“Aku pulang dulu, ya. Nanti malam aku telepon kamu,” kata Reino ketika Azkia mengantarkannya hingga ke pagar rumah.
Tangan Reino terulur dan mengacak pelan rambut Azkia.
“He eh,” sahut Azkia.
“Selamat ya, tadi Kak Zetta dapat orderan. Semoga segera disusul orderan lainnya,” cetus Reino lagi.
“Terima kasih Rein. Oh iya, terima kasih juga karena kamu banyak membantu mengatur mesin jahit segala tadi itu,” balas Azkia.
Tatap mata mereka bertemu.
Lama keduanya tidak saling berkata-kata. Hanya saling menatap. Seakan-akan, hati mereka berdua tengah saling bicara saat ini.
“Anytime, Sayang,” kata Reino kemudian.
Azkia tersipu.
“Sayang, kamu jangan terlalu capek, ya. Kalau perlu apa-apa, mita tolong aku,” kata Reino.
“Iya,” sambut Azkia.
“Terus habis ini, sesudah aku pulang, kalau memang sudah nggak ada yang harus dikerjakan malam ini juga, langsung istirahat, ya,” pesan Reino lagi.
“He eh..,” balas Azkia.
Mendadak, tangan Reino terulur, membelai lembut pipi Azkia.
“Eeh.., jangan begini. Itu jalanan ramai. Nanti ada yang melihat ke kita. Malu. Terus takutnya jadi omongan deh,” Azkia memegang tangan Reino dan menurunkannya.
Reino tersenyum.
“Azkia sayang..., rasanya kok berat banget sih, mau pulang,” kata Reino pelan.
“Iiih..., pulang gih. Kan nanti malam kita mau teleponan lagi,” kata Azkia manja.
Reino mengusap lembut pipi Azkia.
“Iya deh, tapi..,” Reino menggantung ucapannya.
“Tapi apa?” tanya Azkia.
“Mimpiin aku ya,” cetus Reino.
Lagi-lagi Azkia tersipu malu.
Ucapan Reino sungguh-sungguh membuat hatinya bergetar.
“Eh, pulang sana. Entar aku dimarahin sama Kak Ze. Sudah malam, ini,” bisik Azkia.
“Aduh.., belum pulang saja sudah sekangen ini sama kamu, Kia,” kata Reino dengan suara mendayu-dayu.
“Rayuan gombal deh,” komentar Azkia.
“Enggak kok, Azkia sayang. Mana tangan kamu?” tanya Reino.
“Mau ngapain?” tanya Azkia tanpa melakukan apa yang diminta oleh Reino.
Rona merah sudah menjalari pipinya.
Beruntung, keadaan cukup remang-remang sehingga sanggup menyamarkan hal itu.
Reino mengambil tangan Azkia, menggenggam jemari gadis itu. Lalu, Reinopun menempelkan punggung tangan Azkia ke d**a kirinya.
“Tuh, dengar kan, degup jantung aku, jedag jedug nggak keruan tiap kali dekat kamu,” ucap Reino penuh maksud.
“Iiih.., apa sih! Sudah, pulang sana. Enggak enak sama orang-orang di mini market depan. Tuh, ada yang kebetulan lagi melihat ke arah sini. Belum lagi, di dalam sana, mungkin saja Kak Zetta, Mbak Ajeng sama Ibu sebetulnya lagi mengawasi gerak-gerik kita,” Azkia setengah merajuk sembari menarik tangannya dari genggaman Reino.
“Iya deh, aku pulang sekarang. Kamu kunci dulu gih. Nanti aku cek dari luar. Biar aku tenang, pulangnya. Selamat malam Azkia Sayang. Kita ketemu lagi besok, ya,” berkata begitu, Reino bergerak cepat, mendekati Azkia dan mendaratkan kecupan singkat ke puncak kepala Azkia.
Azkia tidak sempat menghindar barang satu sentipun.
“Eeeeh..., apa sih! Pulang sana. Aku mau kunci pagarnya,” Azkia segera mendorong d**a Reino. Padahal, hatinya sunguh menghangat barusan itu.
“I Love you Azkia sayang,” kata Reino.
Reino mengisyaratkan agar Azkia segera mengunci pagar.
Persis seperti yang dia ucapkan tadi, Reino menanti di luar pagar dan mengeceknya. Setelah memastikan sang pujaan hati ‘aman’ di balik pagar, dia melambaikan tangan dari celah pagar dan memberikan ‘kiss bye’ dengan telapak tangannya.
“Daagh..,” ucap Azkia lalu membalikkan badannya.
Hati gadis itu sungguh berbunga.
Dia bahkan bersenandung kecil ketika melangkah melewati halaman rumah, teras, hingga masuk ke dalam ruang tamu.
Dia tidak sadar saja, ada tiga pasang mata yang diam-diam menyaksikan apa yang ia lakukan bersama Reino barusan. Dasar sedang dimabuk cinta, dia malah tidak berpikir hingga ke sana.
Dan begitu mendapati bu Lestari, Zetta, serta Ajeng masih menantinya di ruang tamu, Azkia segera menutup pintu utama dan menguncinya.
Lalu Azkia pun memeluk erat kakaknya. Ia meluapkan kegembiraannya. Dia bahkan meloncat-loncat dan bersenandung tidak jelas, menyerupai bocah kecil yang baru mendapat hadiah spesial berupa mainan yang telah sekian lama diidamkannya bahkan hingga terbawa hingga ke alam mimpi.
Hatinya memang tengah bahagia, bukan saja lantaran mereka mendapatkan kontrak kerja sama dari rumah produksi ‘Layar Perak’ milik Fritz, tetapi juga karena Reino sudah berani memanggilnya ‘Sayang’ dan mengecup puncak kepalanya segala. Bagi azkia, itu suatu langkah maju yang lumayan.
'Lengkap benar suka cita aku malam ini,’ batin Azkia.
“Akhirnya, Kak! Semoga ini baru awal. Terima kasih banyak, Kak Ze!” sorak Azkia kegirangan.
Azkia tahu nilai order ini, sekitar lima puluh juta. Otak akuntansi yang dimiliki Azkia langsung mengkalkulasi. Meski order ini tak terlalu besar, akan tetapi bila digabungkan pendapatan dari penjualan retail, penjualan hasil sketsa Zetta dan pos pendapatan lainnya, diharapnya sangat bisa digeser-geser sebagai persiapan untuk membayar tagihan dan membeli material baru lagi. Apalagi Azkia juga melihat potensi order selanjutnya dari Fritz.
Zetta mengusap kepala adiknya dan merenggangkan pelukan Azkia.
“Jangan terlalu girang dulu, Kia. Sejak detik ini juga, kita sudah harus bersiap-siap mengerjakan order ini sebaik mungkin,” ucap Zetta.
“Siap, Kak Zetta,” sambut Azkia dengan ceria.
Zetta memalingkan wajahnya kepada Ajeng.
“Jeng, sudah dipastikan apakah stok bahan kita mencukupi? Fritz bilang, uang mukanya akan ditransfer besok. Mereka memberikan waktu sebulan pengerjaan. Tapi targetku, kita bisa lebih ngebut mengerjakannya. Jadi sekembalinya Fritz dari Perth, sebagian atau seluruh order sudah terkirim. Aku pikir, pasti dampaknya akan positif, memperbesar peluang mendapatkan order selanjutnya,” kata Zetta.
“Beres, Mbak Zetta. Saya langsung hubungi teman-teman via pesan teks bahkan pada saat Pak Fritz baru menyatakan deal. Lusa pagi, Heidi, Mirna, Anggi, Dela sama Nastiti sudah datang, kok. Mereka kan belum mendapat pekerjaan di tempat lain. Mereka langsung senang mendengar bahwa mereka akan kembali mendapatkan pekerjaan. Lagipula, letak rumah ini lebih dekat ke rumah kontrakan mereka ketimbang jarak ke workshop Bapak dulu, cukup naik angkot sekali,” terang Ajeng.
Zetta tersenyum.
“Terima kasih banyak Jeng, kamu gerak cepat sekali. Aku nggak tahu seperti apa kalau nggak ada kamu,” kata Zetta tulus.
Ajeng segeramengibaskan tangan secara ekspresif.
“Ih, Mbak Zetta. Jangan pernah bicara begitu ah. Ini sudah kewajiban saya,” bantah Ajeng.
“Hei, Zetta itu benar, Jeng. Kamu itu benar-benar membantu kami,” tambah bu Lestari.
“Bu...! Jangan begitu dong,” pint Ajeng dengan nada rendah.
“Hayooo mau ngomong apa? Memang Mbak Ajeng itu rrrruaaarrrr biasa..! Pokoknya kita berempat ini satu tim yang solid,” sela Azkia.
“Azkia benar Jeng. Kita berempat ini satu tim,” Zetta menekankan.
Ajeng tersipu dan menyahut, “Oh, oke. Saya tersanjung bisa menjadi bagian dari tim ini. Sukses buat kita berempat kalau begitu.”
“Amin,” sahut bu Lestari, Zetta dan Azkia bersamaan.
Lalu Ajeng melanjutkan keerangannya.
“Mengenai operator jahit, Mbak Zetta. Yang lain, bertahap ya, Mbak, supaya kita juga lebih mudah mengaturnya. Yang penting, ijinnya tolong diuruskan ke pak Shendy. Terutama, ijin tinggal buat Nayla, Nensi, Woro dan Masrinah, yang rencananya bakal menginap di sini. Empat hari lagi mereka datang dari kampungnya. Nayla sama Nensi biar tidur di kamar saya. Kan ranjang susun bisa muat tiga orang. Kalau Mbak Zetta setuju, ruangan kosong di sebelah kamar saya bisa dipakai beberapa operator jahit yang datang dari kampung. Terutama Woro dan Masrinah. Tinggal saya carikan kasur lipat, nanti saya yang aturkan. Mbak Zetta biar bisa berkonsentrasi urusan pemasaran,” tambah Ajeng bersemangat.
“Ah, soal urus ijin, biar Azkia saja, Mbak, yang mintain ke Pak Shendy. Biar Azkia yang ker rumah Pak Shendy. Jadi, Kak Zetta bisa mengerjakan hal lainnya. Terus, untuk pekerjaan menyekat pavilion, biar Azkia minta tolong sama Reino saja. Oh ya, Kak Gunawan bisa membantu juga kan, Mbak Ajeng? Kan lumayan Kak Ze, bisa menghemat pengeluaran kita,” potong Azkia yang segera berbalas acungan jempol Ajeng.
“Itu sih, maunya kamu, Kia. Tapi nggak apa, kelihatannya Reino itu baik kok, Ze. Dia tuh, malah menyediakan diri, mau membantu Azkia mengurusi packing dan pengiriman order online-nya Azkia. Reino bilang, jam kerjanya dia kan cukup flexible, hanya perlu datang absen ke kantor setiap pagi, diteruskan kunjungan ke pelanggan. Jarang kembali ke kantor setelahnya, kecuali ada hal penting. Karenanya, dia bisa mengatur jam pulangnya. Terus, penyusunan skripsinya hampir selesai pula, katanya,” timpal Bu Lestari pada dua anak gadisnya sekaligus.
Dahi Zetta seketika berkerut. Bingung campur gamang, mengapa secepat ini, Ibunya memercayai Reino, membuka akses lebar-lebar, sehingga memungkinkan Reino bolak-balik semaunya ke rumah yang mereka huni? Betapa ingin ditekankannya sekali lagi, mereka orang baru, belum mengenal baik para tetangga, termasuk Reino.
‘Dan apa yang kulihat di pagar tadi? Baru sebentar mereka berdua kenal, Reino sudah berani pegang-pegang Azkia, sudah berani mengecup kepala dia. Itu yang terlihat. Bagaimana yang terluput dariku? Anak ini sungguh-sungguh bikin aku deg-deg an saja,’ batin Zetta.
Hampir saja Zetta hendak menyuarakan betapa dia tidak suka Reino terlampau sering ke rumah, apalagi bila dirinya sedang berada di luar rumah. Zetta khawatir, ibunya serta Ajeng tidak dapat mengawasi dua anak muda yang tampaknya sedang salig tertarik itu.
Namun, suara hati Zetta menegurnya, mendorongnya memilih supaya tak secara frontal mengatakan ketaksetujuannya akan sikap Azkia, yang dinilainya terlalu terbuka, terlalu permisif. Ibarat perangkat komputer, tanpa firewall sama sekali.
“Asal tetap hati-hati. Kita ini perempuan semua, di tempat yang baru, pula. Harus bijak, dan pandai menjaga diri dan sikap kita. Nggak terlalu mudah dekat dengan orang baru,” ujar Zetta setengah bergumam.
Tetapi, Azkia menangkap apa yang digumamkannya dan terheran. Ditatapnya wajah sang Kakak dengan pandangan menantang.
“Maksud Kak Ze apa? Kak Ze curiga sama Reino? Dia anak ketua rukun tetangga, Kak! Masa iya, punya niatan buruk ke warganya? Kakak tenang saja, Azkia sangar mengerti batasan, kok, nggak mesti diingatkan tentang antisipasi melulu,” gerutu Azkia pula, menekan rasa tersinggung yang mencuat.
Zetta terusik mendengar gerutuan adiknya. Tambahan pula, wajah cemberut Azkia tak tersamar secuilpun. Wajar bila dia tak menyukai reaksi Azkia yang demikian. Sebagai kakak, dia merasa permintaannya wajar, demi keamanan dan kenyamanan mereka bersama. Wajah Zettapun menegang tanpa dikehendakinya.
Ajeng, yang semula lebih banyak menempatkan dirinya sebagai pendengar dan menyimak dalam diam, seketika menyadari, keadaan berubah menjadi kurang kondusif.
Percakapan dua saudari kandung di depannya sudah menampakkan gelagat bakal menuju ke arah perdebatan yang tidak perlu. Yang satu berkeras menegaskan bahwa mereka tetap harur extra hati-hati, sedangkan yang lain merasa dirinya disudutkan.
Maka dengan bijak, Ajeng memberikan isyarat berupa gelengan kepala yang amat minim kepada Azkia. Tak ubahnya sebuah permintaan halus, agar Azkia yang memperlihatkan wajah cemberut itu menahan diri dan tidak mengatakan sepatah katapun lagi yang dapat memancing kemarahan sang kakak.
‘Nggak ada yang keliru kok, dari kata-kata yang diucapkan sama Mbak Zetta. Aku pikir, Mbak Azkia-nya saja, yang terlalu sensitif dalam menanggapinya. Aduh, namanya juga anak umur segitu, lagi dekat sama orang baru, lagi,’ batin Ajeng pula.
Dasar Ajeng sedang mujur, Azkia menangkap isyarat halus tersebut. Azkia terlihat menuruti permintaan tersirat dari Ajeng kendatipun dibarengi rasa tak puas yang masih tergurat di wajahnya.
Ajeng merasa senang dan bersyukur, sebab ia dapat meredam potensi pertikaian dua bersaudara itu, sehingga tidak merusak suka cita yang mereka dapatkan, malam ini.
‘Ini adalah momen yang sangat baik. Momen yang sekian lama tidak terasa oleh kami, tepatnya setelah kepergian Bapak untuk selamanya. Aku jelas nggak rela kebahagiaan keluarga ini terusik. Baru malam ini aku melihat lagi ada keceriaan di wajah Mbak Azkia. Baru malam ini pula aku melihat wajah Ibu dan Mbak Zetta menyiratkan semangat dan harapan baru lagi. Momen ini terlampau berharga. Nggak boleh ada seorang pun yang mengusik, sekalipun itu Mas Reino. Maaf Mas Reino, bukannya aku meremehkan bantuan yang diberikan sama Mas Reino,’ batin Ajeng.
- Lucy Liestiyo -