Zetta baru saja usai mengecek ulang tiga alternatif design seragam yang akan diajukannya kepada perusahaan Pak Jonas Ferdinand Erlangga, yang tak lain adalah ayah dari Diaz Fritz Erlangga.
Zetta membandingkan ketiga sketsa tersebut dengan sampel yang telah dipersiapkannya bersama Ajeng.
Zetta mencermati hasil jerih payahnya selama dua malam berturut-turut itu, demi memastikan tidak ada secuilpun celah untuk cela yang mungkin muncul.
“Hm. Aku rasa cocok. Sudah sama persis ini,” kata Zetta pada diri sendiri. Seulas senyum puas terbentuk di bibirnya. Dengan cekatan, ia merapikan semua di atas meja kerjanya.
Rasa penat kini terasa di sekujur badannya yang telah di-forsirnya dengan bekerja demikian keras.
Zetta menguap beberapa kali. Ia menyandarkan punggung ke sandaran kursi dan mengangkat kedua tangannya ke atas lalu merentangkannya ke samping, untuk melakukan peregangan. Untuk mengurangi rasa pegal di lehernya, dia menoleh ke kanan dan ke kiri, lantas memutar kepala beberapa kali. Lumayan, dia merasakan manfaatnya meski sedikit. Dirasanya lehernya tidak sekaku sebelumnya.
“Nggak apa. Hasilnya setimpal, kok biarpun badanku rasanya remuk dan kepalaku terasa berdenyut keras. Ini usaha yang wajar, demi menyasar peluang order besar. Ini namanya ambisi yang masuk akal dan terukur, mengingat aku sangat membutuhkan percepatan pemulihan keuangan keluargaku. Dan bahkan usaha yang lebih keras dari ini pun, selama aku mampu, pasti akan aku lakukan,” gumam Zetta lirih, menghibur dan menyemangati dirinya sendiri dalam waktu yang bersamaan.
Zetta memang sangat serius, mengincar orderan dari grup perusahaan Bapak Jonas Ferdinand Erlangga. Buktinya, segenap gagasan terbaik telah dituangkan olehnya di atas kertas kerjanya, dan segala perhitungan cermat juga telah dibuat olehnya. Segalanya ia lakukan secara saksama. Sepertinya, pengalaman buruk yang dialami sang ayah telah mengajarkannya untuk menerapkan tingkat kewaspadaan terhadap hal-hal yang tidak terukur dan di luar jangkauannya.
Mata Zetta memejam sesaat, membayangkan wajah sang Ayah.
“Ayah, sabar ya Yah. Zetta nggak akan mengecewakan Ayah. Zetta nggak akan membiarkan Ibu, Azkia dan Ajeng susah. Zetta janji. Selama badan Zetta masih kuat, otak Zetta masih bisa berpikir, Zetta akan melindungi mereka semua sekuat Zetta. Ayah yang tenang, ya, istirahatnya. Kami baik-baik saja, Ayah. Semua ini pasti akan membaik, Zetta percaya nggak ada hasil yang mengkhianati usaha, Ayah,” bisik Zetta lirih. Ia membuka matanya dan memandang foto sang Ayah yang sengaja ia letakkan di meja kerjanya belakangan hari ini. Bukan semata untuk membangkitkan semangat kerjanya, melainkan sebagai pengingat bagi dirinya, bahwa dia mempunyai kewajiban dan tanggung jawab yang harus dituntaskan. Segera. Secepatnya. Dengan mengerahkan segenap kemampuan yang ia miliki.
Itu sebabnya di tengah-tengah kesibukannya yang luar biasa padat itu, Zetta juga telah menyempatkan dirinya untuk membuat secara teliti sejumlah daftar perusahaan yang dapat ia percaya untuk diberinya pekerjaan jasa makloon, yang dalam bahasa awam sering disebut pula sebagai pemberian pekerjaan pada tahap penyelesaian atau di-subkontrakkan.
Bukannya apa. Sudah barang tentu hal tersebut harus dilakukan oleh Zetta sebagai sebuah tindakan antisipasi, apabila dia terpaksa harus menyerahkan sebagian pekerjaan cmt (cut, make dan trim) disebabkan kapasitas produksi yang dimilikinya tidak mampu untuk mengejar tenggat waktu yang diminta oleh pelanggan. Secara kebetulan, salah satu di antara perusahaan tersebut tengah ia beri pekerjaan berupa pengadaan 100 stel seragam kru restaurant baru pada saat ini.
Dan dari perkembangannya sejauh ini, Zetta dapat menyaksikan sendiri hasil pekerjaan perusahaan tersebut sungguh melebihi ekspektasinya. Lebih cepat, rapi dan tepat sesuai pola yang dikirimkan oleh Ajeng kepada mereka. Intinya, untuk satu hal ini, Zetta dapat sedikit menarik napas lega.
Zetta meneguk habis air hangat di gelas besarnya. Rasa puasnya akan kreasi design di tangannya sanggup membuatnya mengesampingkan rasa letih yang menggayuti sekujur tubuhnya. Zetta mengurut kepalanya dengan gerakan lembut ujung jari jemarinya. Bermula dari leher, terus ke bagian belakang kepala dan diakhiri pijitan lembut di dahinya. Zetta berusaha mengusir selintas pening bercampur kantuk yang menyerangnya secara berbarengan.
Sesaat, Zetta menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi kembali, seolah memberi sedikit ‘bonus’ waktu bagi tubuhnya untuk memulihkan kondisi sebelum melakukan hal lainnya.
Lantas mata Zetta melirik ke arah jam dinding yang tergantung di salah satu sisi dinding kamarnya. Masih banyak waktu sebelum appointment dengan Pak Jonas dan Fritz nanti. Setelah itu, praktis tiada jadwal kunjung ke tempat lain.
“Sebaiknya aku sempatkan untuk menengok sebentar kegiatan produksi. Mumpung lagi sempat,” kata Zetta sendirian, dan lekas bangkit dari duduknya.
Zetta keluar dari kamarnya, terus mengarah menuju ke halaman belakang. Ayunan kakinya terhenti sesaat kala melewati area sekitar gudang.
Ia melongok sebentar dari pntu gudang yang terbuka.
Dari situ Zetta melihat Ajeng yang tampaknya saking tengah serius mendampingi Susi dan Inez yang melakukan pemotongan pola, tidak menyadari kehadirannya di dekat kusen pintu.
“Tampaknya lancar saja. Syukurlah,” gumam Zetta pelan.
Pantang mengusik konsentrasi mereka bertiga maupun yang lainnya, Zettapunbergegas meneruskan langkah kakinya.
Setibanya Zetta di halaman belakang, suara mesin jahit bersahutan menyambutnya, bak sebuah paduan suara yang kompak dan penuh harmoni.
Bu Lestari yang terlihat mengenakan masker di hidungnya, berkeliling memeriksa pekerjaan para operator jahit yang kian bertambah dari hari ke hari. Langkah Bu Lestari terhenti, tepat di antara Dian dan Triani, dua operator jahit baru, yang direferensikan oleh Nayla. Dian ditugaskan meneruskan pekerjaan yang ditinggalkan oleh Masrinah, yang memutuskan berhenti kerja, tidak sekadar keluar dari rumah sebagaimana Woro. Sedangkan Triani, sengaja diperbantukan untuk menjahit persediaan barang retail.
Melihat Ibunya juga sedang sangat serius memberikan pengarahan kepada Dian, Zetta mendekati Triani. Zeta mengamati kecepatan dan ketelitian Triani secara saksama.
Anehnya, baru beberapa saat ia mencermati apa yang dilakukan Triani, Zetta mendadak merasakan adanya tiupan keras pada area tengkuknya.
Tiupan itu terasa teramat mendesak, seperti memaksanya, meminta perhatiannya dengan segera. Secara refleks Zetta menolehkan kepalanya. Tetapi ia tak menemukan siapapun yang berdiri di belakangnya. Namun, selagi Zetta berbalik ke posisinya yang semula dan menatap kembali hasil pekerjaan Triani, ia merasakan adanya terpaan angin di tengkuknya. Malah, kali ini kadarnya bertambah. Bukan sekadar seperti tiupan angin dari mulut sebagai yang pertama tadi, melainkan angin yang kencang, seperti kipas angin yang disetel pada angka maksimal.
Zetta mengernyitkan alis.
Dan terpaan angin itu kian kencang jua menyerang Zetta.
Lebih dari itu, setelahnya telinga Zetta seolah dibisiki sebuah suara yang lemah, berat dan sayup-sayup, “Toloooong!”
Suara seorang wanita!
Zetta mempertajam pendengarannya. Sepertinya jauh sekali jaraknya dari Zetta. Tetapi cukup untuk membuat Zetta merinding. Pasalnya, dia tidak melihat adanya perubahan ekspresi dari orang-orang yang berada di sekitarnya. Mereka terlihat tenang dan asyik dengan aktivitas masing-masing, sebagaimana sebelumnya. Karuan saja dia mengambil kesimpulan bahwa satu-satunya orang yang tengah dituju adalah dirinya. Ya, dirinya!
Maka dari itu Zetta berusaha keras untuk mengabaikan semua itu melalui bacaan doa yang ia ingat. Diucapkannya dalam hati secara berulang.
Sebentar kemudian, Zetta merasakan ada perubahan. Ya, terpaan angin kencang itu sepeti menghilang. Zetta langsung menarik napas lega, merasa ‘keadaan aman dan terkendali’.
Malangnya, dia terlampau cepat mengambil kesimpulan bahwa gangguan terhadapnya telah berlalu. Sekarang, antara sadar dan tidak sadar, nyata dan tidak nyata, Zetta seolah melihat ada kabut super tipis yang bergerak perlahan, seperti membelit tubuhnya.
Zetta menggoyangkan kepalanya, berpikir kalau dia melakukan hal ini, maka apa yang dilihatnya itu akan pupus. Celakanya, itu tidak berhasil. Angin yang tadi sempat ‘hilang’, kini terasa lagi menyerangnya. Dingin sekali, melebihi dinginnya hawa dari lemari pendingin apabila pintunya dibuka.
Maka tubuh Zetta mendadak merasa amat kedinginan, nyaris menggigil sebagaimana yang dialami oleh orang yang tengah mengalami demam. Satu sisi hati Zetta, merasakan bahwa sesuatu sedang terjadi, tetapi sisi hatinya yang lain mengatakan bahwa ia tak boleh terlarut, kalah dan mengikutinya begitu saja. Karenanya, ia melawan sekuat tenaga, rasa yang menyerang itu.
‘Masa sepagi dan seterang ini, sudah beraksi, mau menggoda? Kalau tengah malam, bisa aku maklumi Tapi ini..? Ah, barangkali, aku ini nggak sengaja berhalusinasi. Aku ini luar biasa capek belakangan ini. Capek otak dan badan. Jadi, mungkin saja aku mau terkena flu dan semacamnya,’ pikir Zetta, mencoba menentramkan hatinya sendiri.
Namun anehnya, rasa dingin itu semakin kuat saja menyerang Zetta. Gadis itu sampai merasa perlu menyiasati dengan cara bersedekap untuk menahannya.
- LL -