“Selamat pagi Bu Lestari, Azkia. Maaf, saya ijin mau bawa Zetta ke rumah sakit. Ajeng bilang Zetta pingsan. Boleh? Soalnya, kalau saya telepon dokter keluarga kami dan memintanya untuk datang, tetap akan makan waktu juga, kan, untuk menuju ke sini? Ini, kalau boleh tahu, pingsannya kira-kira sudah berapa lama, Bu?” tidak membuang waktu sedikitpun, Fritz segera bertanya.
‘Nggak ada waktu buat basa-basi sekarang ini,’ pikir Fritz praktis.
Wanita paruh baya itu mendongakkan kepalanya mendengar suara Fritz. Ia mendapati Fritz telah berada di ruang yang sama dengannya.
“Oh, Nak Fritz. Kebetulan sekali! Sykurlah ada Nak Fritz di sini!” seru Bu Lestari, tanpa ragu menunjukkan rasa leganya.
Azkia yang sebelumnya tengah menunduk juga segera menoleh ke asal suara.
“Kak Fritz! Oh, syukurlah Kak Fritz datang!” seru Azkia pula sambil mengusap air matanya yang masih bergulir di pipinya.
Fritz menatap Azkia dengan sorot mata menyiratkan rasa iba dan prihatin.
“Maaf, saya tinggal sebentar Pak Fritz, Ibu, Mbak Azkia,” kata Ajeng.
Tidak menunggu sahutan dari ketiga orang tersebut, dengan gesit langsung Ajeng menyelinap masuk ke dalam kamar Zetta. Secepat kilat ia mengambil baju ganti Zetta dan memasukkannya ke dalam tasnya. Sekadar tindakan antisipasi, seandainya nanti Zetta disarankan oleh dokter untuk menjalani rawat inap kan dia tidak perlu menghabiskan waktu untuk harus kembali lagi ke rumah dan meninggalkan Zetta sendirian di rumah sakit.
Kemudian Ajeng memeriksa pula meja kerja Zetta, mencari-cari sesuatu. Beruntung, dia segera menemukan apa yang dicarinya. Tangannya segera meraih sebuah map bertuliskan ‘sketsa seragam Bapak Jonas Ferdinand Erlangga ’ di meja kerja Zetta beserta tiga buah sampel yang diletakkan saling berdekatan. Semuanya itu dilakukan Ajeng dalam tempo tak lebih dari empat menit saja. Lantas, bagai dikejar waktu, ia terburu-buru kembali ke ruang tengah.
Di sana, Ajeng melihat Fritz sudah berjongkok di sebelah sofa tempat Zetta dibaringkan tadi.
“Iya, Nak Fritz tolong segera bawa Zetta ke rumah sakit. Ibu takut, ini sudah agak lama, kok belum siuman juga. Rasanya, lebih dari setengah jam. Sudah dipijit-pijit kakinya, sudah dikasih minyak angin dekat lubang hidungnya, belum juga ada reaksi berarti,” terdengar suara ibu Lestari.
“Iya Bu,” sahut Fritz.
“Ibu ikut sekalian,” sambung Bu Lestari kemudian.
Fritz tidak langsung menyahut.
“Begitu ya, Bu? Maaf, Ibu keberatan tidak, kalau Ibu menunggu di rumah saja? Saya berharap semoga Zetta cepat siuman. Tenang Bu, nanti saya akan kabari terus, mengenai perkembangannya,” kata Fritz seraya mendekati Zetta.
Bu Lestari terdiam mendengar usulan dari Fritz, seperti tengah menimbang.
Melihatnya, Ajeng ingin mengambil inisiatif. Gadis itu tampaknya tak mau mengulur waktu dan mengambil resiko kondisi Zetta akan kian parah.
Dan gayung bersambut. Pemikiran yang belum sempat diutarakannya justru disuarakan demikian cepat oleh Azkia.
“Ya sudah kalau begitu. Supaya Kak Zetta lekas ditangani, apa tidak sebaiknya kita berbagi tugas ya, Mbak Ajeng? Azkia nggak usah kuliah hari ini, tapi menemani ibu di rumah sambil tetap mengurus pengemasan dan pengiriman barang, sampai Reino datang ke rumah dan membantu nanti. Sementara Mbak Ajeng, boleh tolong temani kak Zetta, kan?” tanya Azkia dalam bimbang.
Di satu sisi, dia percaya, Fritz pasti akan menjaga Zetta dengan baik. Di sisi lainnya, dia juga bingung, bagaimana caranya menangani urusan di rumah agar tetap berjalan sebagaimana mestinya dan tidak terbengkalai, sekaligus bertindak untuk meredakan kepanikan, mencegah bisik-bisik Woro pada Triani dan Dian yang masih baru, hingga menghalau sendiri pikiran-pikiran buruk yang mencekam perasaannya.
Tak sadar, setetes air mata Azkia kembali bergulir di pipi.
‘Aku nggak mau kalau Woro mendramatisir kejadian ini dan membuat takut para operator jahit yang lainnya. Aku benar-benar nggak mau sampai ada masalah susulan. Kalau saja bias dan berhal, mau rasanya aku memberhentikan Woro hari ini juga. Dengan begitu kan aku bisa membungkam mulutnya. Tapi di atas semuanya itu, satu hal yang terpenting saat ini. Aku nggak mau kakakku tercinta kenapa-napa. Ya Allah, hindarkan kami dari masalah,’ harap Azkia dalam diamnya.
Memergoki kemurungan bercampur kegelisahan yang hebat di paras Azkia, Fritz tak dapat berdiam diri lagi.
'Zetta itu seperti pusat energi di keluarga ini. Kalau sesutu hal yang buruk menimpa Zetta, sudah pasti semuanya terpengaruh,' pikir Fritz.
“Kamu jangan panik begitu, Azkia! Bisa jadi, Kak Zetta-mu ini hanya kelelahan. Kamu temani ibu di rumah, ya,” sebuah sentuhan lembut yang terasa di pundak Azkia seiring bisikan Fritz, sukses menentramkan perasaannya.
Azkia menengadah, menatap wajah Fritz penuh rasa terima kasih. Hati gadis itu seketika menghangat. Rasanya seperti kembali memiliki sosok yang dapat diandalkan untuk melindungi keluarga mereka. Sesuatu yang dulu ia rasakan saat sang Ayah masih ada di tengah-tengah mereka, dan terenggut dengan kepergian sang Ayah yang demikian mendadak.
“Saya berangkat sekarang, ya, Bu Lestari. Jangan terlalu khawatir,” hibur Fritz.
Lalu tanpa ragu, Fritz membopong tubuh Zetta dengan kedua lengan kokohnya. Gerakannya amat mantap, seolah tubuh padat berisi yang dimiliki oleh Zetta, tak seberapa bobotnya bagi seorang Fritz.
Azkia terpana melihat pemandangan di depannya. Apalagi, melihat sang Ibu tampak begitu legowo, memercayakan Zetta pada Fritz. Mata Azkia berbinar, tak tercegah. Sebuah harapan timbul begitu saja di benaknya.
Betapa ingin dia berkata, “Kak Ze, lihat itu! Kak Fritz sungguh perhatian sama Kakak. Itu jelas bukan semata hubungan kerja. Janganlah Kakak menyangkal lagi kenyataan ini. Kakak juga jangan mengingkari perasaan Kakak. Kak Zetta itu super cerdas, mana mungkin tidak paham kalau Kak Fritz mempunyai intensi khusus kepada Kak Zetta?”
Azkia merasa salut menyaksikan sikap Fritz yang terlihat setenang itu. Azkia tahu, Fritz tentunya juga khawatir, tetapi pantang menunjukkannya di depan keluarga dari gadis yang diincarnya.
‘Oh Kak Ze kalau aku boleh berharap, aku kepengen kak Fritz bisa membawa kita keluar dari rumah ini. Secepatnya, Kak. Terserah bagaimana caranya. Aku nggak mau keadaan telanjur memburuk. Aku nggak mau Kak Ze sampai ‘diambil’ seperti penghuni terdahulu. Kak! Aku ingat sekarang, kepala keluarganya selalu ‘diambil’. Bukankah selama ini Kak Ze sudah menjalankan peran sebagai kepala keluarga bagi kami? Jangan kak! Jangan biarkan semua ini berlarut-larut. Kita harus segera pergi dari sini, bagaimanapun caranya! Selagi sempat, Kak!’ Jerit Azkia dalam bisu.
“Ibu, Mbak Azkia, saya tinggal dulu ya. Saya temani Mbak Zetta. Saya akan kabari terus perkembangannya,” tambah Ajeng.
Bu Lestari dan Azkia mengangguk bersamaan menanggapi Ajeng.
“Hati-hati di jalan, Jeng. Titip Zetta ya,” pesan Bu Lestari pelan.
“Iya, Bu,” sahut Ajeng santun.
“Ayo Azkia antar ke depan, biar sekalian Azkia yang kunci pagarnya,” timpal Azkia cepat.
Sebenarnya, Azkia juga ingin sekaligus mengecek, apakah Reino sudah tiba.
*
“Bu, kami masih di rumah sakit. Pak Fritz bilang, nggak mau mengambil resiko. Makanya tadi Pak Fritz melalui dokter yang menangani Mbak Zetta, menyarankan supaya Mbak Zetta serangkaian pemeriksaan untuk menentukan apakah Mbak Zetta harus dirawat inap ataukah boleh melakukan rawat jalan. Mulanya Mbak Zetta keberatan, tetapi akhirnya mau juga. Dan demi alasan kepraktisan, kami sengaja memutuskan menunggu hasil pemeriksaan di rumah sakit,” terang Ajeng melalui telepon.
“Tapi Zetta sungguhan sudah siuman, kan, Ajeng? Bagaimana keadaannya? Dia baik-baik saja?” tanya bu Lestari.
“Sudah, Bu. Tapi Mbak Zetta sedang di dalam. Nanti saya coba melakukan panggilan video lagi ke Ibu lagi kalau memungkinkan,” kata Ajeng.
“Nggak apa Ajeng, yang paling penting, Zetta nggak kenapa-napa. Kamu tolong temani terus ya,” ucap bu Lestari.
“Pasti, Bu. Sementara itu dulu yang bisa saya kabarkan. Ibu jangan cemas, ya. Nanti saya telepon lagi,” pungkas Ajeng.
Usai menutup hubungan telepon, Ajeng kembali masuk ke ruangan gawat darurat.
“Eeeh..., Mbak Zetta, apa-apaan itu?” setengah berlari Ajeng menghampiri Zetta yang dilihatnya sedang bersusah payah berusaha mengangkat tubuh bagian atasnya dan duduk di ranjang pasien.
Usaha Zetta jauh dari kesan mulus. Pasalnya ia merasakan pandangan matanya masih berkunang-kunang sehingga terpaksa menurut saat Ajeng membantu dirinya untuk berbaring kembali.
Seraya merasakan kepalanya yang masih demikian berat, Zetta teringat percakapannya tadi...
- Kilas balik –
Saat Zetta membuka matanya, yang pertama dilihatnya adalah keberadaan Ajeng dan Fritz di dekatnya. Tentu saja pemandangan itu membuatnya bingung. Terlebih setelah dia melayangkan pandangan matanya ke sekelilingnya. Aroma obat-obatan yang khas juga menerpa indra penciumannya. LL