“Ya, kita perbanyak saja doanya, Kia, supaya keadaan kita bisa secepatnya menjadi sebaik dulu. Toh, sejauh ini kita tetap berusaha, kan, setiap harinya, bukan sekadar menabur harapan kosong?” cetus Zetta.
Azkia menggigit-gigit bibirnya. Nasihat sang Kakak tidak serta merta dapat diterimanya. Hati gadis itu terasa berat. Bukan itu, bukan nasihat yang dia perlukan sekarang. Dia butuh kakaknya mengerti akan rasa takutnya. Dia butuh kakaknya memberikan solusi, tindak nyata, bukan sekadar kata-kata!
“Azkia mengerti Kak Ze. Tapi Azkia nggak kepengen kalau kita sempat mengalami hal buruk.., seperti..,” Azkia menggantung ucapannya.
Zetta menggeleng pelan.
“Kia, ingat, kita masuk kemari dalam keadaan cukup menyedihkan. Berbeda dengan mereka semua," sela Zetta.
"Tapi Kak Ze..," potong Azkia.
Zetta menggeleng lagi, menandakan ucapannya belum usai.
Azkia terbungkam jadinya.
"Dengar Kia, saat masuk ke rumah ini, kita nggak punya kepala keluarga lagi. Aku, kamu, sama Ajeng, belum ada satu pun yang berumahtangga. Kita serta Ajeng juga tidak sedang menjalin kemitraan sekarang ini. Ajeng itu sudah bagaikan saudara kandung sendiri buat kita berdua. Kita sudah dipusingkan oleh begitu banyak kendala keuangan. Apalagi yang lebih penting dari itu, untuk dipikirkan sekarang ini? Nanti lah, Kia, kalau ada sedikit dana yang bisa disisihkan, Kakak akan atur, untuk mengadakan selamatan dan doa bersama lagi. Kita undang warga lebih banyak. Siapa tahu, lebih banyak yang mendoakan, lebih tentram kita berada di sini,” urai Zetta akhirnya.
“Kak Ze..,” rajuk Azkia sembari menundukkan kepalanya. Keresahan mewarnai paras gadis belia itu.
“We have no choice, Azkia! Kita baru dua bulan lebih tinggal di sini. Di samping itu kita juga sedang menunggu order kedua dari Fritz, sambil menambah stock untuk jualan online-mu. Nggak mungkin kita sia-siakan sisa masa sewa yang telah kita bayar, dengan keluar dari sini. Lagian, nggak semudah itu cari tempat baru yang cocok dan memadai. Apalagi, dalam keterbatasan dana seperti sekarang,” kata Zetta lugas.
Kalimat panjang Zetta bak sebuah tamparan keras saja bagi Azkia.
“Maafkan Azkia, Kak..,” kata Azkia akhirnya.
Zetta tersentuh mendengar nada sesal yang mencuat dalam sduara sang adik.
Maka ia menghela Azkia ke dalam pelukannya.
“Sini! Nggak apa, Kia. Kakak bisa mengerti, kok,” diusapnya punggung adiknya sepenuh hati dan berkata-kata dengan lembut demi menguatkan hati adiknya itu.
“Kak.., Reino bilang, memang seperti itulah yang terjadi pada penyewa sebelumnya. Mereka semua pergi dari rumah ini sebelum masa sewa selesai. Azkia masih berharap, hal demikian enggak menimpa kita,” gumam Azkia lirih.
“Apa?” Zetta tersentak dan mendadak merenggangkan pelukannya kepada Azkia. Gerakan yang juga mengejutkan sang adik.
Kini kian kental saja kecurigaan Zetta.
Firasat Zetta menangkap, ada sesuatu yang tidak beres. Dan dia menduga, jelas Reino itu termasuk seseorang yang patut dicurigai olehnya.
‘Fix! Ini jelas modus! Jadi begini car mereka. Seolah-olah memberi nilai sewa yang tampak murah agar menarik minat calon penyewa rumah. Setelah sang penyewa rumah masuk, lalu berusaha ‘mengusir’ memakai cara yang seperti itu. Licik! Aku yakin, Reino ini pasti terlibat, barangkali dia mendapatkan bagian atas tugasnya berkisah banyak hal seram ke penghuni rumah, supaya pikiran mereka terintimidasi, pikir Zetta dengan hati dongkol.
Tetapi ada sebuah suara dalam hati Zetta, yang seolah menanyainya, “Hei! Lalu bagaimana tentang supir taksi online yang mengaku pernah tinggal di sini? Apa dia bagian dari komplotan orang culas ini? Masa iya? Sedangkan menurut kisah warga, keluarganya juga pernah menyewa di sini? Jelas-jelas keluarganya juga mengalami kejatuhan ekonomi yang parah! Ataukah pertemuannya dengan Azkia hanyalah kebetulan semata?”
Zetta tak dapat menjawab pertanyaan yang timbul di dalam hatinya itu.
Justru, sekarang higgap pertanyaan lain di kepalanya.
Dan Zetta menengarai, suara-suara yang mereka dengar, bisa jadi merupakan pengaruh kekuatan gaib yang dipakai oleh sang pemilik rumah untuk menakut-nakuti mereka atau memasang suatu alat yang bisa dikendalikan dengan remote atau apapun yang saat ini di luar dari jangkauan pikirannya, sebelum mereka masuk. Begitu pula dengan mimpi-mimpi buruk yang dialami pegawainya.
Kemudian Zetta mengingat-ingat.
‘Ya, bukankah waktu pertama kali Reino kemari, pandangan matanya itu seperti menyelidik? Mungkin saja dia mau memastikan, semua alat yang disembunyikannya itu masih aman di tempatnya dan belum kamu ketahui? Dan dia sering sekali ada di rumah ini kan, seperti mendapatkan akes khusus keluar masuk. Siapa yang bisa menjamin kalau dia nggak meletakkan sesuatu benda atau alat, di rumah ini? Semua sibuk. Mana mungkin ada yang memergoki ulahnya saat dia melakukannya?’ pikir Zetta lagi.
Berpikir sampai sejauh itu, membuat perasaan Zetta langsung kalut.
Meski diam, Zetta lantas berpikir, dapatkah satpam yang bertugas di lingkungan tempat mereka tinggal menolong mengungkap misteri ini, ataukah justru bagian dari kelompok penipu yang hanya akan semakin memperparah situasi yang dihadapinya.
Zetta menengarai bahwa Natasya, Reino maupun satpam tersebut, amat mungkin bekerja sama mengambil keuntungan dari penyewa dengan cara yang sama sekali tidak pantas.
'Jahat sekali. Mereka tidak tahu bagaimana kesulitan yang telah dialami oleh keluargaku. Dah oh! Andaipun tahu, mana mereka peduli? Yang mereka lakukan kepada para penyewa rumah ini sebelum aku, kurang jahat apa?’ tanya Zetta dalam hati. Pusing yang dirasakannya membuat kepalanya terasa nyaris hendak pecah saja.
Dalam keadaan tak menentu begini, jelas Zetta bingung untuk berpikir jernih dan menentukan, siapa yang cukup dapat ia percaya untuk dimintai tolong olehnya.
Ia menatap sang Adik.
'Dan Azkia? Oh, semakin memikirkan tentang adikku satu ini, semakin besar saja rasa cemas yang menyergap diriku,' keluh Zetta dalam hati.
Zetta menarik napas dalam-dalam kemudian mengembuskannya dengan cepat, bak orang yang tengah dikejar tenggat waktu yang teramat mendesak.
“Azkia, apa Kakak bisa minta satu hal dari kamu?” tanya Zetta kemudian.
“Apa, Kak Ze?” tanya Azkia cepat.
LL