“Azkia, dengar, konteksnya itu sangat berbeda. Terserah kamu mau mengerti atau tidak apa yang Kakak sampaikan ini. Kakak, sebenarnya malas kalau harus menjelaskan soal ini. Kamu pikir, Kakak sendiri nggak dilanda keraguan besar malam itu, ketika harus memutuskan dalam waktu yang teramat singkat? Mungkin, nggak sampai sepuluh menit. Pilihannya sama-sama berat. Apa yang kamu sebut barusan, dibandingkan dengan adanya potensi order yang akan melayang. Bukan hanya masalah keamanan dan kenyamanan kita tinggal di sini, Kia. Kakak juga sebenarnya takut kalau Fritz menganggap remeh keadaan tempat produksi kita dan akhirnya batal memberikan order ke kita. Tetapi dengan sadar akhirnya Kakak memilih opsi yang kedua, setelah mengingat dan mempertimbangkan, dia punya hubungan baik dengan mendiang Ayah,” rinci Zetta serunut dan sehati-hati mungkin.
Azkia langsung terbungkam mendengar penjabarn panjang dari Zetta. Mau tak mau, gadis belia itu menyadari kebenaran dalam penjelasan kakaknya. Sejatinya, hatinya tersentuh luar biasa. Dia dapat merasakan betapa sang kakak telah melakukan banyak pengorbanan dan malah tidak memikirkan sama sekali urusan personalnya.
‘Ya, semua demi kami. Kasihan Kak Zetta-ku,’ ucap Azkia dalam hati. Sejumput rasa rasal menyapanya.
Namun tetap saja, masih ada satu ganjalan di hati Azkia.
Reino! Siapa lagi kalau bukan Cowok tersayang itu, kan?
“Oke Kak Ze, Azkia minta maaf, sudah membuat Kak Ze kesal dan sempat menuduh Kak Ze yang enggak-enggak, tadi itu,” ucap Azkia dengan wajah tertunduk.
Zetta mengembuskan napas perlahan.
“Nggak apa, Kia. Yang penting kamu paham sekarang,” sahut Zetta.
Azkia mendongakkan wajahnya.
“Tapi Kak Ze, intinya… Azkia mau kak Ze sedikit mengurangi prasangka buruk ke Reino, itu saja. Boleh, kan? Please, Kak Ze. Itu nggak berat, kan” pinta Azkia setelahnya.
Zetta mesem kecil saja.
Ya, apalagi yang dapat ia lakukan kecuali tersenyum, saat ini? Dia toh sadar, tak dapat menjanjikan kepada Azkia untuk memenuhi permintaan gadis itu kan? Dia tahu ketetapan hatinya, yakni tetap menaruh kewaspadaan, kepada siapa saja demi orang-orang tercinta yang harus dilindunginya. Orang-orang yang ia sadari sepenuhnya, dititipkan oleh mendiang sang ayah kepada dirinya.
Namun mesem kecilnya Zetta sepertinya sudah cukup untuk menghibur hati Azkia. Dia seperti menganggap itu sebagai jaminan.
“Anyway Kak Ze, baru tiga empat kali kak Fritz kemari saja, aku, Ibu dan Mbak Ajeng yakin kok, Kak Fritz itu menaruh hati sama kak Ze. Hmm..., Azkia ralat, sepertinya dari dulu, deh, sudah naksir berat. Hanya saja, baru ketemu jalannya sekarang,” kata Azkia kemudian. Ia tersenyum menggoda sang kakak. Pernyataan Azkia ini nyaris memancing tawa Zetta, yang menggelengkan kepala mendapati betapa labilnya Azkia.
Zetta masih ingat benar, belum genap lima belas menit lalu, Azkia menyuarakan ketidaksetujuannya perihal kedatangan Fritz, tahu-tahu sekarang sudah mengungkap fakta sebaliknya. Dan dari cara Azkia mengatakannya, tersirat dia ‘setuju’ kalau Fritz mendekati sang kakak.
Zettapun langsung dapat menarik kesimpulan, Azkia hanya ingin dirinya memberinya keleluasaan bagi Reino. Itu saja.
“Fritz itu kemari, mau memastikan orderannya dikerjakan sesuai kemauannya. Dari pengamatanku, dia adalah seseorang yang cenderung perfeksionis. Wajar kok, kan rumah produksinya itu belum lama berjalan. Kalau pinjam istilahnya Fritz, seragam itu menunjukkan image bagi perusahaannya,” ralat Zetta santai.
Azkia menggeleng-gelengkan kepala menanggapinya. Senyumnya kembali mengembang.
“Oke, kedatangan Kak Fritz yang pertama kali dan kedua kalinya itu bisa dibilang berkaitan sama order. Tapi yang ketiga kalinya? Kan, waktu itu ordernya sudah dikirim semua? Sementara order yang barupun belum turun. Iya kan?” Azkia melemparkan banyak kalimat retorik.
Zetta tak hendak menanggapi. Ini membuat Azkia semakin bebas mengungkapkan apa yang menjadi pemikirannya.
“Hmm… kentara banget kok, dua kali kak Fritz sengaja datang sore hari, saat di mana dia berpikir bahwa kita semua sudah agak senggang, jadi nggak terkesan mengganggu. Kak Fritz membawa banyak buah segar dan makanan buat kita semua, termasuk para operator jahit yang baru menyelesaikan pekerjaan mereka dan sedang bersiap untuk pulang waktu itu. Kak Ze mungkin nggak tahu kan, Kak Fritz ngobrol lumayan lama sama Azkia dan Ibu sebelum Kak Ze sampai ke rumah? Ibu malah menyebut, bisa jadi ketika Ayah masih ada pun, kak Fritz sebetulnya berusaha membuka celah supaya bisa mengenal Kak Ze lebih jauh. Hanya saja, waktu itu Kak Ze kan, begitu sibuk sama pekerjaan. Bisa jadi, kak Fritz juga begitu,” sambung Azkia dengan mantap.
Zetta tidak bereaksi.
Dibiarkannya saja adiknya itu ‘mengoceh’.
‘Barangkali dengan begitu, dia bisa melupakan kekesalannya kepadaku. Semoga saja,’ pikir Zetta ringan.
“Kak Ze, kalau diingat-ingat, waktu Kak Ze tinggal di apartemen dulu, dalam sebulan belum tentu Kakak menginap di rumah lebih dari empat malam. Kak Ze lebih menyempatkan datang ke outlet, kan, karena padatnya jadwal kerja sewaktu bekerja di perusahaan yang dulu? Kak Ze.. semua orang tuh, bisa melihat dan menilai caranya Kak Fritz menatap Kakak. Itu tuh, jelas-jelas tatapan mendamba, Kak. Entah Kak Ze ini pura-pura nggak tahu, atau sengaja mengabaikannya,” Azkia tersenyum usil di ujung kalimatnya.
Kali ini, Zetta terpancing untuk tersenyum geli. Ia juga sekaligus mengusir bayangan Fritz yang melintas tanpa permisi. Mengenang percakapan di outlet, pembahasan order di café yang berlanjut kunjungan Fritz ke rumah, alangkah ingin diiakannya perkataan Azkia. Namun, selintas perlakuan Destan terbayang begitu saja.
‘Destan? Ah, enggak, lah! Bahkan buat diingat namanya saja nggak perlu! Kebagusan! Ini bukan tentang itu. Waktunya belum tepat,’ bantah Zetta dalam diam, lalu tersadar, segudang prioritas yang menunggu untuk dieksekusi olehnya.
Banyak. Teramat banyak. Dari kewajiban memberesi hutang, mengejar pencairan klaim asuransi kebakaran workshop, meredam rasa takut Azkia dan lainnya, membuat rumah ini dan ‘penghuni tak kasat mata’ jadi ramah dan berhenti mengganggu mereka kalau sekiranya memang mau ‘sama-sama tinggal di rumah itu’.
'Anggap saja hidup berdampingan secara damai, di alam masing-masing. Tidak saling mengganggu, itu juga sudah llebih dari cukup. Aku toh nggak akan mungkin mengusir mereka. Apa hakku? Kepikiran juga enggak. Mereka itu sudah lebih dulu ada di sini, sementara aku hanyalah pendatang, dan rasanya juga nggak akan berlama-lama tinggal di sini,’ kata Zetta dalam hati.
Ya, hidup dan berkegiatan di alam masing-masing, itu yang dipikirkan dan diharapkan Zetta.
Dengan begitu, mereka dapat tinggal di dalam rumah ini dengan nyaman. Lalu Zetta juga terkenang akan rencana jangka panjangnya, di mana dia harus berani mengajukan kredit demi membangun kembali workshop PT ILZA, menebus kembali apartemennya, dan menyewakan apartemen tersebut supaya dapat menghasilkan uang. Jika semua wacana itu telah berjalan baik, barulah dia dapat memberi waktu dan perhatian untuk hal lainnya. Kehidupan pribadinya, dan asmara, tentunya!
“Sudah, jangan melebar ke mana-mana, Kia! Kakak yakin, kamu sudah dewasa. Ngerti kan, apa yang perlu kita share, dan apa yang enggak? Kakak mau teruskan pekerjaan Kakak. Kamu ada kuliah, kan, hari ini?” komentar Zetta.
“Iya Kak. Satu jam lagi, Azkia berangkat kuliah. Azkia mau siap-siap kalau begitu,” kata Azkia yang diangguki Zetta. “Kak Ze, tolong Kakak jangan menutup diri terus, ya. Azkia tahu, Kak Ze itu mengambil alih semua tanggung jawab mendiang Ayah. Tapi kak Ze sangat berhak kok, atas kebahagiaan pribadi kak Ze. Sambil bekerja, kan kak Ze bisa membuka hati. Seperti halnya Reino, Azkia percaya sepenuhnya, bahwa Kak Fritz itu pria yang baik. Baik banget, malah, Kak,” bisik Azkia dan segera berlalu, menyelamatkan diri sebelum mendengar sahutan apapun dari kakaknya. Dia memang sungguh tidak memerlukannya. Terutama saat ini. Yang penting bagi Azkia adalah, dia sudah mengungkapkan semua unek-uneknya, sekaligus harapannya, kepada sang kakak. Zetta menggeleng-gelengkan kepala kuat-kuat. Di telinganya, pernyataan Azkia barusan, sama saja pengakuan secara tidak langsung, alangkah semakin dekatnya hubungan Azkia dengan Reino.
‘Mereka berdua pasti sudah pacaran resmi itu, bukan sekadar pedekate belaka seperti yang aku perkirakan selama ini. Dan kelihatannya Azkia sudah semakin memiliki ketergantungan saja pada si Reino itu,’ pemikiran ini melintas di benak Zetta.
Berpikir seperti itu, Zetta langsung memperingati dirinya dan bertekad akan lebih ekstra dalam mengawasi Azkia.
*LL*