Time flies, begitu yang kerap dikatakan oleh orang-orang di luar sana. Ungkapan itu tentu saja tak hendak disangkal oleh Zetta. Dirinya sendiri merasakannya. Dua bulan sepertinya begitu cepat berlalu.
Menjelang sore ini Zetta menatap layar laptopnya, mengamati posisi keuangan yang disajikan oleh Azkia. Rasa puas menyembul di hatinya, melihat posisi hutang jangka pendeknya menurun cukup signifikan. Perubahan itu tidak hanya disebabkan oleh kepiawaian Zetta mengatur perputaran uang serta tindakan mereka berempat untuk berhemat luar biasa. Juga tidak semata berkat suksesnya order pertama dari Fritz dan p********n dari sederet customer lama yang ajaibnya, dapat dicairkan lantaran kegigihannya menghubungi mereka, mulai mengatur jadwal untuk mendatangi kantor mereka dan menawarkan kembali kerjasama yang baru.
Tetapi, lebih dari itu semua, ada selaksa pengorbanan lain yang berperan. Salah satunya adalah kerelaan hati Zetta untuk melepaskan nyaris seperlima dari koleksi sketsa lamanya kepada tiga buah butik ternama. Itu adalah koleksi yang amat disayangnya. Tambahan pula, hasil penjualan online stok yang digencarkan oleh Azkia, turut berperan. Hal-hal yang dilakukan secara bersamaan itu mulai berbuah manis. Ini memampukan Zetta agar menyisihkan uang untuk menambah persiapan membayar perpanjangan kontrak rumah kelak.
Zetta dapat mulai sedikit bernapas lega mengenang keberhasilan order pertama Fritz, yang dianggapnya penting sebagai pembuka pesanan selanjutnya.
'Ya, yang pertama itu selalu penting, bukan?' pikir Zetta, memungut quote entah dari siapa.
Walau terdapat beberapa kendala tak terduga, keseluruhan order dari Fritz berhasil dikirim hampir tiga minggu silam, lebih cepat dari batas waktu yang diberikan. Fritz menyatakan puas dengan hasil pekerjaan mereka.
“Kak Ze..,” panggil Zetta yang menarik kursi dan duduk di sebelah Zetta.
Zetta menoleh sesaat dan menyahut, “Ya?”
Azkia menerangkan angka-angka yang tertera di layar laptopnya yang dihadapkan kepada sang kakak.
“Lumayan banget, kan, Kak? Sekarang kita jadi bisa mulai fokus untuk membuat persediaan barang retail untuk penjualan online lagi, jadinya,” ucap Azkia dengan mata bercahaya bak bintang kejora.
“Iya. Nggak boleh sampai kehabisan. Nggak bagus untuk image toko online kita, nanti kalau sampai pelanggan kecewa. Terima kasih banyak lho Kia, Kakak bangga punya adik yang ternyata sepandai ini berjualan dan mempromosikan produk,” kata Zetta sambil menepuk pipi sang adik.
Azkia tersipu dan mengibaskan tangannya secara ekspresif.
“Ah, Kak Ze, bisa saja deh! Azkia kan hanya membantu sedikit. Supaya Kak Zetta nggak terlalu stress dan kecapean sementara Azkia enak-enakan hanya kuliah saja. Itu juga dibantu banyak sama...,” Azkia sengaja membatalkan apa yang akan diucapkannya.
‘Mana mungkin aku bilang terus terang, bahwa Reino juga banyak mempromosikan toko online kami ke teman-teman di kantor dan di kampusnya? Juga ke para pelanggannya? Ah, sampai sekarang saja Kak Zetta sepertinya susah akrab sama Reino. Untung saja Reino itu orangnya sabar,’ pikir Azkia.
Beruntung, Zetta sepertinya tidak terlampau mendengar perkataan sang adik yang memang kian pelan di ujung kalimat. Dia memang juga tengah memikirkan hal lainnya.
Diam-diam Azkia menarik napas lega.
‘Reino saja sabar. Aku juga harus dong. Nggak apa, yang penting Ibu sepertinya juga suka sama Reino kok. Obrolan Ibu sama reino lancar-lancar saja. Nanti lambat laun, aku rasa juga Kak Zetta akan senang sama Reino,. Faktanya, reino memang menyenangkan kok orangnya, batin Azkia penuh harap.
“Oh iya kak Ze, seragam dari klinik kecantikan yang sekarang sedang diproduksi itu cakep deh modelnya. Padahal bahannya nggak terlalu mahal, tapi tampilannya cukup wah dan berkelas. Rancangannya Kak Zetta, pasti keren, dong,” Azkia balas memuji.
Zetta tersenyum samar.
Sejujurnya dia sungguh tidak tahu harus merespons seperti apa. Di satu sisi, dia senang karena hasil kreasinya disetujui oleh pemilik klinik kecantikan yang merupakan kenalan lamanya. Sementara di sisi lain, sebenarnya hatinya sempat terasa berat ketika terpaksa melepaskan sketsa-nya dengan ‘harga semurah’ itu, terlebih jumlah pesanan seragam mereka juga tidak sampai sepertiga dari jumlah order Fritz. ‘Nggak apa. Dalam keadaan macam ini, kesempatan sekecil apapun bakal aku jemput. Bu Sherina Ghiani si pemilik klinik kecantikan itu terlihat senang dan bangga sekali kok, siap memarmerkan seragam barunya. Kalau pelanggan senang, aku juga harus senang, kan? Networking-nya Bu Sherina itu sangat luas, dan tampak sekali beliau sadar bahwa aku memberikan harga khusus baik untuk sketsa maupun pesanan seragamnya, yang membuatnya langsung tergerak mengatakan akan mereferensikan aku ke teman-temannya,’ pikir Zetta, yang berpikir bahwa sekarang ini mungkin memang saatnya menabur dahulu. Toh, dia yakin bahwa apa-apa yang ditaburnya, bakal dituainya di masa panen kelak.
‘Cuma perkara waktu, kok. Aku hanya berharap, prosesnya lebih cepat dan lancar, itu saja,’ kata Zetta dalam hati.
“Ngomong-ngomong, prospek orderan Kak Fritz perkembangannya bagus kan, Kak? Maksud Azkia, orderan selanjutnya?” tanya Azkia ingin tahu.
Zetta tersenyum tipis.
“Kita berdoa terus dan berusaha saja, Kia. Sejauh ini, Kakak kira kemungkinan disetujuinya sudah di atas tiga puluh persen. Wah, kalau sampai dapat, kita benar-benar harus fokus penuh. Soalnya jumlahnya itu lho, besar sekali, baik dari segi quantitas unit maupun nominal harganya,” sahut Zetta.
Azkia manggut kecil.
“Amin, Semoga goal ya Kak. Seingat Zetta sekitar dua setengah kali lipat dari order pertamanya Kak Fritz ya Kak? Dan sekarang sambil menunggu order itu turun, memang kita nggak bisa santai, harus secepatnya memperbanyak produksi lainnya. Takutnya nanti nggak sempat lagi,” balas Azkia.
“Iya, Kia. Ini Kakak juga harus lebih cermat mengatur waktu. Eh, tapi ingat, kuliahmu itu tetap nomor satu, ya! Awas kalau kamu keasyikan membantu Kakak, terus kuliahmu terabaikan,” Zetta memperingatkan.
Azkia menaruh tangannya di dahi dan berkata, “Siap, Kak Zetta. Tenang saja. Azkia nggak akan mengecewakan Kak Zetta.”
*
Empat hari selanjutnya, pada suatu pagi yang mirip dengan pagi-pagi sebelumnya...
“Kak Ze…,” panggil Azkia setelah ketukannya di pintu kamar Zetta tidak beroleh sahutan. Sepertinya Zetta memang begitu terlarut dengan data yang terpampang di depan matanya sehingga tidak terlalu mendengarkan ketukan tersebut. Sementara Azkia, merasa telah lumayan lama berdiri di ambang pintu kamar Zetta.
Lalu kali ini pun sama, panggilan dari Azkia tidak mendapatkan sahutan dari sang kakak.
Azkia memutuskan melewati pintu yang memang terbuka itu.
Langsung saja Azkia menghampiri sang kakak.
Azkia berdiri di sebelah kursi, di mana Zetta tengah duduk menekuri pekerjaannya.
Menyadari kehadiran Azkia, Zetta menghentikan sesaat kegiatannya. Dia tahu, pasti ada yang ingin disampaikan oleh adiknya itu.
“Ya?” Zetta mengangkat kepalanya.
* Lucy Liestiyo *