CHAPTER EMPAT BELAS : Mengayuh Lebih Keras

1646 Kata
               Beruntung, setiap kali Zetta nyaris terlarut dalam godaan, setiap kali dirinya dalam keadaan bersiap memegang handel balkon dan dalam posisi mengambil ancang-ancang untuk melompat dan terjun bebas ke bawah, sebuah kesadaran bagai menyentaknya secara tiba-tiba. Menyelubunginya, bak sepasang tangan kuat yang memeluknya serta melingkari tubuhnya dari arah belakang, menahan dirinya dari perbuatan tercela : percobaan bunuh diri.                Sebuah kesadaran yang bukan saja menahan dirinya namun lekas menggerakkan dirinya. Sebuah gerakan seperti sebuah tarikan kuat yang membuatnya segera mundur, menjauhi area balkon. Kesadaran yang sama, yang kemudian menuntun Zetta untuk memasuki unit apartemennya, terus melangkah menuju kamarnya sendiri. Kesadaran itu pula yang mendorong Zetta untuk melanjutkan perenungannya dengan lebih tenang di sana. Kamarnya, satu-satunya tempat di mana dia dapat membenamkan dalam-dalam wajahnya ke bantal, dan menangis tanpa harus khawatir suara tangisnya diketahui oleh ibu maupun adiknya.                “Mbak, Mbak Zetta harus terus semangat, ya. Saya tahu, nggak pantas saya berkata seperti orang menggurui begini. Tapi Mbak, saya hanya ingat pesan almarhumah ibu saya pada saat beliau divonis menderita kanker tulang dan saya merasa hidup ini nggak adil buat kami sekeluarga. Dengan tegar, beliau bilang kalau pada saat roda kehidupan kita berada di bawah, itu artinya kita harus mengayuh lebih keras, supaya lekas kembali ke atas. Tolong Mbak, ijinkan saya tetap bersama Mbak. Segala sesuatu akan terasa lebih ringan, kalau kita kerjakan bersama,” beruntung,  rangkaian kata tulus yang pernah diucapkan Ajeng, seringkali terngiang di telinga Zetta di ujung perenungan pribadinya.               Berbekal kesadaran bahwa dia tidak mempunyai pilihan apapun selain menghadapinya, membereskan satu demi satu keruwetan yang ada, Zetta berdialog dengan dirinya. Disadarinya, betapa keji serta tidak bertanggung jawabnya dirinya, bila menyia-nyiakan hidup yang diberikan oleh sang Pencipta.                Membayangkan beban berat yang akan ditanggung ibu dan adiknya bila dia meninggal, menyadarkan Zetta, sekalipun dia pergi dari dunia ini, permasalahan keluarganya takkan selesai begitu saja. Yang pasti, justru bertambah parah. Bukan sekadar masalah keuangan saja, melainkan beban moral yang berat bakal dihadapi ibu dan adiknya, bila Zetta nekad mengambil langkah pengecut, mengakhiri hidup.                Zetta menggelengkan kepalanya tatkala terbayang berbagai kemungkinan buruk yang bakal diderita oleh orang-orang yang dicintainya sepeninggal dirinya dengan cara yang super pengecut.                Azkia, adiknya yang rapuh, bisa saja berakhir di rumah sakit gangguan mental, saking tak sanggup menanggung deraan nasib yang tak berpihak, kehilangan satu anggota keluarga lagi dengan cara mengenaskan sekaligus memalukan. Sementara ibunya, bisa saja sakit keras bahkan meninggal dunia, lantaran terlalu malu dan kecewa atas tindakan bodoh dari putri sulungnya.                Zetta menggelengkan kepalanya lagi, demi mengusir semua bayangan buruk itu.                 'Nggak! Aku nggak boleh cengeng dan lemah. Aku ini Zetta Amelia Kusnandi, putri sulung Ayah. Aku Zetta yang harusnya bisa diandalkan. Kalau selama Ayah hidup, belum membuatnya bangga, bisa jadi, sekaranglah, saatku menunjukkannya. Ya, bukannya berarti, Ayah menitipkan ibu dan Azkia padaku? Lagian, mana mungkin kuanggap remeh keberadaan Ajeng di tengah kami? Gila, apa-apaan tadi itu? Enggak, aku bukan Zetta yang payah. Aku harus bangkit dari keterpurukan ini, batin Zetta, penuh tekad. Terbayang olehnya, betapa banyak orang-orang yang tengah sakit parah di rumah sakit, yang mengenakan ventilator serta berbagai alat penopang kehidupan, tetapi tetap berjuang untuk hidup. Demi apa? Demi melanjutkan rencana sang Pencipta atas diri mereka. Juga demi orang-orang yang mereka cintai, yang tentu saja bakal kehilangan dan berduka kala mereka kalah berjuang melawan penyakitnya.                "Aku nggak bersyukur namanya kalau hanya bisa meratap. Aku ini dikasih badan yang sehat, otak yang bisa kuajak utuk berpikir, dan bahkan didukung oleh ibu, Azkia, Ajeng dan yang lainnya," Zetta setengah bergumam.                 Maka pandangan mata Zettapun menerawang, mendayakan fungsi otak kanan dan kirinya secara total, berganti-gantian.                 Entah energi positif dari mana yang mendadak datang bagai berkah tak terhingga. Semesta tampaknya berpihak kepadanya, dan memberikan pertolongan kepada Zetta.                 Sejumlah gagasan terpikir begitu saja oleh Zetta, termasuk menjual bangunan workshop. Tetapi, mengingat hampir 1/3 bagian belakang bangunan tersebut ludes dilalap api, dia mahfum, menjualnya tanpa memperbaiki terlebih dahulu, tentunya bakal membuat harganya terjerembab, juga memakan waktu lebih lama dibandingkan menunggu pencairan klaim asuransi kebakaran yang saat ini tersendat. Yang termudah dan tercepat, tentunya adalah opsi menggadaikan apartemennya, mencari kontrakan murah dan terjangkau, yang dapat menampung pula sisa barang dan peralatan mereka.                  Zetta memikirkan usaha retail mereka yang kini berada di ujung tanduk sekarang. Sebentar lagi, dia harus membayar uang pesangon para pegawai.                  “Entah uang darimana lagi, di saat tiga buah mobil tersisa, yang sehari-hari biasa dipakai oleh almarhum Ayah serta Azkia, terpaksa kami jual dengan harga miring, dua minggu lalu,” desah Zetta yang kemudian duduk terpekur di tepi pembaringannya.                  Zetta terkenang pada puluhan sepeda motor milik sang Ayah yang selama ini dipakai sebagai kendaraan inventaris bagi pegawai dan telah dititipkannya pula ke tempat penjualan sepeda motor bekas milik kenalannya. Sayangnya, sampai detik ini, belum dapat diperkirakan kapan sepeda motor tersebut akan menjadi uang.                  Mata Zetta memejam.                  “Dan semua saldo bank milik perusahaan Ayah juga kian menipis dari hari ke hari. Nggak lama lagi aku juga sudah harus mulai menyentuh tabungan pribadiku, idle cash-ku yang aku kumpulkan selama aku bekerja. Satu hal yang membuatku gusar, tanpa setahulu, Azkia sama ibu diam-diam juga turut menjual beberapa koleksi perhiasan mereka. Padahal mereka tahu, aku menentang habis-habisan. Ini semua tanggung jawabku. Semua yang terjadi ini akibat kesalahanku,” gumam Zetta sembari mengurut pelipisnya.                  Apa hendak dikata? Beberapa waktu lalu rupanya Azkia bergeming, tidak  lagi mengindahkan larangan Zetta. Azkia dan bu Lestari berkeras meminta diberi sedikit peran untuk meringankan beban yang diambil alih sepenuhnya oleh Zetta.                 “Kamu nggak adil Ze. Semuanya kamu yang nanggung. Jangan begini,” terngiang kembali oleh Zetta perkataan sang ibu yang membujuk dirinya ketika memarahi Azkia, begitu tahu adiknya itu baru saja menjual sebagian koleksi perhiasannya dan mentransfer hasil penjualan perhiasan tersebut ke rekening tabungan sang kakak. Dalam pemikiran Zetta, tentunya adiknya itu mempengaruhi ibunya juga untuk melakukan hal serupa.                  Zetta ingat, kekerasan hatinya luluh jua pada akhirnya. Dia menghargai apa yang dilakukan oleh dua orang yang amat penting dalam hidupnya itu, dan berusaha menyelami perasaan mereka berdua.                 Tetapi saat itu juga Zetta memberi syarat, dia hanya akan mempergunakan sepertiga hasil penjualan perhiasan mereka, itupun bila sangat terpaksa. Sedangkan sisanya, ditransfernya kembali ke rekening tabungan Azkia. Dan meski Azkia memendam rasa jengkel, dia tak berkutik menghadapi kekerasan hati kakaknya.                 Rupanya, dana tunai yang tersedia begitu cepat menguap, bagaikan air yang terus menerus dipanaskan dalam suhu tinggi. Arus uang masuk, sungguh tidak sebanding dengan kewajiban yang harus dipenuhi.                 “Huft!” Zetta mendengus kesal.                 Kini, berpikir tiada waktu lagi, Zetta terus memutar otak, mengingat-ingat kembali apa yang masih dapat dijadikan sumber dana.                 Ia beranjak dari pembaringan, menarik kursi yang ada di depan meja tulisnya. Zetta duduk di sana dan menarik secarik kertas. Ia menuliskan semua dalam hitung-hitungan angka, yang nyaris memancing airmatanya lagi.                 Deposito, simpanan valas, asuransi, reksadana, perhiasan, sebagian asset yang tertinggal, koleksi sketsanya yang belum sempat ditawarkan pada pihak manapun, siap dipertaruhkannya sekarang.                 “It’s ok, Zetta. Itu semua hanya benda, pencapaian. Suatu saat kelak, kamu akan bisa memperoleh yang jauh lebih banyak dan lebih berharga dari itu semua,” ucap Zetta pelan, menujukannya kepada dirinya sendiri. Zetta menghibur hatinya sendiri, mengusir jauh-jauh kepedihan yang mengoda, kala teringat perjuangannya memperoleh itu semua. Semua yang datang berkat kerja kerasnya, investasi waktunya, keringatnya, daya pikirnya, kumpulan emosinya, hingga pengorbanan atas kesenangan pribadinya.                Tangan Zetta mengusap tetes bening yang begitu kurang ajar bergulir di pipinya, tanpa seijinnya.                ‘Kamu mau membanggakan orang-orang yang kamu cintai, kan? Nah, sekaranglah waktunya bagimu  untuk melakukannya!’ Ayo, jangan buang waktu, angkat kepalamu! Tegar, bertindaklah! "sebersit dorongan hinggap di kepala Zetta. Dorongan yang bagaikan suntikan semangat baru bagi gadis itu.                  Berpikir demikian, Zetta segera bertindak. Ia tidak ingin kehilangan momen barang satu detik saja.                   Ia segera menelusuri berbagai informasi penyewaan property di internet. Usai melihat secara teliti foto-foto pendukung yang ada, membandingkan harga, luas hingga letaknya, Zetta menghubungi beberapa dari mereka dengan berbagai cara. Ada yang via pesan teks maupun via telepon untuk mendapatkan informasi yang lebih detail lagi serta mendapatkan janji temu.                  Berhari-hari Zetta melakukan hal serupa itu, termasuk melihat secara langsung keadaan rumah yang diincarnya untuk disewanya. Ia menyesuaikan harga serta nilai lebih yang dimiliki oleh masing-masing property tersebut.                  Sesekali, Ajeng juga menyediakan diri untuk menemani Zetta.                                                                                                                                                                           - Lucy Liestiyo -
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN