Sambil menanti Reino mengambil sepeda motornya, Azkia membiarkan dirinya terlarut ke dalam lamunan. Tentu saja gadis itu senang dengan kejutan manis yang Reino berikan kepadanya hari ini. Tetapi toh, hati kecilnya tetap saja menyayangkan keadaan dirinya saat ini.
“Andai Ayah masih bersama kami. Andai Kak Zetta nggak sekeras ini kepada Reino. Ah! Sampai kapan sih semuanya ini harus aku jalani? Sampai kapan keluargaku harus hidup susah seperti sekarang?” gumam Azkia lirih.
Azkia tak dapat menyangkal, dia rindu pada sang Ayah. Terutama, dia juga rindu kenyamanan hidupnya yang dulu. Dia rindu canda tawa mereka sekeluarga.
‘Aku yakin, kalau Ayah masih ada dan mengenal Reino, pasti Ayah akan suka kepada dia. Orang sikap Ibu juga baik kok, ke Reino. Duh, kapan sih, aku itu bisa berpacaran sama Reino dengan normal, sebagaimana teman-teman yang seusia denganku? Dan masih adakah kesempatan macam itu buat kami berdua?’ keluh Azkia di dalam hatinya.
Azkia menarik napas dalam-dalam.
Saking asyiknya dia dalam pemikirannya sendiri, deru sepeda motor Reino yang kian mendekat, luput dari perhatiannya.
“Hei! Baru juga aku tinggal sebentar, kamu sudah ngelamun begini. Ngelamunin aku atau Cowok lain, hayooo?” tahu-tahu sebuah suara mampir di telinga Azkia. Laju sepeda motor Reino melambat lantas berhenti sempuna, tepat di sisi Azkia.
Azkia tersenyum tipis.
“Enggak ngelamun, kok,”bantah Azkia cepat.
“Nih, pakai!” Reino mengangsurkan helm di tangannya kepada Azkia.
Azkia segera menerima helm tersebut dan mengucapkan terima kasih kepada sang kekasih.
“Rein, kamu sengaja banget, bawa dua helm begini Rein? Nggak diledekin sama teman kantornya tadi?” tanya Azkia.
Reino terkekeh.
“Masa bodoh kalau diledekin juga. Kan memang sudah dari tadi malam, niat mau jemput kamu di kampus. Kepengen sesekali ketemu di luar begini Kia, selain kepengen suasana yang berbeda.., eng.., kamu tahu kan, karena kalau di rumah..,” Reino batal melanjutkan apa yang hendak dikatakannya.
Azkia mengembuskan napasnya. Ia tahu benar ke mana arah pembicaraan Reino, tanpa Cowok itu harus mengatakan kepadanya.
“Sini,” kata Reino seusai Azkia memasang helm ke kepalanya.
Azkia menuruti permintaan Reino. Ia mendekat.
Azkia membiarkan saja sewaktu Reino memastikan helm yang dikenakannya telah terkunci sempurna.
“Maaf, ya Rein. Maksud kamu, Kak Zetta ya? Dia bikin kamu nggak nyaman?” Azkia melemparkan kalimat retorik.
Reino mengelus lengan sang kekasih dengan lembut.
“Nggak usah telalu dipikirin, Kia. Kak Zetta juga nggak ngomong apa-apa kok,” kata Reino.
“Kamu sabar, ya?” pinta Azkia sungguh-sungguh.
Reino tertawa pelan dan berkata, “Pasti dong. Harus itu. Demi kamu. Eh, santai saja lho Kia. Aku juga punya dua adik perempuan, kok. Dan tentunya ketika aku mulai melihat adanya tanda-tanda bahwa mereka mulai didekati sama Cowok, aku akan memproteksi mereka habis-habisan.”
“Masa sih?” timpal Azkia, lalu tertawa geli.
“Iya dong, namanya juga kakak, ya harus melindungi adiknya,” sahut Reino.
Di mulutnya memang Reino berkata begitu, tetapi hati pemuda itu jelas berbisik, “Tapi aku pastikan, aku nggak akan sebegitunya macam Kak Zetta. Hhhh! Sebenarnya aku ini ada salah apa coba, sama Kak Zetta? Kata Azkia, dia itu berhati-hati dan waspada. Ah, ini bukan berhati-hati. Ini lebay, berlebihan tingkat tinggi!”
“Kita jalan sekarang?” tanya Reino kemudian.
Azkia mengangguk dan segera naik ke boncengan sepeda motor Reino.
Ketika dia melingkarkan kedua tangannya ke pinggang Reino, Reino malah tidak segera melajukan sepeda motornya. Reino memeluk lengan Azkia yang melingkar di perutnya.
“Hei.., katanya mau jalan? Ayo!” tegur Azkia.
“Kia, nanti setelah ambil sampel di toko roti itu, kita mampir sebentar untuk makan, ya? Aku janji, nggak akan lama kok. Sekali-kali lah, Kia. Kita kan belum pernah makan berdua di luar rumah begini,” kata Reino sembari menepuk lengan Azkia dengan lembut.
Azkia langsung membayangkan, pasti akan asyik makan malam berdua dengan Reino. Ya, meskipun bukan candle light dinner yang super romantis sebagaimana yang layaknya dilakukan oleh sepasang insan yang tengah saling jatuh cinta. Yang penting kan, makan di luar, tanpa harus merasa risih karena seolah diawasi oleh Zeta sang kakak.
Ah! Sudah berapa lama dia tidak merasakan pengalaman makan malam berdua saja dengan seorang Cowok? Apalagi sekarang status Reino itu sudah jelas-jelas merupakan pacarnya, bukan lagi orang yang sedang pedekate untuk mendapatkan cintanya!
‘Waktu aku SMA saja, seingatku Ayah nggak terlalu membatasiku seperti kak Zetta sekarang. Kak Zetta ini terlalu. Rasanya aku sudah cukup mengalah deh. Tapi nggak tahu, dia merasa nggak sih? Iya aku paham, sekarang keadaan kami memang jauh berbeda. Tapi masa, aku nggak boleh sedikit saja, hidup sewajarnya para cewek seusiaku?’ keluh Azkia dalam hatinya.
“Boleh juga sih Rein, tapi jangan terlalu lama. Nggak enak. Takutnya Kak Zetta sampai duluan di rumah. Bingung nanti aku mau menjawab seperti apa kalau ditanya kenapa lama sekali mengambil sampelnya, dan akan lebih bingung jawabnya kalau sampai ketahuan kita pergi berduaan,” terang Azkia.
Reino mengangguki Azkia.
“Oke. Nah ini kita mau ke arah mana, Sayangku Azkia?” tanya Reino melodius.
“Arah Jalan Kembang Sepatu. Nama tokonya ‘Amirilis Bread & Cakery’, Rein,” ucap Azkia setengah berteriak agar Reino dapat mendengarnya.
“Astaga!” seru Reino menanggapinya.
“Kenapa?” tanya Azkia kencang. Ia pikir, Reino keberatan mengantarnya ke sana.
“Jalan Kembang Sepatu? Amarilis? Kunjungan terakhirku tadi juga di area itu. Tahu begitu, tadi aku saja yang mengambilkan, jadinya kan kita punya waktu lebih lama untuk makan,” kata Reino.
“Masa sih? Ya kamu sih nggak bilang mau jemput,” sahut Azkia lalu tertawa.
“Kalau bilang duluan namanya juga kejutan dong, Azkia Sayang,” sahut Reino pula.
Mereka tertawa berbarengan.
**
Jika ada dua orang yang tengah dimabuk cinta mengatakan bahwa mereka ‘hanya akan sebentar’ entahkah untuk sekadar makan bersama atau melakukan hal lainnya, maka jangan percaya. Itu pasti janji palsu.
Begitu juga halnya dengan Reino dan Azkia.
Seusai mengambil sampel dan menikmati makan bersama, mereka bukan segera mengarah pulang. Azkia sempat tergoda untuk menonton film di bioskop, tetapi keinginan itu buru-buru ditepisnya betapapun dirinya sudah cukup rindu dengan ‘kehidupan normal semacam itu’. Dia langsung menghitung, jam putar film akan makan durasi sekurangnya satu setengah hingga dua jam, belum antri tiketnya, belum perjalanan ke sana. Lagi pula, mereka kan tidak bisa mengobrol, selama di dalam bioskop, toh?
Akhirnya, dia dan Reino sengaja mengambil jalan memutar, agar memiliki waktu lebih lama berduaan. Ya, berduaan, tanpa harus merasa risih bergenggaman tangan dan bertatapan mesra. Sementara jika di rumah, ada sang ibu, ada Ajeng, ada para pegawai, dan ... sesekali ada Zetta pula! Mana enak, menunjukkan kemesraan dengan dihujani tatapan mata orang lain?
Ketika melewati sebuah taman dan singgah untuk duduk-duduk di sana, hampir saja Reino lupa waktu. Dia baru membeli gulali dan menikmatinya bersama Azkia saat telepon genggam Azkia berbunyi. Rupanya, bu Lestari agak bingung karena putri bungsunya belum kunjung pulang ke rumah dan tidak mengabarinya. Sementara menurut perhitungannya, semestinya sang anak sudah pulang kuliah dan harusnya sudah mengambil sampel pula.
“Kia, kamu di mana Nak?” tanya sang ibu begitu panggilan teleponnya bersambut.
Azkia tergeragap dan memberi kode kepada Reino untuk tutup mulut. Dia tidak ingin sang ibu tahu bahwa dirinya sedang bersama Reino saat ini.
“Eng... arah jalan pulang ini Bu, baru ambil sampel di toko kue,” ucap Azkia, sedikit berdusta.
Ada helaan napas lega yang didengar oleh Azkia, dari ujung telepon.
“Oh, syukurlah. Tadi Ibu khawatir, kok kamu nggak telepon ke Ibu. Ibu sampai mikir apa kamu ada kuliah tambahan atau kesulitan mencari alamat toko rotinya. Ya sudah kalau begitu. Jangan terlalu malam pulangnya, Kia. Hati-hati di jalan, ya,” kata bu Lestari.
Hati Azkia terusik juga dengan kata-kata sang Ibu.
“Iya Bu, daagh Ibu,” sahut Azkia mengakhiri pembicaraan.
“Rein, kita harus pulang sekarang. Ibu sudah telepon. Nggak enak aku membuat Ibu cemas,” kata Azkia sambil mengikat kembali plastik gulali yang sebelumnya tengah mereka nikmati sambil bergurau.
Reino sedikit kecewa namun kemudian dengan kesadaran yang menyapa, berkata, “Ayo!”
Tapi itu belum seberapa.
Hal yang lebih mendebarkan hati masih harus dihadapi oleh Azkia dan Reino. Saat mereka tiba, ternyata Zetta juga baru saja memarkirkan mobilnya di pekarangan.
Zetta yang keluar dari mobil mendengar suara sepeda motor berhenti tepat di depan pagar dan dahinya sontak mengernyit.
“Siapa itu? Ajeng? Memangnya dia habis dari mana?” tanya Zetta dalam gumaman yang disertai kernyitan dahi. Seingatnya, dia tidak menyuruh Ajeng untuk membeli aksesoris hari ini dan Ajeng juga tidak mengatakan ada janji dengan Gunawan.
Berpikir begitu, Zetta memutuskan untuk mencari tahu dengan berjalan ke arah pagar. Dia sendiri yang membukakan gembok pagar yang belum ia kunci.
Begitu pagar terkuak, dia melihat pemandangan yang nyaris membuatnya kemarahannya mencuat. Sang adik berada di boncengan motor Reino, memeluk pinggang Reino dengan mesra. Kedua orang itu sepertinya enggan berpisah, dan masih berlama-lama mengobrolkan entah apa.
Dua orang di depannya tak kalah kaget menyadari kehadiran dirinya.
Dengan gugup, Azkia buru-buru melepaskan tangannya dan turun dari boncengan.
“Selamat malam Kak Zetta,” sapa Reino sopan.
“Malam, Reino,” sahut Zetta datar.
“Eng.., maaf pulangnya agak kemalaman Kak. Tadi jalanan agak macet, sepulang dari mengambil sampel,” terang Reino tanpa diminta.
Zetta menyahuti dengan tersenyum tipis saja.
“Saya sekalian pamit saja kalau begitu, Kak Zetta,” kata Reino setelahnya.
Cowok itu menerima helm yang diulurkan oleh Azkia kepadanya. Lantas, Reino menganggukkan kepalanya kepada Zetta. Walau agak sebal, toh demi kelangsungan hubungannya dengan sang pacar, dia tetap harus berlaku sopan kepada Zetta.
Zetta hanya membalas anggukan Reino. Tidak satu katapun terucap dari celah bibir gadis itu. Pada detik lainnya, Zetta justru mengalihkan pandang kepada Azkia.
“Sekalian dikunci pagar sama pintunya, Kia. Kakak tinggal ke dalam duluan,” kata Zetta datar.
Tanpa menunggu respons dari Reino maupun sang adik, Zetta bergegas membalikkan badannya, berjalan cepat ke mobilnya dan mengambil tas laptopnya. Dengan cepat, dia mengunci mobil dan melenggang masuk ke dalam rumah. Zetta tidak menoleh ke belakang sama sekali.
Mengamatinya hal itu, Azkia terpaku di tempatnya. Tak sadar, gadis itu menggigit bagian dalam pipinya.
“Kamu pasti diomelin sama Kak Zetta. Maafkan aku ya, tadi kita kelamaan di tamannya,” Reino mengusap pipi Azkia dengan lembut.
“Sudahlah Rein. Aku juga salah, kok. Kamu mending langsung pulang sekarang. Aku nggak mau menjemput resiko Kak Zetta bakal lebih marah lagi karena kamu kelamaan berada di sini,” kata Azkia terus terang.
Reino mengangguk maklum.
“Kamu kunci dulu pagarnya dari dalam. Nanti aku cek dari luar. Kalau sudah oke, baru aku pulang,” ucap Reino.
“Oke,” kata Azkia dengan hati yang dilanda gundah.
“Nanti malam aku telepon kamu, seperti biasa,” kata Reino lagi.
Azkia enggan menjawab. Dia sibuk memikirkan apa yang hendak dikatakannya kepada Zetta andai kakaknya itu menegur dirinya nanti. Baru sekadar membayangkan dan mensimulasikan dalam otaknya, akan seperti apa jalannya ‘interogasi’ dari Zetta terhadapnya saja, Azkia bergegas memutuskan.
“Aku sebaiknya diam. Aku memang salah, kok. Aku nggak mau ribut sama Kak Zetta,” kata Azkia setengah bergumam sembari menekuri langkah-langkah kakinya melintasi halaman rumah.
Tetapi anehnya, apa yang ditakutkan oleh Azkia tidak terjadi. Malam itu sampai ke hari berikutnya, sang kakak tidak menyinggung apapun mengenai dirinya yang mencuri waktu, bertemu dengan Reino di luar rumah dan pulang ke rumah selarut itu. Satu hari, dua hari, tiga hari, keadaan masih saja tidak berubah. Seakan-akan Zetta demikian sibuknya dengan berbagai urusan, atau mungkin mengalami amnesia sebagian, sehingga luput menanyakan perihal Azkia yang pulang ke rumah berboncengan sepeda motor dengan Reino.
Dan itu membuat perasaan Azkia sungguh tidak nyaman. Gadis belia itu tidak punya pilihan selain menyimpan pertanyaan itu di dalam hatinya, sebab untuk mulai mengambil inisiatif dengan cara menyinggung hal itu terlebih dahulu, dia dilanda perasaan bimbang. Apalagi, ketika akhirnya dia bercerita kepada Reino mengenai reaksi Zetta dan Reino mengatakan memang sebaiknya ‘jangan membangkitkan macan tidur.’ Dan hati kecil Azkia membenarkannya.
* Lucy Liestiyo *