Rangkaian hari berat dan melelahkan terus saja bergulir dalam kehidupan Zetta. Tidak tercegah, tidak dapat dimintai untuk menjeda barang sejenak. Segalanya tetap berjalan seperti gerakan auto pilot yang berkesinambungan. Seperti halnya matahari yang rutin terbit di pagi hari untuk menyinari bumi dan beranjak pulang ke peraduan pada saat senja tiba.
Satu-satunya yang membuat hati Zetta sedikit terhibur adalah ketika mendapati ibu dan adiknya tidak sehisteris yang semula dicemaskannya, begitu mendengar kabar terbakarnya workshop mereka.
Menyaksikan respons bu Lestari dan Azkia yang sebatas berpelukan sembari meneteskan air mata tanpa berkata apa-apa lagi, Zetta hanya sanggup diam terpaku.
Lidah Zetta terasa demikian kelu. Bahkan tidak sanggup melontarkan satu buah kata saja.
Zetta justru tidak sempat berpikir, apakah kedua orang yang dicintainya itu tengah berusaha ikhlas untuk menerima cobaan yang datang beruntun itu, ataukah justru telah terpuruk hingga ke dasar? Sehingga, tak punya daya apapun lagi, untuk sekadar mengeluh atau mengaduh. Bahkan, tidak didengarnya sama sekali isak tangis mereka berdua.
Perjalanan waktu mengantarkan Zetta untuk tiba di momen berat berikutnya. Momen yang sebetulnya sungguh menguras segenap emosinya. Dan celakanya, lagi-lagi tidak mungkin dihindarinya.
Hati Zetta terasa getir ketika membagikan setumpuk amplop kepada para pegawai workshop. Andai masih tersedia opsi bagi dirinya untuk memilih, Zetta menolak keras keadaan yang menempatkannya di posisi ini. Posisi sulit yang membuatnya terjepit.
Andaikan mungkin, ingin rasanya Zetta ingin meluapkan tangis di pojok ruangan yang tersembunyi dari pandangan mata siapapun juga, lantaran sudah mustahil baginya, untuk lari menghindar dari rentetan tanggung jawab berat yang harus dipikulnya ini.
Pada saat semua orang di sekitarnya boleh meratapi musibah yang menimpa mereka, saling berbagi cerita lantas saling menghibur, dan berusaha menyemangati satu sama lain, dia di posisi yang sama sekali tidak berhak untuk menunjukkan kesedihannya. Dia justru harus menyimpannya serapat mungkin demi menguatkan mereka semua. Namun, memikirkan cara tepat untuk melakukannya saja sudah membuat perasaan Zetta masgul. Dia bukan aktris, bagaimana mungkin dapat bersandiwara sepanjang waktu?
Zetta nyaris tidak sanggup menatap deretan wajah sedih pegawai workshop. Lebih sedih lagi, ketika Ajeng menolak menerima amplop tersebut.
“Mbak Zetta, apa yang dialami sama keluarga Mbak Zetta sekarang ini sudah terlampau berat. Jangan begini, Mbak. Kebaikan mendiang Bapak, dan semua anggota keluarganya Mbak Zetta itu nggak pernah bisa terbalaskan sama saya. Mau saya mati hidup sampai tujuh kalipun, nggak akan sanggup saya membalasnya meski seujung kukupun,” ucap Ajeng tulus.
Zetta menggeleng, mengisyaratkan agar Ajeng berhenti berkata demikian.
Alih-alih menuruti isyarat dari Zetta, Ajeng malahan berlaku sebaliknya.
Gadis itu justru mengungkit-ungkit kembali semua jasa Ayah Zetta pada keluarganya. Mulai dari membiarkan sang Ibu belajar banyak hal di perusahaan, menanggung semua biaya pengobatan sang ibu, menyumbang biaya pernikahan kedua sang Ayah, lantas memberinya kesempatan bekerja dan mengembangkan kemampuannya. Bukan itu saja, Ajeng juga menekankan betapa keluarga Zetta telah memperlakukan dirinya sebagai anggota keluarga dan itu sungguh tidak dapat diukur oleh nominal apapun.
“Itu priceless, Mbak Zetta. Padahal saya ini apa? Saya nggak bisa bayangin seperti apa nasib keluarga saya kalau tidak sempat mengenal keluarganya Mbak Zetta,” ucap Ajeng serius.
Zetta mengangkat tangannya. Kepalanya menggeleng kuat.
“Ajeng, sudah. Sudah, tolong jangan bicara seperti itu lagi,” Zetta tak tahan lagi mendengar perkataan Ajeng. Dia memohon supaya Ajeng berhenti mengucapkan semuanya itu. Bukannya bangga, hatinya justru terasa perih mendengarnya.
Ajeng lekas menurut, tetapi dia berkeras, meminta agar diijinkan mengkontribusikan tenaga dan pikiran untuk mengatasi permasalahan keluarga Zetta. Kata Ajeng, sudah sewajarnya, dia tetap bersama mereka saat ini.
“Ijinkan saya membantu Mbak Zetta. Apa saja, yang saya bisa bantu, Mbak. Keluarga saya sudah terlampau banyak berhutang budi kepada keluarganya Mbak Zetta. Mbak Zetta ada rencana apa, saya bantu sebisanya. Setidaknya, saya ini masih punya tenaga, Mbak,” ucap Ajeng tulus.
Zetta nyaris menangis haru mendengar ucapan Ajeng yang dia yakin, sungguh berasal dari dalam hati itu. Karenanya, sia-sia bagi Zetta untuk memaksa Ajeng untuk menerima hak yang diberikan padanya.
Rupanya, yang dikatakan Ajeng itu murni kesungguhan, bukan sekadar lip service untuk menyenangkan hati Zetta.
Gadis itu benar-benar menindaklanjuti apa yang telah diucapkan oleh mulutnya.
Ajeng, gadis yang usianya berjarak dua tahun lebih muda dari Zetta, kerap bolak-balik, menyambangi apartemen Zetta dan outlet yang dimiliki PT ILZA JAYA. Mereka berdua sering berdiskusi, membicarakan langkah apa saja yang dapat mereka lakukan.
Seperti halnya Zetta, Ajeng juga paham, tanpa berjalannya workshop, mana mungkin kelangsungan outlet dapat berjalan? Tanpa adanya produksi, barang apa yang hendak dijual selanjutnya? Ajeng juga mengerti, betapa pusingnya Zetta memikirkan sisa display yang kian berkurang dari hari ke hari. Ajeng juga merupakan salah satu orang yang sibuk bolak-balik ke kantor polisi, karena dimintai keterangan sebagai saksi dalam peristiwa kebakaran tersebut.
Lima minggu berselang semenjak kejadian terbakarnya workshop PT ILZA JAYA, cobaan lain cepat menerpa, tak ubahnya pemburu yang sudah lama membidik sasaran tembak.
Pak Joni Priyantoro, si pemilik gedung yang selama ini disewa sebagai outlet PT ILZA JAYA, mengabarkan kenaikan tarif sewa yang akan diberlakukannya pada bulan mendatang. Jika ditinjau dari segi komersial, pertimbangan Pak Joni itu masuk akal saja. Sebab, pak Joni melihat outlet PT ILZA JAYA luar biasa ramai setiap harinya. Sebagai pemilik gedung, tentu dia juga merasa memiliki kontribusi besar bagi pencapaian outlet tersebut, bukan?
Hanya saja, yang di luar nalar yaitu, nominal kenaikan tarif yang diajukannya mencapai hampir dua kali lipat dari nilai sewa yang saat ini dibayarkan oleh PT ILZA JAYA. Bagi Zetta, itu menyerupai sebuah pengusiran paksa.
Pikiran Zetta langsung buntu seketika.
Sudah begitu, beberapa vendor tak mau peduli alasan yang dikemukakannya. Mereka seperti tidak pernah mengenal arti kata ‘sabar’ apalagi ‘empati’. Seolah mereka tidak pernah mengalami masa kejatuhan dalam hidupnya saja. Mereka tidak ragu menunjukkan kegarangannya, setiap menagih sisa hutang yang belum terbayarkan.
Sebagian besar hutang tentunya berasal dari batalnya proyeknya Ibu Indriwati. Dua vendor, malah mengancam bakal memperkarakan PT ILZA JAYA, jika sampai batas waktu yang ditentukan, Zetta tak juga dapat melunasi sisa hutang. Mereka menolak mentah-mentah permohonan Zetta untuk mengangsur dalam jangka waktu tertentu.
Kalau sudah begitu, biasanya Ajeng hanya menggenggam erat tangan Zetta. Seolah-olah gadis itu hendak berkata,”Yang kuat, Mbak Zetta. Yakin, semua badai ini pasti berlalu. Sekarang kita belum tahu caranya. Tapi sebentar lagi kita bakal tahu. Kita berusaha terus dan berserah saja.”
Zetta hanya sanggup mengangguk, sebagai ganti ucapan terima kasih kepada Ajeng atas dukungannya.
Masalah tidak berhenti sampai di situ.
Seperti lubang hitam yang menganga dan siap menelan Zetta, ia bergerak, terus menguntit Zetta.
Maka, segera datang pula masa di mana Zetta harus merasakan hatinya berdebar luar biasa, setiap kali ia mendengar dering telepon, khususnya panggilan yang berasal dari nomor yang tidak dikenalnya.
Pasalnya, bukan satu dua kali, dia harus mati-matian menahan diri dan amarahnya. Zetta harus mengelus dadanya demi menyabarkan hatinya, lantaran mendengar teror berupa makian maupun kecaman yang diakhiri peringatan keras agar dia segera melakukan kewajiban untuk melunasi hutang PT ILZA JAYA.
Bukan itu saja.
Seringkali, kata-kata yang lebih kasar dari sumpah serapah dan menyebut segenap penghuni kebun binatang juga harus singgah dan bahkan menetap lama di telinga Zetta. Sekadar kata-kata, ‘mampus,’ ‘gue seret ke penjara,’ ‘masuk ke neraka elo sekeluarga,’ ‘kita ketemu di pengadilan’, ‘kalau niat bayar, semestinya mulai diangsur dari sekarang jangan banyak alasan,’ ‘kalau memang enggak sanggup bayar, jangan pernah berani ngutang,’ ‘itu bapak elo apa bisa istirahat dengan tenang, ya, kalau matinya ninggalin begitu banyak hutang yang nggak kunjung dibayar?’ hanyalah sebagian kecil contohnya dan masih terbilang ‘halus’.
Kerap kali, Zetta harus menggertakkan giginya sekaligus mengepalkan tangannya yang segera memukul benda apa saja yang ada di dekatnya, bila mendengar satu dari kata ejekan yang seolah saran dari para penagih hutang.
Selintas seperti opsi yang bisa dipilihnya, tetapi jelas semuanya itu merupakan pelecehan, yang andai saja Zetta masih mempunyai cukup energi dan uang, akan dapat memperkarakannya dan menyewa seorang pengacara untuk mengajukan tuntutan kepada mereka.
Tengok saja, bagaimana bisa perasaan Zetta tidak terluka jika mendengar kalimat-kalimat berikut ini :
From : 0811XXXXXXX
- Bisa kok dibayar sebagian pakai keperawanan elo sama adik lo. Tapi syaratnya tentu saja kalau kalian berdua masih perawan, ya meskipun gue enggak yakin sih. tapi oke deh, gue peringan, gue tawarin elo sama adik elo untuk jadi b***k seks gue saja.
From : 0856XXXXXXX
- Bayar pakai badan elo. Itu sudah paling benar deh. Gue lihat badan sintal elo memang bikin ngiler. Atau perlu gue cegat elo, gue perkosa ramai-ramai dulu terus gue masukin tempat prostitusi, tempat yang pas buat dagangin elo sehingga elo nggak bisa mengelak dari kewajiban untuk menyicil p********n atas hutang elo.
From : 0813XXXXXXX
- Coba dipikirkan lagi. Ini win win solution. Nggak ada satu pihakpun yang dirugikan. Yang ada justru bikin kita sama-sama enak deh. Sudah kebayang sama gue, dengan bentuk badan elo yang aduhai, elo bakal menghangatkan ranjang gue. Tenang, gue bakal kasih enak juga ke elo, ke badan elo, selain hutang elo bisa lunas. Elo cuma perlu datang ke kamar hotel yang gue kasih tahu setiap kali gue perlu melampiaskan nafsu gue. Gampang, kan? Gue dapat enak, elo juga dienakkin, lunas lagi, hutang elo.
Awalnya Zetta sempat berpikir itu hanya gertak sambal, tetapi karena dilakukan nyaris di setiap waktu, tentu saja lama kelamaan hal itu mempengaruhi kesehatan mental Zetta.
Memikirkan kata-kata sampah itu saja, rasanya air mata Zetta sudah tak sanggup membilas torehan luka yang muncul karenanya. Dan sejujurnya, sekuat apapun seorang Zetta, dia juga kerap was-was. Kadang dia merasa takut apabila berada di tempat yang terbilang jauh dari keramaian lantas mendadak diculik, disekap, lalu dianiaya, bahkan diperkosa oleh para penerornya.
Apa lagi yang sanggup dia lakukan, selain tetap berusaha tegar di depan ibu dan adiknya, menyembunyikan sisi rapuh dalam dirinya yang menuntut, hendak diberikan sedikit tempat untuk menampilkan diri? Apa pula yang dapat Zetta lakukan kecuali mengadu dan mengaduh kepada sang Pencipta, sang penyelenggara hidup?
Walau tidak semua ancaman, Ajeng cukup tahu apa yang dialami oleh Zetta. Ajeng paham bagaimana sebetulnya pergumulan hati Zetta. Hatinya sendiri juga sakit bila sesekali mendengar makian kotor dari para penagih utang yang tidak beradab itu. Namun dia mengambil posisi yang mirip dengan Zetta, menyimpan hal itu di dalam hati.
“Mbak Zetta, yang sabar ya Mbak. Mbak Zetta ini jelas mau naik kelas, Mbak, karenanya diberikan ujian sebesar ini,” gumam Ajeng suatu kali, tatkala memergoki Zetta menggigit bibir setelah menerima sebuah panggilan telepon. Rupanya tanpa Zetta harus buka mulut utuk bercerita apa isi pembicaraan via telepon itupun, Ajeng telah dapat memperkirakannya secara akurat.
Sementara jika di depan orang lain Zetta bersikap seolah dirinya adalah wonder woman, toh di hadapan sang Pencipta, dia tidak pernah ragu untuk mengakui kelemahan serta rasa takutnya dengan masa depannya serta masa depan keluarganya yang tampak suram.
“Ya Allah, sampai kapan semuanya ini,” keluh Zetta dalam rangkaian doa-doa malamnya sebelum tidur.
Dia merasakan lelah jiwa, raga, dan pikiran sekaligus, di dalam waktu yang bersamaan.
Terkadang ketika merasa tidak ada jalan keluar dari permasalahannya, Zetta tergoda ingin memukul-mukul kepalanya sendiri, lantas menghantamkannya ke tembok sekeras mungkin. Malahan jika perlu sampai kepalanya pecah dan otaknya berhamburan keluar. Dalam pemikiran Zetta, dengan begitu, dia dapat membebaskan dirinya, pergi meninggalkan semua hal pelik serta beban berat yang sekonyong-konyong bertumpu pada kedua pundaknya ini, untuk selamanya.
‘Siapa tahu dengan begitu, mereka semua yang menyumpahiku bisa puas melihat akhir hidupku yang sengsara,’ pikir Zetta suatu kali.
Setiap kali Zetta merenung di balkon apartemennya pada malam yang dingin, embusan angin yang menerpa wajahnya seakan mengirim pesan, “Ayo loncat! Loncat, sekarang! Kesusahanmu akan berlalu! Kamu akan terbebas dari urusan hutang yang membuat kepalamu pusing. Kamu juga akan telepas dari semua permasalahan yang membebanimu! Lalu, berkumpul lagi dengan Ayahmu! Kamu rindu sama Ayahmu, kan? Nah, beliau akan memelukmu dan melindungimu di sana.”
Berada di titik nadir seperti itu, di lubuk hatinya yang terdalam, Zetta mengakui ada banyak saat dia nyaris tergoda untuk melakukan perbuatan nekad. Banyak kesempatan ketika dia ingin menuruti bisikan-bisikan yang menggoyahkan imannya.
- Lucy Liestiyo -