“Ze, kamu kok kemari nggak pakai masker begitu?” tegur bu Lestari begitu menyadari kehadiran sang putri sulung yang tidak mengenakan masker.
Padahal seingat bu Lestari, putri sulungnya ini paling cerewet jika mengingatkan agar semua orang yang ada di area produksi khususnya di area menjahit, harus mengenakan masker, bahkan ketika mereka masih memiliki workshop besar, dulu. Pasalnya, debu benang itu amat halus, dan bisa saja terhisap masuk ke hidung karena angin. Dalam jangka panjang, tentu tak baik untuk kesehatan pernapasan.
“Cuma sebentar, kok, Bu. Ini Zetta sekadar mau mengecek pekerjaan anak-anak. Mumpung lagi sempat Bu. Soalnya hari ini kan, jadwal Zetta cuma ketemu pak Jonas saja. Jadi termasuk agak senggang. Satu setengah jam lagi, Zetta siap-siap lalu berangkat Bu. Tempat pertemuannya juga nggak telalu jauh dari sini, ” jawab Zetta.
“Kamu langsung mengajukan sama sampel, ya Ze? Apa nggak sebaiknya, menawarkan design-nya dulu saja?” tanya Bu Lestari.
Zetta paham arti pandangan sang Ibu kepadanya. Dia tahu betapa Ibunya ingin berhemat sampai ke pengeluaran sekecil itu. Terbit rasa kasihan sekaligus miris di hati Zetta, yang membuatnya kian bertekad, hendak bekerja lebih keras lagi, supaya segera bangkit dari keterpurukan finansial yang mereka derita.
Andai saja bisa, ingin benar Zetta berkata, “Tenang Bu, itu bukanlah sekadar sampel. Ada kalanya, kita perlu menyisihkan pos biaya promosi. Sudah Zetta perhitungkan secara teliti kok, Bu. Kalau ordernya kita dapat sekarang, setidaknya Zetta bisa push uang mukanya supaya cepat turun. Kan bisa kita putar, Bu. Zetta berharap, bisa mempercepat pemulihan keuangan kita. Tapi kalaupun belum deal sekarang, Zetta yakin, sampel itu akan membuat Pak Jonas terkesan. Mengesankan keseriusan dan kepercayaan diri kita, di dalamnya. Beliau pasti akan menyetujuinya. Cuma masalah waktu, Bu. Kita yakini dan kita bawa dalam doa saja, Bu.”
Sayangnya, itu tak mungkin dilakukannya. Selain ia enggan menyeret sang ibu terlalu jauh ke permasalahan operasional, dia juga tengah berjuang menahan rasa sakit yang menghantam di kepalanya.
Sialnya, rasa sakit itu semakin bertambah skalanya, dari detik ke detik. Malahan sekarang, rasanya tempurung kepalanya seperti tengah dicengkeram oleh tangan raksasa saja. Cengkeraman yang begitu kuat dan seperti hendak menghancurkan batok kepalanya.
Zetta memejamkan mata sesaat. Dia beruntung, apa yang ia lakukan itu luput dari pengamatan bu Lestari.
“Sekalian, Bu. Untuk jaga-jaga sifatnya. Pak Jonas dan Fritz itu orang-orang yang super sibuk, dan maunya gerak cepat. Ibu ingat kan, bagaimana Fritz memberikan order pertamanya, di rumah ini? Ibu juga tahu bagaimana urutannya?” jawab Zetta.
Sang ibu menganggukkan kepala.
“Oh, begitu. Ya sudah kalau begitu. Ibu sungguh berharap, semua urusan berjalan lancar, sesuai harapanmu, harapannya kita semua,” kata Bu Lestari.
“Amin. Doa Ibu adalah doa yang paling mujarab, Bu. Dan Zetta sangat percaya tentang itu. Dari sisi Zetta, yang penting mencari dan memanfaatkan celah peluang sekecil apa pun, diiringi doa,” sahut Zetta.
Hati bu Lestari tersentuh mendengar ucapan Zetta. Rasa haru menyelinap di benaknya.
Tangan Bu Lestari terulur begitu saja, membelai rambut Zetta sekilas.
Zetta merasa ada kenyamanan tersendiri mendapatkan dukungan sebesar itu dari sang ibu.
Dia sudah bersiap beranjak meninggalkan sang ibu, ketika bu Lestari teringat sesuatu.
“Tapi Ze, sebentar, ibu mau bicara,” mendadak Bu Lestari mencolek pundak Zetta.
Mereka berduapun menjauhi area halaman yang cukup berisik itu, bergerak bersama menuju dapur.
Zetta mendapat firasat, sang ibu hendak menyampaikan sesuatu hal yang cukup penting. Hal ini mengusiknya, membuat dadanya berdebar keras.
“Ya, Bu? Ada apa?” sesampainya di dapur, Zetta segera bertanya untuk meredakan debaran dadanya yang dirasanya kian kencang saja. Zetta menyandarkan punggungnya ke dinding dapur. Sekarang, Zetta merasakan betapa badannya demikian lemas, seiring sakit kepala yang kian hebat saja menyerangnya. Nyaris dia mengaduh, andai saja akal sehatnya tidak segera mencegahnya.
Yang luput dari pemikirannya adalah, sesungguhnya sang ibu mencematinya.
“Ze, kamu nggak apa-apa? Badan kamu kok, dingin begini. Lihat, muka kamu pucat sekali,” cetus ibunya cemas. Bu Lestari memegang lengan Zetta, meraba kening putrinya itu dan mencemati paras Zetta.
Dengan kesadaran yang mulai hilang timbul, Zetta buru-buru menggeleng dan bertanya, “Zetta baik-baik saja, Bu. Jangan khawatir. Oh ya, Ibu mau bicara apa, tadi?”
“Itu lho Ze, apakah kamu serius mau memasukkan penawaran ke perusahaannya pak Jonas?” tanya bu Lestari.
“Iya dong Bu,” dalam keadaan biasa tentunya Zetta sudah menertawakan pertanyaan sang ibu yang dinilainya lucu dan tidak pada tempatnya ini. Tetapi ini beda, jangankan untuk tertawa, untuk merangkai kata saja dia sudah mulai kesulitan. Susah payah dia menyembunyikan ringisan kesakitannya.
“Ze, bukannya pesimis. Ibu hanya takut, kapasitas produksi kita jadi over load. Sekarang saja, untuk memenuhi target, anak-anak harus kerap bekerja lembur. Kita kan, baru bisa menambah empat mesin jahit, ditempatkan di pavilion bersama mesin jahit yang dipakai Azkia. Area yang kita miliki terbatas, anggaranpun belum ada lagi, kan? Mereka sih, senang-senang saja, soalnya, pendapatan mereka bertambah banyak. Tapi Ze, kita harus perhitungkan kesehatan mereka ini, juga kenyamanan warga sekitar sini,” cetus sang Ibu hati-hati.
Zetta manggut-manggut sembari menahan denyutan yang terasa kian keras di kepalanya.
Dia ingin sekali memijit pelipisnya untuk mengurangi rasa sakit yang demikian menyiksanya. Namun karena tak mungkin melakukannya di depan sang ibu, terpaksa dia hanya membayangkan saja tangannya tengah memijit area itu, dan mengafirmasi dalam diam, bahwa pijatan itu sukses menyingkirkan rasa peningnya, sepenuhnya.
‘Ya Allah, tolong kuatkan aku. Aku nggak boleh lemah di depan Ibuku. Kasihan beliau nanti cemas,’ batin Zetta penuh harap.
“Oh, soal itu ya Bu? Tenang saja, Zetta sudah menyiapkan plan B. Ada beberapa kenalan yang menjalankan usaha sejenis dengan kita. Dulu perusahaan-perusahaan itu sering dipakai oleh perusahaan tempat Zetta bekerja. Ibu tolong fokus untuk membantu Zetta di segi mengcek kualitas jahitnya saja,” sahut Zetta, seiring pandangannya yang pada ujung kalimatnya, dirasakannya mulai memburam.
Tidak sampai dua menit kemudian, pandangan memburam itu berganti dengan gelap serta pekat. Zetta sudah tidak tahan lagi. Dia tak sanggup melawan kondisi fisik yang terasa menurun secara drastis, apalagi berpura-pura seolah dirinya baik-baik saja, di depan ibunya tercinta. Tubuhnya seperti tidak punya daya.
Zetta terhuyung dan terjatuh.
Sekejap saja tubuhnya segera beradu dengan lantai dapur. Namun ajaibnya, dalam keadaan genting semacam itu, sejumput kesadaran masih menggerakkan kedua tangannya untuk melindungi agar kepalanya tidak terbentur lantai. Zetta menumpu kepalanya dengan kedua telapak tangannya yang tertaut satu sama lain.
Bu Lestari terperanjat.
“Zetta! Zetta! Kamu kenapa, Nak ?” sayup-sayup Zetta masih mendengar teriakan panik Ibunya, bersama gerakan sang Ibu mengguncang pundaknya berulang kali.
Tetapi jangankan menyahuti ibunya, untuk sedikit menggerakkan badannya saja Zetta tidak mampu.
“Ajeng! Azkia! Cepat kalian kemari! Tolong Zetta!” teriak Bu Lestari demikian lantang, tampaknya untuk mengimbangi bisingnya suara mesin jahit yang tak mungkin dapat ia perintahkan untuk berhenti seketika.
Zetta masih mendengar teriakan sang Ibu memanggil-manggil sejumlah nama yang lainnya, termasuk mereka yang tengah bekerja di halaman belakang maupun di dalam paviliun.
Namun yang dirasakan oleh Zetta adalah keadaan yang sungguh tidak berdaya. Sepasang mata yang seolah dilem oleh perekat super sehingga tak mampu dibukanya sedikit saja. Kelopak matanya seakan terasa seperti beban berat saja, sehingga amat sulit terbuka. Tetapi dia masih dapat menangkap suara-suara di sekitarnya, juga mampu merasakan apa saja yang terjadi dengan tubuhnya. Seperti halnya sesat kemudian, kala is mulai merasakan ada lembap di bawah hidungnya. Dan Zetta juga merasakan seolah ada cairan yang meleleh, terus bergerak turun ke arah kedua bibirnya.
“Ya Allah! Mbak Zetta! Sadar, Mbak! Susi, Inez, tinggal dulu itu! Ayo, bantu saya mengangkat Mbak Zetta ke ruang tengah! Cepat! Sekarang!” Zetta mendengar nyaringnya suara Ajeng seiring tepukan di pipinya. Dia yakin, Ajeng pasti berteriak. Tetapi entah kenapa, sukar nian bagi Zetta untuk membuka kelopak matanya. Seakan-akan, kedua matanya dibanduli benda yang demikian berat. Sementara suaranya juga bagai tersekat di tenggorokan.
“Kak Ze, Kakak kenapa? Kak Ze! Ya Allah, ini, ini hidung Kak Ze berdarah!” lantas jeritan panik Azkia yang tampaknya baru tiba di dapur, terdengar begitu jauh dari indera pendengaran Zetta. Seolah suara itu terbawa angin.
Setelah itu, Zetta hanya dapat merasakan, tubuhnya diangkat entah oleh berapa orang. Mereka membaringkan Zetta ke sebuah sofa. Memperkirakan jaraknya, Zetta yakin, dia dibawa ke ruang tengah yang luas.
“Begini, kita bawa ke dokter saja. Saya yang nyetir. Ibu, maaf. Ibu tolong jaga rumah, ya. Saya sama Mbak Azkia yang berangkat,” usul Ajeng.
Dari nada suaranya, terkesan Ajeng berusaha tetap tenang, meski jelas-jelas dia sendiripun panik.
“Sebentar, Mbak Ajeng, coba aku telepon ke Reino dulu. Siapa tahu, posisinya kebetulan di dekat sini dan bisa membantu kita,” kata Azkia. Terbias cemas campur takut di wajah Azkia.
Segera saja pikiran Azkia diintimidasi sejumlah bayangan yang menakutkan. Tekenang pada semua kisah seram dan suram tentang kediaman mereka, membuatnya tambah tertekan. Nyaris saja gadis itu terisak.
‘Oh My God, jangan biarkan sesuatu hal burukpun terjadi sama kami. Jangan sampai Kak Ze kenapa-kenapa! Ya Allah, tolonglah kakakku! Aku nggak sanggup membayangkan, sekiranya ada cobaan lain, yang Kau berikan kepada kami, setelah yang kemarin-kemarin itu. Berat sekali rasanya, Ya Allah. Tolong ya Allah,jangan ada apa-apa lagi,’ ratap Azkia dalam hati, seraya mengoleskan minyak angin di dekat lubang hidung kakaknya. Dengan amat perlahan dan ekstra hati-hati, Azkia juga membersihkan sisa darah yang mengalir dari hidung sang kakak.
Azkia menghubungi Reino. Satu kali. Dua kali. Tiga kali. Yang keempat baru bersambut. Azkia tak sanggup menahan lagi isaknya ketika mengungkapkan apa yang terjadi. Dia tidak peduli Reino tengah berada di mana dan sedang apa.
“Rein, Kak Zetta... Kak Zetta Rein! Kak Zetta mendadak pingsan. Hidungnya berdarah. Kamu bisa tolong kemari nggak Rein?” tanya Azkia di antara tangisnya. Tidak ada lagi kata ‘hallo’ atau apapun yang diucapnya sebagai basa-basi.
“Hah? Kak Zetta pingsan? Oke, sebentar aku usahakan segera meluncur ke sana,” teriak Reino mengimbangi suara berisik klakson kendaraan dan angin. Rupanya saat menerima panggilan telepon dari Azkia, dia tengah mengendarai sepeda motornya dan akhirnya memutuskan untuk melipir.
Sementara Ajeng, terlihat sekali berusaha menahan diri. Gadis satu itu sepertinya tersadar bahwa dia tak mungkin dapat sebebas Azkia. Ajeng pantang terlarut dalam kepanikan yang disadarinya hanya akan memperparah keadaan.
Segera, setelah menepuk pundak Azkia tanpa mengatakan sepatah katapun, sekadar memberikan dukungan moral, Ajeng mengambil inisiatif. Ia mengambil kunci mobil Zetta, menuju halaman depan, dan segera memanaskan mesin mobil Zetta.
Pada saat itu lah, bel rumah berbunyi.
“Itu mas Reino? Sudah datang dia? Cepat sekali,” gumam Ajeng yang menyangka bahwa Reino telah tiba. Dia melangkah cepat menuju ke arah pagar.
Segera Ajeng membuka pagar tinggi itu.
Begitu pintu pagar terbuka, Ajeng terkejut luar biasa mendapati Fritz berdiri tepat di depannya, tepat di sisi mobil Fritz, yang terparkir di luar pagar. Pandangan bertanya-nya tertuju kepada Fritz.
‘Pak Fritz? Seingatku Mbak Zetta nggak bilang kalau akan ketemu di rumah sama Pak Fritz hari ini. Aku juga yakin, tadi itu Mbak Azkia belum memberitahukan mengenai pingsannya Mbak Zetta pada pak Fritz. Tapi kok..?’ tanya Ajeng dalam hati.
“Pagi, Ajeng. Zetta masih di rumah, kan? Tadi Zetta kasih kabar ke saya, bahwa design untuk Ayah sudah selesai. Sekitar satu jam mendatang, kami ada janji ketemu di kantor Ayah saya. Tapi saya pikir, nggak ada salahnya kami berangkat bersama saja, dari sini. Kan, di perjalanan bisa sambil berdiskusi,” jelas Fritz tanpa diminta oleh Ajeng.
Bibir Ajeng segera membentuk huruf ‘o’ pertanda dirinya paham atas penjelasan dari Fritz.
Lalu katanya..
“Pagi, Pak Fritz. Mbak Zetta ada… tapi itu.. Pak.. eng.. Mbak Zetta-nya pingsan. Ini.. saya lagi mempersiapkan mobil. Saya.. mau bawa Mbak Zetta ke dokter… sambil menunggu Mas Reino, kalau-kalau Mas Reino bisa membantu,” sahut Ajeng terbata-bata.
Fritz langsung terperangah mendengar penuturan Ajeng.
“Hah? Apa, Jeng? Zetta pingsan? Kenapa? Kok bisa pingsan sih? Terus kenapa nggak ada yang ngabarin ke saya sih?” sahut Fritz dengan kekhawatiran yang tak tersembunyikan. Suaranya terdengar meninggi di ujung kalimat. Tak ubahnya orang yang sedang marah-marah.
Ajeng sampai bingung harus menjawab apa. Dia merasa dirinya sedang ditegur keras karena lalai mengabarkan tentang pingsannya Zetta kepada Fritz. Tidak ada niat baginya untuk membela diri.
‘ Nggak kepikir dong, Pak Fritz. Lagi panik begitu. tapi saya juga bingung, ngabarinnya dalam kapasitas apa. Iya saya ngerti, Pak Fritz sama Mbak Zetta ada janji temu hari ini. Ya, ya, saya ngaku bahwa saya salah,’ pikir Ajeng.
“Jeng, Zetta-nya di mana sekarang? Pak Husni, mesinnya jangan dimatikan. Bapak tolong jaga di pagar ya. Kalau sekiranya ada tamu datang, tolong kasih tahu kami dulu. Telepon saya saja. Jangan langsung kasih ijin masuk,” untung saja dalam keadaan kesal dan marah itu, Fritz masih dapat memberikan instruksi terperinci kepada supirnya.
“Baik, Pak,” kata Pak Husni patuh. Dia bahkan membantu merapatkan pagar tersebut dan tetap berjaga di luar.
“Mari, Pak Fritz, tolongin Mbak Zetta di ruang tengah,” saking tergesa, tak sadar Ajeng menarik tangan Fritz dan sedikit menyentak tangan lelaki itu. Ajeng bermaksud hendak segera membawa Fritz ke dalam rumah supaya laki-laki itu dapat melihat secara langsung keadaan Zetta. Tetapi laki-laki itu malah tidak bergeming, justru menatap ke arah mobil Zetta yang terparkir di halaman rumah.
“Itu, kamu matikan saja mesin mobilnya dulu. Biar saya yang bawa Zetta ke dokter. Kamu atau Azkia bisa menemani,” dengan gerakan minim dan sehalus mungkin, Fritz berusaha melepaskan cekalan tangan Ajeng dan menunjuk mobil Zetta.
“Oh, maaf, Pak Fritz. Maafkan saya, saya tidak bermaksud kurang ajar,” terang Ajeng yang agak kaget dengan gerakan Fritz melepaskan cekalan tangannya. Dia memang tidak sengaja melakukannya tadi.
Ucapan Ajeng disambut senyum maklum yang terukir di bibir Fritz. Sepertinya Fritz tidak ingin mempermasalahkan gerakan spontan Ajeng barusan.
Secepat kilat Ajeng melepaskan pegangan tangannya pada Fritz. Tidak ada waktu baginya untuk berlama-lama membiarkan rasa canggung serta malu menjajahnya saat ini. Pikirannya hanya tertuju kepada keadaan Zetta di dalam sana.
Oleh karena itu dengan tergesa, Ajeng mematikan mesin mobil Zetta dan menguncinya. Setelah itu, setengah berlari, Ajeng menghampiri Zetta yang terbaring di sofa ruang tengah, diikuti oleh Fritz di belakangnya.
Di ruang tengah, terlihat Bu Lestari tengah memijit-mijit telapak kaki Zetta dalam diam, seiring untaian doa di dalam hatinya agar putri sulungnya itu segera siuman. Entah bagaimana dia menguasai perasaan paniknya. Yang jelas, wanita paruh baya itu kini terlihat berusaha tenang dan tegar.
Sedangkan Azkia sang adik, tak henti mengguncang-guncang lengan Zetta. Sesekali, tangannya juga menepuk-nepuk pipi Zetta perlahan.
Azkia masih meratap.
“Kak Ze, bangun Kak! Sadar, Kak! Kak Ze jangan bikin panik,” bisik Azkia di telinga sang kakak.
Sayangnya, tidak ada reaksi sedikitpun dari Zetta.
“Ini Reino juga! Ke mana saja sih dari tadi nggak sampai-sampai juga kemari? Kok lama sekali. Dia nggak tahu apa, aku sudah ketakutan setengah mati begini,” keluh gadis belia itu lirih.
- Lucy Liestiyo -