“Sini, Kia,” Zetta menyuruh sang adik lebih mendekat.
Azkia semakin bersemangat. Ia pikir, kakaknya ini akan menyampaikan sesuatu hal yang super rahasia kepadanya.
“Ya, Kak Ze. Apa?” tanya Azkia super pelan.
Zetta menatap lekat-lekat paras sang adik. Tangan Zetta menepuk pipi adiknya dengan lembut.
Kata Zetta kemudian, ”Kia, kamu jangan terlalu polos ya. Minimal, jangan sekalipun memperlihatkan bahwa kamu itu mudah untuk dipengaruhi.”
“Maksud Kak Ze bagaimana?” tanya Azkia dengan tatapan antara protes dan sungguh-sungguh bertanya, meminta kejelasan serta penegasan dari kakaknya.
Pertanyaan Azkia membuat Zetta sungguh jemu. Sang designer yang dulunya sekadar berkarir di perusahaan tempatnya berkarya serta sesekali membantu usaha sang ayah lewat rancangan yang dibuatnya tetapi kemudian terpaksa harus banting setir melanjutkan mengelola perusahaan peninggalan sang ayah itu seketika diam. Dia sungguh tidak berminat memerinci jawabannya.
‘Hh, anak ini. Baru juga dikasih tahu, reaksinya sudah seperti itu. Duh, Azkia, Azkia! Kamu ini, umurmu saja yang sudah masuk kepala dua, tetapi cara berpikirmu itu, seringkali masih mirip abege. Terlalu naif, juga impulsif,’ keluh Zetta dalam diam.
“Kak..,” rajuk Azkia.
Ia menghujamkan tatapan matanya ke kedua bola mata Zetta. Dikedikkannya dagunya dua kali, sebagai ganti menuntut penjelasan yang tertunda.
Mata Zetta memejam dua detik lamanya. Semakin lama meladeni ucapan sang adik, membuat pikiran Zetta makin lelah saja. Batin gadis itu juga terasa letih. Raganya apalagi. Lengkap sudah beban yang ditanggungnya ini.
‘Pembicaraan ini nggak membantu sama sekali. Yang ada malah menuh-menuhin otakku saja,’ keluh Zetta dalam diamnya.
“Azkia sayang, sudah, begini saja. Kakak tahu betapa takutnya kamu. Kakak peduli soal itu. Tapi tolong ya Kia, jangan perlihatkan ketakutanmu itu kepada orang lain, termasuk Ibu. Kamu cukup sampaikan apa yang kamu rasa, kamu lihat atau kamu pikirkan, kepada Kakak. Nanti kita usahakan mencari jalan keluar, sekiranya ada. Tolong Kia, jangan pernah bicara apapun kepada orang luar. Kia, mereka itu bisa memanfaatkan rasa takut kita. Siapa tahu, memang itu maunya mereka,” urai Zetta, dengan sedikit jengkel.
Jleb! Ekspresi wajah Azkia langsung berubah mendengar apa yang diuraikan oleh sang kakak. Wajah itu jelas menegang.
Merasa tersinggung, Azkia menantang tatapan sang kakak dengan berani.
“Maksud Kak Ze, Reino? Iya kan, Kak Ze mau menunjuk Reino sebagai orang luar? Terus terang saja Kak, nggak usah pakai kiasan segala. Sebut langsung namanya,” protes Azkia.
Zetta tercengang mendapati reaksi sang adik yang dirasanya sungguh berlebihan itu.
“Hei, Azkia, kamu kenapa jadi sensitif begini?” tanya Zetta.
“Sensitif, Kak Ze bilang? Ini bukan perkara sensitif. Azkia tahu kok maksud Kak Ze. Kak, kenapa sih, dari awal Azkia menangkap, Kak Ze nggak wellcome ke Reino. Kak Ze kenapa sentimen sama dia? Salah dia apa? Terus sekarang Kak Ze minta Azkia untuk berhati-hati sama dia? Padahal, Reino itu baik, Kak. Nggak seperti yang Kak Ze pikirkan,” di luar dugaan Zetta, mendadak Azkia menyambar perkataan kakaknya.
Kali ini Zetta nyaris terkesima mendengar luapan perasaan Azkia. Terkesan super sensitive, ciri khas orang yang tengah dimabuk cinta. Zetta tahu, bakal sia-sia menasehati orang yang sedang dalam keadaan demikian. Maka dia berharap, semoga Azkia hanya sekadar kagum sesaat pada Reino, sebab sejujurnyalah, hatinya menolak keras, apabila harus melihat sendiri kenyataan keduanya kian dekat. Adapun mengenai alasannya, Zetta sendiri belum dapat memahaminya. Dia hanya mendapatkan semacam firasat, bahwa hubungan mereka bakal rumit kalau diseriusi.
“Terserah kamu saja, Kia. Terserah anggapanmu ke Kakak,” kata Zetta dengan perasaan lelah. Ya, rasanya dia bukan sekadar lelah, dia sudah di puncak lelah, pada detik ini.
Kalau mau mengikuti kata hatinya, ingin benar dia meluapkan kemarahan kepada adiknya ini. Namun untung saja akal sehat Zetta masih bekerja dengan baik. Akal sehat Zetta mampu menahan dirinya untuk meredakan emosi yang mendesak, meminta untuk segera dilampiaskan.
‘Aku sudah terbiasa dan terkondisi harus begini, kan? Apapun jenis emosinya, nggak bisa secara ekspresif aku umbar di depan orang? Kalau sekali ini aku lakukan lagi, nggak ada bedanya kan?’ tanya Zetta dalam diam, kepada dirinya sendiri.
Zetta melihat bibir sang adik masih saja mengerucut. Muncul secuil keinginan di hati Zetta. Ingin ia membujuk sang adik untuk sedikit bertenggang rasa terhadap dirinya. Namun segera ditepisnya keinginannya itu. Dia tahu akan percuma saja.
“Azkia, satu yang Kakak minta. Yang penting ingat, jangan mengundang bahaya. Apalagi dengan sengaja. Sorry to say, Kakak nggak bisa menaruh kepercayaan pada siapapun, di luar rumah ini,” kata Zetta seraya mengedikkan bahu, merasa telah menghabiskan banyak waktu yang berharga serta mood baik yang dimilikinya, melalui bahasan yang tidak produktif dan kurang penting pula, bersama Azkia, di waktu yang sepagi ini. Padahal waktu serta suasana hati yang baik adalah modal besarnya untuk menghasilkan kreasi demi kreasi, serta memikirkan sejumlah rencana demi mencapai perbaikan situasi keuangan mereka.
“Termasuk kak Fritz, maksudnya?” tanya Azkia dengan berani.
Pandangan menyelidik dari mata Azkia membuat Zetta terheran seketika.
Di lain pihak Azkia menangkap pandangan bertanya dari Zetta, tetapi enggan menanggapinya.
Zettapun menelengkan kepalanya sedikit, mengirimkan isyarat meminta penjelasan kepada sang adik, melalui tatapan matanya. Dia terlalu enggan untuk menyatakannya secara verbal. Dia takut nada suaranya bakal tidak terkontrol dan meninggi dan berakibat pertengkaran besar yang akan merusak hari ini dan mungkin hari-hari selanjutnya.
“Ya. Kak Fritz. Dia orang luar juga, bukan? Lalu, apa bedanya Kak Fritz dengan Reino? Dan oh! Beda dong Kak! Jelas beda! Reino itu anak ketua rukun tetangga, yang Azkia yakin akan menjaga warganya. Sedangkan Kak Fritz? Apa?” tanya Azkia dengan nada menuntut penjelasan.
Zetta langsung mengernyitkan keningnya.
Bagi Zetta, pemikiran sang adik ini sungguh ajaib. Apalagi, ternyata sang adik masih demikian semangat untuk melanjutkan protesnya.
“Kak Zetta nggak ingat? Dengan begitu mudahnya, Kak Zetta membawa Kak Fritz ke rumah ini. Sudah begitu, malam hari, pula. Kan Kak Zetta selalu bilang, supaya kita semua berhati-hati, menjaga diri dari omongan dan pandangan buruk warga sekitar, sekaligus menjaga keselamatan kita sendiri?” tanya Azkia.
Zetta menggeleng. Dia sudah sangat jengkel sekarang.
Tetapi, Azkia toh tidak mau menyerah begitu saja.
“Azkia belum selesai Kak. Ya, bagaimana dengan kak Fritz itu? Bukannya saat itu, Kak Zetta nggak mengenal Kak Frtiz sebaik Ayah dan Ibu, bahkan Azkia? Kak Zetta bukannya baru satu kali ketemu sama kak Fritz, sebelumnya? Bagaimana, kalau ternyata dia punya niat jahat kepada Kak Zetta, atau malahan kepada kita semua di sini? Kak Zetta malah terus mengingatkan, karena kita di rumah ini cewek semua, harus pandai menjaga diri. Terus yang kak Zetta lakukan, apa? Kak Zetta ini benar-benar nggak konsisten sama ucapan sendiri. Kak Zetta ini memakai standar ganda. Kak Zeta memberlakukan ke Azkia sama yang lainnya, tapi nggak memberlakukannya ke diri sendiri. Kak Zetta mengabaikan bahaya dan resiko buruk, sewaktu mengundang Kak Fritz kemari. Dia bahkan boleh memasuki rumah dari halaman depan sampai halaman belakang,” protes Azkia. Lancar, terperinci dan berapi-api.
Zetta terbengong sesaat mendengarnya.
Ia menangkap kecemburuan yang meluap dalam kalimat Azkia. Rangkaian kalimat panjang yang menyuarakan, dan seolah menuding bahwa dirinya egois sudah berlaku tidak adil kepada sang adik.
Alangkah ingin Zetta menertawakan pemikiran aneh tersebut. Dan di saat bersamaan, mau rasanya ia menegur Azkia, yang menurutnya telah kelewat batas karena mencampur adukkan persoalan perasaan dengan fakta, bahwa mereka sangat membutuhkan pos pemasukan uang. Itu toh, alasannya mengijinkan Fritz datang? Supaya mendapatkan job order dari perusahaan Cowok itu?
Tetapi, mengingat perbedaan usia mereka serta memperkirakan suasana hati sang adik saat ini, Zetta memutuskan untuk tidak meladeni lebih jauh lagi.
Ia sengaja mengambil waktu untuk berdiam diri sejenak, berusaha menata kata, sekaligus memberi sedikit waktu demi membujuk hatinya sendiri untuk ekstra sabar menghadapi sikap adiknya yang super duper mengesalkan ini.
*LL*