“Syukurlah, nggak ada koban kok, Mbak Zetta. Pagi saat kami datang buat bekerja seperti biasa, kebakaran sudah terjadi,” sahut Ajeng.
Zetta langsung menarik napas lega.
“Tadi, teman-teman sudah berusaha menyelamatkan stok dan peralatan kerja sebisanya. Juga furnitur dari rumah yang ada di gudang. Tapi mungkin, nggak banyak yang sempat terselamatkan sama kami. Pemadam kebakaran melarang kami masuk terlalu dalam. Kata mereka, demi keselamatan kami. Maafkan kami, Mbak Zetta,” sambung Ajeng penuh penyesalan.
Zetta mengibaskan tangannya.
“Nggak apa Ajeng. Yang penting kalian semua selamat. Kalau misalnya ada pegawai terluka, pusing atau sesak napas karena telanjur menghirup asap, tolong segera urus biar tertangani. Posisiku sekarang sudah dekat, Jeng,” jawab Zetta.
Lantas Zetta menarik napas panjang, menhannya sekian detik, mengembuskannya, menarik napas panjang lagi lantas mengembuskan kembali setelah menahannya sekian detik. Dua tiga kali dilakukannya sepelan mungkin, demi meredam keresahan dalam hatinya, supaya tak terbaca oleh Ajeng di sambungan telepon.
“Baik, Mbak Zetta. Tapi kami semua baik-baik saja. Mbak Zetta jangan khawatir. Mbak yang sabar, ya. Hati-hati di jalan,” pesan Ajeng dengan ketenangan yang entah dari mana datangnya. Sungguh berbanding terbalik dengan saat dia mengabarkan berita buruk itu puluhan menit sebelumnya.
Seperti yang dilakukannya di hadapan sang ibu tadi, Zetta kembali menelan ludah yang terasa pahit. Kerongkongannya terasa amat nyeri. Kering kerontang, bak tertusuk duri-duri tajam. Semua jeritan yang hendak diserukannya bagai terkumpul dan tertahan di sana.
Begitu menapakkan kaki di depan workshop sang Ayah yang tampak porak poranda, hati Zetta terasa hancur berkeping-keping. Pengemudi taksi yang telah menerima p********n darinya sampai menanti beberapa saat tanpa mengatakan apapun. Meski sepanjang jalan dia mendengar penumpangnya banyak menghubungi orang-orang, dia masih kurang percaya saja, ada seorang gadis yang setegar itu. Dan gadis itu terkoneksi dengan musibah yang tengah terjadi di depan matanya.
Cukup lama Zetta berdiri mematung, menahan gemetar yang melanda sekujur tubuhnya. Tidak tercegah, mata Zetta memanas kembali, saat mengerling pada bekas kediaman mereka di sebelah workshop.
Rumah kenangan itu masih tegak berdiri di sana. Rumah di mana dia dan Azkia melewati masa kecil hingga beranjak dewasa. Rumah yang penuh kehanagatan kasih sayang kedua orang tua mereka. Rumah yang menjadi saksi bisu kerja keras ayahnya.
Ya, masih rumah yang sama. Bangunan yang sama. Hanya saja, Rumah itu telah sengaja dikosongkannya secepatnya, dan siap beralih kepemilikan. Bahkan sebagian besar furnitur yang ada di dalamnyapun, terpaksa ditinggal sebab tidak memungkinkan untuk disimpan semua di dalam gudang workshop. Zetta hanya sanggup mengangguk maklum ketika Ajeng menyampaikan hal itu beberapa hari silam. Dia paham kebingungan Ajeng yang mungkin tak menemukan ruang cukup untuk menampung semuanya di dalam gudang.
Sementara itu, mereka toh juga terbatas dengan waktu. Pihak kreditur telah memberi isyarat akan segera mengambil alih rumah tersebut. Memikirkan proses serah terima yang semakin dekat, d**a Zetta terasa kian sesak. Matanya tambah pedih. Ingin benar dia berjongkok dan menangis terisak, meratapi nasib buruk yang melandanya. Jika mungkin, mau rasanya dia berteriak histeris, memprotes apa yang menimpanya.
Namun, sentuhan lembut tangan Ajeng yang melingkari pundaknya begitu melihatnya berdiri terpaku, mencegah diri Zetta untuk meluapkan emosinya. Dalam trenyuh, Zetta merasa mendapatkan sebuah peringatan yang keras.
‘Lihat Ajeng! Dia pasti terguncang. Tapi lihat, bagaimana dia menguasai dirinya, menjaga sikap di depan kawan-kawannya! Sebelum kamu datang tadi, pasti dia telah pontang-panting memberikan komando kepada mereka semua, agar bahu-membahu menyelamatkan apa saja, yang masih mungkin diselamatkan. Dia itu pegawai setia keluargamu. Kesayangan orang tuamu, sudah dianggap dan diperlakukan bagaikan anak kandung. Contoh dia! Abaikan perasaan pribadimu! Jangan berani-berani meratap di depan mereka! Tegar, Ze, tegar! Tegur sebuah suara yang singgah di kepalanya.
“Mbak Zetta, sekitar dua puluh satu mesin jahit berhasil terselamatkan. Bahan dan aksesoris, terutama material di bagian depan bangunan, berhasil dikeluarkan semua. Tapi maaf, hanya segelintir barang jadi dan barang dalam proses, yang terselamatkan, sebab disimpannya di bagian belakang workshop. Saya atas nama pribadi dan mewakili teman-teman juga mohon maaf, kalau kami kurang cepat. Furnitur dari rumah..., juga .. terbakar, Mbak,” lapor Ajeng runut.
Gadis itu menunjuk arah teronggoknya sejumlah barang yang barusan disebutnya. Pada detik lainnya, ia melihat para petugas pemadam kebakaran yang tengah berjuang melakukan pendinginan.
Mata Zetta terpejam beberapa saat.
“Nggak apa, Jeng. Sungguh nggak apa. Yang terpenting, kalian semua selamat, nggak satupun yang terluka. Itu patut kita syukuri. Kita juga harus bersyukur, api lekas dipadamkan, sebelum merembet ke tempat lainnya dan membuat kerugian lebih besar lagi,” cetus Zetta menyahuti Ajeng, sembari memerangi dahsyatnya amukan perih di hatinya.
Pandangan iba para operator jahit dan bagian gudang tertuju pada Zetta. Zetta mengeluh dalam hati. Ia mencoba meredakan segenap pertentangan yang tengah terjadi di dalam benaknya.
Zetta memarahi dirinya sendiri, merintih tanpa suara ketika merasa dirinya begitu lemah dan tidak sanggup untuk menahan beban seberat ini. Bahkan untuk balas menetap para pegawai mendiang ayahnya saja, rasanya begitu berat bagi dirinya.
Di depannya ini, adalah para pegawai setia mendiang Ayahnya. Bisa dipastikannya, mereka dapat menebak nasib mereka setelah ini, apalagi jika bukan kehilangan mata pencaharian? Baru sebentar melihat tatapan mata mereka saja, rasa gentar menggempur Zetta. Perasaan Zetta tercabik.
Andaikan dapat berlari, betapa ingin Zetta berlari sejauh mungkin, membiarkan dirinya tertelan kabut tebal, sehingga tidak memungkinkan seorangpun untuk melihat apalagi menemukan dirinya lagi, dan menuntut sejumlah pertanggung jawaban darinya.
Dalam kegundahan hebat yang melandanya, Zetta nyaris menggeleng-gelengkan kepalanya dengan kuat. Gadis itu tak habis pikir, bagaimana mungkin dia dipercaya menanggung beban seberat ini?
Sakitnya dikhianati, dihina, tidak dianggap hingga disia-siakan oleh Destan, ternyata tak ada apa-apanya dibandingkan apa yang kini dihadapinya. Rasa gamang serta kengerian saat melepaskan karir dan pendapatan tinggi, juga masih tertangani dan mulai dapat diterimanya secara ikhlas. Pilunya ditinggal panutan tehebat di matanya yang tak lain tak bukan Ayahnya sendiri, rasa kehilangan sosoknya yang amat hangat dan bertanggung jawab itu, ternyata masih disusul kehilangan lainnya, hanya sebelum genap dua minggu dari peringatan empat puluh hari wafatnya sang Ayah.
Perihnya kehilangan rumah mereka yang bukan sekadar ‘House’ melainkan ‘Home’ bagi mereka sekeluarga, ternyata masih disusul dengan musibah yang menimpa workshop PT ILZA. Zetta sungguh tidak sanggup menatap wajah-wajah di depannya. Lidah gadis itu terasa kelu. Zetta tak sampai hati mengabarkan, bahwa dia takkan mampu mempertahankan mereka lagi.
‘Andai aku bisa menjadi seorang pengecut yang memiliki opsi untuk lari dari tanggung jawab berat ini,’ keluh Zetta dalam diamnya.
“Mbak Zetta, apakah gudang di outlet masih muat untuk menampung barang? Kalau diperlukan, saya kirimkan beberapa teman untuk membantu menggeser dan mengatur barang-barang di sana, jadi nggak mengganggu rutinitas pekerjaan di outlet,” usul Ajeng.
Zetta menatap wajah Ajeng.
Sebelum Zetta menjawab, Ajeng melanjutkan lagi, “Soalnya, barang-barang ini kan nggak mungkin ditaruh di apartemen Mbak Zetta. Kami akan lakukan selekasnya, pakai kendaraan bak terbuka saja. Bolak-balik beberapa kali enggak masalah.”
Hati Zetta tersentuh luar biasa mendengarnya. Dia menatap intens wajah Ajeng, berkeras menata perasaannya yang tetap kacau balau.
Sejenak kemudian, Zetta menganggukkan kepalanya. Ungkapan terima kasih yang tulus terkandung dalam sorot matanya kepada Ajeng, pribadi yang sungguh mengundang rasa salutnya.
Hati Zetta berbisik, “Dia ini masih Ajeng yang sama. Ajeng yang tetap berusaha professional menjalankan tugas-tugasnya, meskipun di masa tersulit dalam hidupnya, yakni ketika mendampingi sang Ibu selama sakit, sampai akhirnya mengembuskan napas terakhir di sisinya, empat tahun silam. Dan sekarang, nyata benar betapa dia menguatkan aku.”
Selagi melirik Ajeng yang sabar menanti keputusannya, Zetta tersapa rasa kagum. Seperti mendapatkan pencerahan yang diperlukannya, dia tahu bahwa banyak hal dapat dicontohnya dari Ajeng. Kebesaran hati Ajeng, kemampuan gadis satu itu menata sikap dan meredakan suasana, kepasrahannya menjalani hidup, dan tentunya, ketenangannya yang dominan, pantang membiarkan orang lain mengetahui betapa sesungguhnya hatinya tengah rusuh.
“Maaf, bagaimana, Mbak Zetta? Waktu kita terbatas,” kata Ajeng sehalus mungkin, menyamarkan kesan mendesak. Rupanya, gerakan Zetta mengangguk pertanda setuju terluput dari penglihatan Ajeng tidak lantaran terlampau minim dan samar.
Seolah mempraktekkan teknik olah napas yang ternyata banyak manfaatnya dalam keadaan terjepit macam ini, Zettapun menarik napas panjang lagi. Dia berusaha mengundang sejumput kelegaan, serta menghalau sesak yang mengepungnya tanpa ampun, seakan-akan dirinya memang merupakan target utama yang telah sekian lama diincar.
Dia menoleh pada Ajeng, menatapnya dalam-dalam mata Ajeng. Seolah dengan begitu, ia dapat menyerap sikap positif Ajeng yang amat diperlukannya saat ini. Ya, Ajeng yang tidak meratap berlebihan dan memilih menyimpan rapat-rapat rasa kehilangannya akan kepergian ibunya. Ajeng yang merelakan sang Ayah menikah lagi dua tahun selepas kepergian sang ibu, karena tidak tega melihat sang Ayah terus kesepian, meratapi kepergian belahan jiwanya, yang mustahil kembali lagi ke dunia fana ini. Lebih dari itu, Ajeng seolah memberikan waktu lebih banyak kepada ayahnya serta ibu sambungnya dengan cara berkomunikasi dan berkabar seperlunya, di samping mengirimkan bantuan uang sebisanya. Kurang terpuji apa, sikap Ajeng?
Terkenang kisah hidup Ajeng yang seberat itu, namun justru membentuknya menjadi figur tangguh, kesadaran Zetta terlecut keras. Diam-diam Zetta membujuk hatinya sendiri, mensugestinya, seorang Ajeng yang lebih muda darinya saja bisa setabah itu tatkala diproses oleh kehidupan ini, lantas mengapa dia harus lari dari kenyataan?
Zetta memejamkan mata sesaat sebelum menjawab, “Iya Jeng, tolong ya. Dalam perjalanan kemari, aku sempat telepon Erna, penanggung jawab outlet. Dia dan stafnya langsung mempersiapkan space yang cukup, untuk barang yang akan kita titipkan di sana. Barang yang kecil, dibawa pakai mobil saja, ke apartemenku.”
“Baik, Mbak Zetta. Terima kasih persetujuannya. Saya cari kendaraan dulu,” sahut Ajeng diiringi embusan napas lega. Tanpa berpikir lagi, jarinya lincah mencari sebuah kontak di telepon selularnya. Ajeng menghubungi Gunawan Maryadi, kekasihnya yang bekerja sebagai mandor bangunan dan memiliki kendaraan bak terbuka.
Alangkah mujurnya, Gunawan yang terkaget mengetahui musibah yang dialami majikan dari sang kekasih, langsung mengajukan diri membantu hingga urusan di lokasi terselesaikan. Malah lebih dari itu, Gunawan menegaskan, dia tidak mau menerima p********n satu senpun. Usai memastikan keadaan sang kekasih baik-baik saja, Gunawan juga berpesan agar kekasihnya berhati-hati dan tetap mendampingi sang induk semang. Usai menutup pembicaraan melalui telepon dengan Gunawan, disampaikannya berita itu kepada Zetta.
“Mana boleh begitu, Jeng? Dengan membantu kita saja, Gunawan terpaksa meninggalkan pekerjaannya buat sementara. Kita sudah mengambil waktu kerjanya,” bantah Zetta, bersikeras.
Ajeng tersenyum.
“Enggak apa, Mbak, jangan sungkan. Gunawan bilang, dia lagi agak senggang. Kebetulan, proyek yang sedang ditanganinya dekat dari sini. Dia minta waktu dua puluh menit, mau titip pesan dan mengatur anak buahnya. Setelah itu, baru meluncur kemari,” terang Ajeng.
Zetta tetap tidak setuju. Ia mengambil dompet dari tas yang tersampir di bahunya, menarik puluhan lembar uang pecahan seratus ribuan dan menggenggamkannya ke tangan Ajeng seraya berkata, “Setidaknya, ini untuk sekadar ganti bensin. Tolong sampaikan rasa terima kasihku kepada Gunawan.”
Ajeng diam tak berkutik. Tidak sedikitpun terlintas di pikirannya untuk membantah Zetta. Karenanya meski terpaksa, diterimanya juga pemberian Zetta lalu berkata, “Baik, Mbak. Terima kasih.”
Zetta menganggukinya lantas memusatkan perhatiannya pada kegiatan pendinginan yang baru saja usai.
Ajengpun teringat sesuatu. “Mbak Zetta, saya mengerti, suasana hati Mbak saat ini pasti kurang baik. Mbak keberatan nggak, saya supiri? Mobil Mbak sedang dipakai, nggak?” tanya Ajeng, menawarkan bantuan berikutnya pada Zetta.
Zetta langsung bereaksi.
“Mobil ada di apartemenku, Jeng. Kamu minta saja kuncinya ke Azkia. Kalau dia tanya ada kejadian apa, jangan dijawab dulu. Pintar-pintarnya kamu deh, menghindar. Aku takut, kalau Ibu ada dekat Azkia dan mendengar kejadian ini, terus jadi shock. Biar aku sendiri yang menyampaikannya nanti, lagi kupikirkan caranya. Nah, kamu berangkat sana, kubereskan yang di sini,” suruh Zetta runut.
“Baik, Mbak Zetta. Saya tingal Mbak dulu nggak apa, kan? Saya ke apartemen Mbak Zetta. Nanti sebentar lagi Gunawan datang, dia sudah tahu kok harus melakukan apa,” Ajengpun mengangguk cepat.
“Iya, Jeng. Hati-hati,” sahut Zetta.
Ajengpun membalikkan badan. Ia bergegas mencegat ojek yang melintas.
Sepeninggal Ajeng, pegawai lainnya bekerja sama menaikkan barang-barang ke atas pick up Gunawan yang lekas tiba. Kendatipun harus lebih dari tiga kali bolak-balik, semua pegawai menanti dengan setia, membantu merapikan, mengatur, sampai memastikan semua barang terangkut tanpa sisa.
- Lucy Liestiyo -