Zetta langsung teringat apa yang pernah dituturkan secara singkat dan terkesan sambil lalu oleh sang ibu kepadanya seusai mereka makan malam bersama di malam minggu itu.
Ya, tentang dua orang pegawai mereka yang kesurupan. Dan ia masih ingat benar, waktu itu sang ibu hanya berkata bahwa mungkin saja keduanya belum sarapan, sedang melamun atau sedang ada masalah pribadi sehinga hal macam itu dapat menimpa mereka. Jelas sekali tersirat bahwa sang ibu sekadar ingin memberitahu Zetta apa yang terjadi agar jangan sampai mendengar hal tersebut dari pihak luar rumah dengan resiko sudah ditambahi adanya bumbu-bumbu yang tidak perlu, tetapi sekaligus ingin mengesankan bahwa semuanya baik-baik saja, aman dan terkendali.
Dan saat itu pula, Zetta mencoba mengamati adanya perubahan ekspresi di wajah Ajeng dan Azkia. Yang didapatinya adalah tampilan wajah Ajeng yang relatif tenang, sementara Azkia seperti hendak berkomentar.
‘Ah! Aku ingat! Sepertinya Ajeng sama Azkia sempat berpandangan beberapa saat. Aku menangkap kesan bahwa Ajeng berusaha keras untuk mencegah Azkia mengatakan sesuatu,’ pikir Zetta akhirnya.
Tapi sekarang, mendengar nama Reino disebut, entah mengapa perasaan Zetta terusik. Ya, lagi-lagi Reino, si anak ketua rukun tetangga itu!
‘Semakin hari, kelihatannya Azkia sama Reino ini semakin dekat saja. Ah, semoga mereka hanya berteman biasa. Entah mengapa, aku kok, tetap nggak sreg sama keberadan Reino di sekitar kami, yang menurutku terlampau keseringan dan terlalu cepat masuk ke wilayah domestik keluarga kami. Firasatku mengatakan, kalau dia semakin dekat sama Azkia, akan menimbulkan lebih banyak hal negatif dan keruwetan, yang dibawanya ke rumah ini, ketimbang segi positifnya. Ya, sejujurnya, aku berharap, firasatku ini keliru, batin Zetta, berusaha menentramkan perasaannya sendiri.
“Kak Ze ingat, kan?” tanya Azkia penuh desakan.
Zetta mengangguk.
“Iya, Kia. Tapi kan, sesuai dengan sarannya pak Satpam, usai ditolong, mereka berdua juga langsung dinasehati dan diberitahu, supaya nggak bercanda kelewat batas. Apalagi sampai lepas kendali, melontarkan kata-kata jorok. Ibu bilang, itu kebiasaan lama mereka berdua sewaktu masih bekerja di workshop dan sayangnya masih terbawa sampai sekarang,” sahut Zetta.
Azkia manggut kecil.
“Ya mereka memang begitu sih Kak. Makanya, sebetulnya Ibu kurang sreg begitu tahu kak Ze mau mempekerjakan mereka lagi,” timpal Azkia.
Zetta mengedikkan bahunya. Dia tahu keberatan sang ibu. Teetapi toh, dia sendiri mempunyai pertimbangan tak kalah penting yang akhirnya dapat dimaklumi oleh sang ibu.
“Ya apa apa boleh buat? Yang lain belum bisa dihubungi lagi sama Ajeng. Ada pula yang sebetulnya sudah dihubungi, tetapi masih terkendala sama urusan keluarga masing-masing. Jadinya, mereka meminta keleluasaan waktu untuk menyelesaikan urusan mereka dulu, barusetelahnya bersiap berangkat kemari. Sementra kita kan nggak bisa menunggu. Orderan itu harus segera dikerjakan,” kata Zetta.
“Iya sih,” kata Azkia lirih.
“Lagian, Kia, rumah ini lumayan lama kosong, sebelum kita tempati. Mungkin ya, ada ‘penunggu’nya. Yang penting, mereka mau memperbaiki sikap, kan? Logikanya begini, Kia, kalau kita yang kelihatan begini saja risi mendengar gurauan jorok mereka berdua, ya apalagi yang nggak kelihatan. Bisa jadi, terusik dan sekadar memberikan peringatan, kan? Itu saja,” meski menguraikan secara panjang lebar serta terperinci, nyata sungguh, alangkah enggannya Zetta membahas lebih dalam lagi, perkara yang dianggapnya hanya menambah-nambah rasa pening di kepalanya saja.
Celakanya, Azkia masih ingin meneruskannya.
“Benar sih mereka lebih menjaga sikap dan lisan mereka, tapi lusanya, kesurupan lagi tuh. Mbak Ajeng pasti belum bilang ke Kak Zetta, kan? Terus, baik Woro maupun Masrinah, kabarnya sering diganggu mimpi buruk. Mereka baru menyampaikannya ke Mbak Ajeng dan Azkia. Mereka nggak berani untuk cerita ke Ibu, apalagi Kak Ze. Sungkan, pastinya,” ujar Azkia.
Zetta menghela napas dengan pikiran penat.
Dan adik perempuannya malah menganggap itu adalah sebuah kesempatan untuk menuntaskan apa yang hendak diungkapkannya. Semua. Dia ingin Zetta juga tahu, peduli dan mengambil tindakan.
‘Kan sekarang semua keputusan, Kak Zetta yang buat,’ kata Azkia dalam hati.
“Kak Ze, untungnya Mbak Ajeng lekas meminta agar mereka berdua itu nggak menceritakan mimpi seram mereka ke teman-teman lainnya. Soalnya menurut Mbak Ajeng, itu akan berpotensi mengganggu konsentrasi dalam bekerja. Kalau sudah begitu, bisa kacau deh jadwal dan hasil produksi yang kita jalankan. Azkia sih, mendengar sendiri dari mulut mereka yang berjanji nggak akan menebarkan ketakutan ke yang lain. Tapi entahlah, Azkia juga kurang yakin, bisa atau tidak mereka itu memenuhi janjinya. Terus, setelahnya Azkia justru mendengar selentingan, bahwa keduanya akan keluar dari pekerjaan ini. Minimal, tetap bekerja di sini, tapi enggak mau tinggal lagi di rumah ini. Itu semata, karena mereka masih membutuhkan uang. Jadi, ya, mau nggak mau harus mempertahankan pekerjaan ini,” lanjut Azkia.
Zetta memejamkan matanya sesaat, meresapi uraian Azkia, kata demi kata. Mau rasanya ia mengguncang tubuh adiknya sekeras mungkin supaya adiknya itu tersadar, bahwa keadaan mereka juga tidak jauh berbeda dengan Woro dan Masrinah.
‘Azkia, Azkia. Memangnya kita di sini karena apa? Kita ini terpaksa harus bertahan, juga lantaran terbentur masalah uang!’ jerit Zetta dalam hatinya.
“Kak..,” panggilan dari Azkia kemudian terdengar seperti rengekan seorang anak kecil yang mendesak meminta dibelikan kembang gula padahal giginya sedang sakit.
Memikirkannya keluh kesah Azkia, Zetta tersenyum kecut.
Apa boleh buat. Dia toh harus mengakui, sulit untuk meredam ketakutan Woro dan Masrinah. Dan meski hasil kerja dua orang itu bagus, Zetta langsung tergerak untuk mengambil ancang-ancang. Dia paham, dia harus segera mempersiapkan hatinya dengan kemungkinan akan kehilangan mereka berdua dalam waktu dekat ini.
Zetta mengembuskan napasnya. Entah dirinya bersyukur karena mendapatkan informasi tentang Woro dan Masrinah sehingga dapat selekasnya mendiskusikan dengan Ajeng, ataukah justru menyesali masalah baru yang datang menghampiri dan mengganggu rencana yang telah disusunnya.
Aku harus mengantisipasi, jangan sampai keduanya menularkan rasa takut berlebihan kepada yang lain. Sementara soal menyiapkan operator jahit, aku pikir aku masih bisa mengandalkan Ajeng, mengingat hubungan Ajeng sangat baik dengan para pegawai Ayah dulu. Cuma yang membuat aku penasaran, kok Ajeng belum menyampaikan hal ini ke aku, ya? Apa dia masih berniat mempertahankan mereka sambil menghubungi teman-teman yang lain? Atau sengaja ingin memperingan urusanku?’ tanya Zetta dalam diam.
“Kak.., terus, kita harus bagaimana? Kak Ze nggak kepikir apa, untuk melakukan sesuatu?” kejar Azkia.
Zetta yang semula tengah memikirkan perihal sikap Ajeng, menatap sang adik dalam-dalam.
Lantas Zetta berbicara secara pelan namun tegas, “Kia, dengar Kakak. Saat ini, terus terang fokus utama Kakak adalah membereskan akumulasi persoalan keuangan kita.”
“Kakak nggak mau melakukan sesuatu untuk mengusir gangguan-gangguan itu?” tanya Azkia.
“Kia, melakukan apa lagi maksud kamu? Kita sudah mengikuti saran dari pak Satpam kan, mengadakan selamatan sederhana walaupun mendadak? Ya memang, ada hubungannya dengan kesurupannya Woro sama Masrinah. Padahal, kita ini sedang sibuk mengurus banyak hal. Tapi, hitung-hitung, sekaligus perkenalan dengan warga sini. Namanya juga masuk ke suatu tempat, anggap permisi, begitu. Lantas, apa lagi yang kamu pikirkan?” tanya Zetta dengan nada rendah berbelut rasa lelah.
Sayangnya, Azkia kurang merasakan hal itu.
“Kenapa sih, sampai sekarang Azkia nggak boleh memakai uang tabungan Kia, untuk sedikit membantu? Memang, jumlahnya nggak seberapa. Jauh lah, dibandingkan dengan yang Kak Zetta punya. Tapi Kak Ze, Azkia kan berhak untuk berkontribusi. Kak Zetta nggak boleh, mengambil alih semua tanggung jawab ini sendirian. Pengorbanan Kak Zetta terlalu besar,” protes Azkia.
Zetta memejamkan mata mendengarnya. Hatinya tersentuh dan merasa miris dalam waktu bersamaan.
Dia benar-benar sedang tidak ingin membicarakan ini.
“Azkia,” ucap Zetta dengan lembut.
“Ya, Kak Ze,” sahut Azkia, berharap bakal mendengar sesuatu yang ditunggunya, diharapkannya. Persetujuan dari Zetta agar dia boleh mengambil uang tabungannya, ataukah berbagi tanggung jawab dalam bentuk lain. Apa saja, yang penting sesuatu hal yang dapat membuat dirinya merasa lebih berarti dan diperhitungkan. Bukan macam anak bawang seperti sekarang ini.
“Boleh, nggak, Kakak minta sesuatu dari Azkia sekarang ini?” tanya Zetta kemudian.
“Tentu saja boleh Kak Ze, kenapa enggak?” Azkia balik bertanya. Dia sudah antusias dan berpikir apa yang diharapkannya akan terpenuhi.
Tetapi apa yang didengarnya?
“Tolong sabar, ya. Kasih Kakak kelonggaran waktu, mengurai satu demi satu permasalahan keuangan kita. Boleh, kan?” ucap Zetta.
“Tapi Kak...,” Azkia sudah hendak membantah.
Zetta mengangkat telunjuknya, sebagai pertanda bahwa dira belum selesai berbicara.
Azkia terbungkam.
"Kia, kita nggak pernah tahu bakal seperti apa ke depannya. Yang pasti, kamu nggak boleh putus kuliah. Intinya, uang tabunganmu itu, adalah cadangan buat hari depanmu kelak, gunakan hanya kalau sangat perlu. Tetapi tolong, diskusikan dulu ke Kakak, sebelum memutuskan menggunakannya. Titik,” ucap Zetta, penuh penekanan pada kata ‘titik’, menandakan ini adalah keputusan final yang tak dapat diganggu gugat lagi.
Mendengarnya, Azkia menelan ludah yang terasa pahit. Dia sungguh-sungguh kecewa. Ingin benar dia mendebat sang kakak sebetulnya. Tetapi dia tahu, perkataan Zetta barusan bukan permintaan, melainkan perintah yang sama sekali tidak dapat dibantahnya.
Hati Azkia gundah memikirkan kekerasan hati kakaknya. Dia tak habis pikir, dalam keadaan begini, bisa-bisanya Zetta demikian ngotot ‘pasang badan’, dan melarangnya berperan serta meringankan sedikit saja, beban mereka?
“Iya sih… tapi bagaimana mengenai suara tangis itu? Azkia merinding Kak..,” keluh Azkia lirih. Wajah gadis itu memperlihatkan ketakutan yang besar.
Kalau menuruti kata hati, mau rasanya Zetta menceritakan kepada Azkia, bahwa dua malam berturut-turut ini, dirinya mengalami hal serupa. Lantaran merasa lapar, sementara pekerjaannya belum tuntas, Zetta menuju ke dapur, berniat memasak mie instan untuk sekadar mengganjal perut agar tidak mengganggu konsentrasi kerjanya.
Sesampainya di area dapur, kejadian aneh itu menyapa Zetta. Sungguh Zetta tidak pernah menyangka, mendadak telinganya mendengar suara minta tolong yang berulang-ulang. Suasana dapur yang memang hening karena hanya ada dirinya menjadi begitu mencekam. Maka bulu kuduk Zetta berdiri dibuatnya, seolah ada yang meniupi dari belakang. Padahal, Zetta tahu pasti bahwa semua pintu dan jendela tertutup rapat. Sudah begitu, tak ada orang lain di dapur, semua telah terlelap, hanya dirinya seorang yang masih terjaga. Jadi mana mungkin ada yang meniupi kuduknya? Atau yang berseru meminta tolong berulang kali?
Mendengar suara minta tolong itu juga dibarengi rintihan menahan sakit, badan Zetta gemetaran. Betapa ingin dia segera lari saking ketakutan. Anehnya, kakinya justru terasa berat, seiring keringat dingin yang membanjiri pakaian tidur yang dikenakannya.
Pilihan yang tersedia bagi Zetta saat itu hanyalah berdoa. Itu saja. Lantas, suara itu perlahan menjauh, entah karena Zetta berusaha menulikan indra pendengarannya, ataukah pengaruh dari untaian doanya. Dan dengan sisa-sia ketegaran hatinya, Zetta memutuskan untuk menyambar kemasan mie gelas yang diguyurnya dengan air dari termos.
Berbekal pengalaman mendebarkan malam sebelumya, tadi malam Zetta sudah mengantisipasi dengan membaca doa kencang-kencang ketika memasuki dapur. Ia juga sengaja hanya menyeduh kopi serta oatmeal instan, supaya tidak terlalu lama berada di area dapur.
Lebih dari itu, Zetta juga sudah berniat menyediakan makanan kecil di kamarnya, sebelum yang lain tertidur, seandainya harus bergadang lagi menuntaskan semua pekerjaannya.
Namun, mempertimbangkan kerapuhan adiknya, Zetta mengurungkan niatnya untuk bercerita.
* Lucy Liestiyo *