kristina.
Kristina mengangkat bahu. Pikirnya, mau marah juga percuma, sebab dia duluan yang memulai mengolok Azkia.
“Ini kamu mau langsung pulang, kan Kia?” tanya Reino.
“Iya. Kami tuh sengaja kalau pesan ojek daring itu dari sini, karena mereka begitu cepat datangnya,” lagi-lagi Kristina yang menyambar, mendahului Azkia.
“Pas, kalau begitu. Kristina, kalau begitu boleh dipinjam ya, Azkia-nya? Mau aku antar pulang,” kata Reino.
“Oh, silakan. Silakan, Rein. Aku duluan ya, Azkia, Reino,” Kristina yang tahu diri segera menjauh dan membuka aplikasi ojek daring.
“Eh, tapi aku tunggu sampai mas ojekmu datang deh, biar aku lega. Tunggu sebentar ya Rein?” Azkia meminta pendapat Reino.
“Oke,” sahut Reino tanpa beban.
“Eh... nggak perlu. Sudah, kalian berdua pulang sana. Nih, mas ojeknya satu menit lagi datang,” Kristina sedikit berseru dari tempatnya. Diacungkannya telepon genggamnya.
“Serius?” tanya Azkia untuk memastikan.
“Iya. Nah..., tuh kan? Mas ojek aku datang,” sahut Kristina.
Azkia melihat sebuah sepeda motor melambat dan berhenti di dekat Kristina.
“Hati-hati ya Kristina. Sampai ketemu besok,” kata Azkia setengah berteriak.
Usai menyahuti sang pengemudi ojek yang mengkonfirmasi apakah benar dirinya adalah Kristina, gadis itu mengacungkan ibu jarinya ke arah Azkia dan berseru, “Sip!”
Reino dan Azkia menganggukinya. Mereka menunggu sampai Kristina naik ke jok sepeda motor si tukang ojek daring.
“Yuk, aku parkir di gedung sebelah,” kata Reino yang langsung menggamit lengan Azkia.
“Ke mana?” tanya Azkia.
“Ya pulang dong, Kia. Memangnya mau ke mana lagi?” Reino balik bertanya.
“Kamu nggak balik ke kantor Rein?” tanya Azkia seraya melangkahkan kakinya.
Reino menggeleng.
“Enggak. Ini kunjungan terakhir di jadwal kunjunganku ke pelanggan hari ini kok,” kata Reino.
“Oh, kalau begitu kebetulan deh Rein. Aku mau minta tolong diantar ke toko teman lamanya Kak Zetta kalau kamu nggak keberatan. Tadi pagi aku janji ke Kak Zetta, mau wakilin Kak Zetta untuk mengambil sampel model baju. Soalnya Kak Zetta nggak sempat ke sana. Banyak banget yang mau diurus sama Kak Zetta hari ini. Tokonya sendiri enggak jauh dari sini sih, sekitar lima atau enam kilo, mungkin,” ucap Azkia.
“Boleh dong. Mana mungkin aku keberatan? Ayo deh,” Reino mengajak Ajeng mempercepat langkahnya.
“Oder baru ya Kia?” tanya Reino setelahnya.
“Belum sih. Tapi semoga saja bisa goal. Jumlahnya nggak banyak karena ini toko kecil. Paling banyak juga dua puluh sampai dua puluh lima potong. Tapi potensi uang masuk sekecil apapun berarti banget, buat kami,” ucap Azkia lirih.
Reino meremas jemari Azkia dengan lembut.
“Aku ngerti, Kia. Sayang banget, di kantorku itu nggak pakai seragam. Coba kalau pakai seragam, kan lumayan ya aku bisa mereferensikan workshop kalian ke kantor. Pegawai di kantorku itu kan terbilang banyak,” sahut Reino setengah menyesal.
Azkia menatap sang kekasih.
“Kamu jangan ngomong begitu dong, kamu kan sudah banyak membantu kami. Bantu mengemas pesanan, membantu promosi produk eceran. Terima kasih ya Rein,” ucap Azkia tulus.
Reino langsung mengibaskan tangannya.
“Ah, kamu juga deh. Jangan ngomong begitu, dong Kia. Nah, kamu tunggu sebentar di sini ya, aku ambil motorku dulu. Agak di tengah sana, soalnya,” kata Reino.
“Oke,” sahut Azkia pendek.
Dengan sedih, Azkia menatapi punggung sang kekasih yang berjalan menjauh darinya.
‘Tuh, kak Ze. Lihat dong, Reino itu begitu tulusnya. Kurang apa, dia berusaha melunakkan hati Kak Ze? Kenapa sih kak Ze nggak bisa melihat itu? Dia bahkan sudah berpikir jauh, untuk membantu kita. Kak Ze, tolong buang prasangka buruk Kak Ze kepada Reino. Waspada boleh, tapi nggak harus sebegininya. Rein, semoga kamu sabar terus, ya, menghadapi sikap Kak Ze,’ batin Azkia dalam gundah.
*^ Lucy Liestiyo ^*