Gadis itu mengalihkan perhatiannya dari layar laptop, ditatapnya wajah Azkia.
Azkia menyempatkan melirik tampilan di layar laptop Zetta sesaat, sebelum mengutarkan apa yang ada di kepalanya.
“Azkia mau ngomong, Kak Ze,” kata Azkia, seolah sebuah kata pengantar.
“Ngomong saja Kia,” sahut Zetta datar.
Berkata begitu, Zetta lantas memberi isyarat dengan tangannya agar Azkia duduk di sofa yang berada pas di sebelah meja kerjanya. Dengan begitu, mereka berdua dapat berkomunikasi sembari saling menatap wajah lawan bicara mereka.
Azkia menuruti isyarat Zetta.
Ia kian mendekati posisi sang kakak.
“Kak…, Kak Ze,” panggil Azkia.
“Iya Kia, ada apa?” tanya Zetta, mendapati sang adik terlihat bimbang.
“Eng.. itu Kak. Azkia kepengen tahu, apakah Kak Zetta masih betah tinggal di sini?” tanya Azkia penuh keraguan.
Gadis itu meremas jari jemarinya usai melontarkan kalimat tanya tersebut. Dia mencoba untuk mengusir kegelisahan yang menggayuti perasaannya. Perasan Azkia berkecamuk. Antara lega karena berhasil mengucapkannya, serta harap-harap cemas menantikan reaksi sang kakak.
Benar saja. Dahi Zetta sontak mengernyit mendapat pertanyaan semacam itu dari Azkia. Mata Zetta langsung menyipit sebagai reaksi pertama, seakan-akan baru mendengar sebuah pertanyaan yang ajaib atau minimal tidak wajar saja.
“Kia, kok begitu, sih nanyanya?” tanya Zetta.
Meski pertanyaan baliknya mengandung terguran halus, tetap saja tersirat keheranan di paras manis Zetta.
Azkia mengeluh dalam diam, meneliti ekspresi wajah Zetta, yang dirasanya terlampau tenang. Jauh benar dari perkiraan apalagi harapannya. Azkia menyabar-nyabarkan hatinya.
Reaksi yang ditampilkan Zetta tentu saja membuat Azkia bingung, harus memulai membahas topik ini dari mana. Sementara jika dia tidak mengatakan sekarang dan hanya menunda-nunda dari waktu ke waktu, dia tidak yakin dirinya dapat tidur nyenyak.
Maka Azkia menelan ludahnya, lalu mengeluarkan suara deheman yang tertahan. Gerakan gadis itu meremas jarinya sendiri tak jua berhenti. Malah yang terlihat sekarang, kini duduknya seperti tak nyaman di sofa empuk itu. Sebentar dia menyandarkan punggung, sebentar kemudian menoleh ke arah luar kamar lalu menunduk sebelum melayangkan pandangan matanya ke segenap kamar Zetta.
Semuanya itu sama sekali tak luput dari pengamatan Zetta.
“Ada apa sih?” tanya Zetta, tetap dengan kesan yang sama, setenang semula. Bedanya, kalimat tanyanya kali ini diiringi dengan gerakan ujung jemarinya, menyentuh tombol keybord laptopnya, menyimpan file yang tampil di monitornya. Pertanda bahwa gadis itu hendak mendengarkan secara serius, topik pembicaraan yang akan dibahas oleh Azkia dengannya.
Melihat apa yang dilakukan Zetta, Azkia tak tahan lagi. Dia merasa, inilah saat paling tepat baginya untuk mengungkapkan perasaan tertekannya beberapa waktu terakhir ini.
“Begini lho Kak... terus terang saja, Azkia tuh, semakin sering mendengar suara orang menangis kalau malam. Tadinya Azkia pikir hanya Azkia yang mendengar. Tapi ternyata, Ibu juga. Pernah Azkia mendapati Ibu terjaga di malam hari, duduk di pembaringan dan seperti menajamkan pendengarannya, mencari asal suara, Dari situlah, akhirnya Azkia sama Ibu mulai membicarakan tentang hal itu,” urai Azkia.
Sejauh ini Zetta belum berkomentar.
Azkia mengambil kesempatan ini untuk melanjutkan penuturannya.
“Ibu sih memang sudah mengingatkan Azkia supaya jangan membicarakan hal ini dulu ke Kak Ze karena takut beban pikiran Kak Ze bertambah. Tapi rasanya Azkia nggak sanggup lagi untuk menyimpannya. Soalnya Kak, kadang-kadang tuh, suaranya tangisannya itu seperti orang yang lagi sedih banget, sampai Azkia terpancing, ikutan nangis juga. Tapi sejujurnya, perasaan Azkia mengatakan, lebih seringnya, itu seperti tangisan orang yang kesakitan lantaran sedang disiksa. Ah! Nggak tahu deh, disiksa bagaimana, yang jelas, seperti susah diterjemahkan apakah itu tangisan kesakitan bercampur ratapan ataukah tangisan kesedihan yang mendalam. Nggak ngerti,” cetus Azkia.
Lancar, bagaikan aliran dari bendungan yang jebol, setelah tak kuat lagi menahan lebih lama, volume air yang melampaui kapasitas yang dimilikinya.
Usai mengatakannya, Azkia merasa sedikit lega. Dia sudah kurang mempedulikan akan seperti apakah tanggapan sang kakak. Yang terpenting bagi Azkia saat ini, ‘rahasia’ yang disimpannya, telah dibagikannya kepada Zetta.
Sedangkan Zetta yang mendengar penuturan Azkia, menanggapinya dengan menghela napas panjang, kemudian mengembuskannya bersamaan gelengan kepalanya.
Sang designer muda dan berbakat itu sepertinya mahfum, bahwa situasi macam ini dapat tiba kapan saja, betapapun kerasnya dia mencoba menahan, serta mengabaikan semuanya dengan memusatkan fokusnya pada masalah keuangan semata. Bila bukan dia, toh ada orang lain di rumah ini yang akan menyinggung pembicaraan tentang hal itu. Dan terbukti sekarang, Azkia yang mencuatkan hal ini!
Rangkaian peristiwa duka yang mereka alami, kini mendadak mendesak-desak, ingin menjajah pikiran Zetta, di saat dia telah hampir berhasil menyembunyikan perasaannya, sejauh ini. Tetapi kini, kepedihan tiba-tiba mengungkungnya kembali, bersama selintas rasa takut yang besar. Takut akan sesuatu hal yang dia sendiripun sulit untuk menerjemahkannya, apa dan siapa. Seungguh jenis rasa takut yang berbeda dengan rasa tkut kala dirinya menghadapi berbagai teror penagihan hutng melalui pesan singkat, panggilan telepon maupun didatangi secara langsung oleh sang penagih hutang yang garang.
Bukan, sama sekali bukan itu!
Otak cerdas Zetta tahu, ada sesuatu yang mengancam dirinya dan keluarganya. Tetapi dia sungguh telah mempunyai sejumlah prioritas yang amat sulit untuk digeser barang sedikit saja.
Zetta memejamkan mata sesaat.
‘Akhirnya aku harus mendengarnya juga dari Azkia. Aku pikir dia akan bersikap sama denganku, menyimpannya dan sedikit bersabar,’ kata Zetta dalam hati.
Di puncak rasa sedih yang mendadak mengepungnya, alangkah Zetta ingin berteriak bahwa dia belum siap. Dalam suara yang tidak terucap, Zetta sekaligus memohon pengunduran waktu, selagi berusaha mengurai segala kesesakan hidup keluarganya.
“Kak Ze..,” panggil Azkia lagi kala melihat sang kakak hanya diam saja.
“Iya,” sahut Zetta singkat.
“Kok, bisa-bisanya Kak Ze, setenang ini?” tanya Azkia berbalut keluhan, seolah menyalahkan reaksi kakaknya. Saking tak tahan, Azkia bangkit dari duduknya. Ia mendekati kakaknya, lantas menggoyang-goyangkan lengan Zetta.
“Kamu maunya Kakak gimana?” tanya Zetta penuh keengganan, bahkan, menoleh pada adiknya saja tidak. Matanya malah menutup lurus ke monitor laptop di depannya. Jelas saja, reaksi Zetta yang demikian menerbitkan kecewa yang sangat, di benak Azkia.
“Ya ampun, Kak! Kak Zetta tahu apa yang Azkia maksud, kan?” protes Azkia, mulai putus asa. Lalu ia menunggu reaksi Zetta berikutnya.
Sedetik, dua detik, tiga detik. Satu menit berlalu. Nihil. Nol besar.
Zetta tetap diam membisu, tak melontarkan sepatah katapun kepada Azkia.
Sekarang Azkia malah melihat Zetta membuka sebuah file lain di laptopnya, dan memerhatikannya secara saksama. Azkia mulai gemas, siap melanjutkan keluhannya.
‘Ya ampun Kak Zetta! Kakak tuh egois atau bagaimana sih!’ dumal Azkia dalam hati.
“Kak Ze, ingat nggak, Woro sama Masrinah, kan, dua hari berturut-turut kesurupan, sekitar dua minggu lalu. Padahal, kita kan, berharap banyak pada mereka berdua. Tapi mau bilang apa? Yang terjadi malahan sebaliknya. Akibat kesurupan, pekerjaan mereka berdua nggak sekadar tertunda, mereka malah nggak bisa menyelesaikan pekerjaan menjahitnya. Masih mending, kejadiannya itu pas hari Sabtu, jadi Azkia bisa minta tolong ke Reino untuk memanggilkan pak Satpam yang terbiasa menolong orang kesurupan,” cetus Azkia.
‘Iya, aku ingat soal itu walau nggak menyaksikannya secara langsung. Boleh dibilang, aku ini kan bagiannya lebih sering di luar rumah, sembari menanti turunnya order dari Fritz. Dan sewaktu kejadian, aku sedang menemui Pak Anto, salah satu rekan dari Bu Sherina yang kabarnya mau membuat seragam baru untuk para kru di restauran barunya,’ kata Zetta dalam hati.
- Lucy Liestiyo -