Jika niat baikmu tak didengar olehnya, tak apa. Dia akan menyadarinya setelah kamu tidak peduli.
____________
Aji mengaduk teh hangat di balik meja makan, dia mulai gelisah sejak sang putri terus saja bersin dan tubuhnya hangat. Namun, Nada memang memaksa tetap masuk sekolah, gadis itu baru keluar dari kamarnya dengan seragam yang sudah rapi serta rambut diikat tinggi. Wajah Nada memang tampak pucat, efek semalam ketika terjebak hujan. Dia menghampiri sang ayah lalu menarik kursi dan duduk.
"Ini, diminum ya, Nad. Nanti Papa antar kamu ke sekolah," ucap Aji seraya meletakan gelas berisi teh hangat di depan Nada.
Gadis itu tersenyum tipis, "Makasih, Pa. Tapi nggak usah diantar deh, Nada masih sanggup kalau kayuh sepeda kok." Nada menolaknya dengan halus, dia kembali bersin.
Aji lekas duduk—menatap putrinya dengan keheranan—masih saja bersikukuh dengan keputusannya padahal sedang sakit.
"Enggak, nanti Papa yang antar kamu. Ini pagi lho biarpun udara sejuk, tapi kamu lagi sakit gitu mau main angin? Nanti Papa yang antar, kalau nggak mau lebih baik jangan sekolah," tandas Aji lalu menyesap kopi hitam di depannya.
"Iya, Pa." Nada pasrah, daripada tidak sekolah lebih baik menuruti keinginan sang ayah. Dia juga menyesap teh hangat di depannya.
_______________
Nyatanya bukan hanya Nada yang bersin-bersin, tapi juga Zada yang menolongnya semalam. Laki-laki itu sedang duduk di ranjangnya sambil membungkuk mengikat tali kedua sepatunya, dia beranjak dan meraih ransel di meja sebelum keluar kamar.
"Sarapan, Zada." Suara Rosalie terdengar dari arah ruang makan.
Kaki Zada menuruni anakan tangga seraya menyugar rambutnya, "Enggak, sebentar lagi macet nih," serunya membalas teriakan sang ibu.
Wanita itu keluar dari dapur dan menghampiri Zada yang melangkah cukup cepat menuju pintu utama.
"Zada, tunggu Mama dong." Rosalie membawa sebuah tote bag.
Langkah Zada terhenti tepat di depan pintu, dia menoleh. "Apa sih, Ma?"
"Ini. Bawa ya, kan nggak sarapan," ucap Rosalie seraya mengulurkan tote bag yang ia bawa. "Di situ juga ada obat buat kamu, bersin-bersin terus Mama risih dengarnya," imbuhnya.
Segera Zada meraih tote bag itu, "makasih, Zada berangkat dulu, Ma." Zada meraih tangan kiri Rosalie dan mengecupnya. "Bye."
"Hati-hati, Sayang."
Zada keluar dari rumah dan menghampiri motor trail merah kesayangannya yang terparkir manis di halaman, segera Zada meraih helm motor trail berwarna senada lalu memakainya dan tak lupa ia kunci. Zada duduk di motornya dan mulai menghidupkan mesin, ia meluncur keluar melewati gerbang yang terbuka lebar.
"Hati-hati, Mas!" seru Pak Jarwo—satpam rumah Zada yang bertubuh gempal.
"Ya, Pak!" Zada membalas.
Memang benar yang Zada ucapakan, ketika motornya sudah keluar dari area perumahan ternyata macet mulai melanda ibukota lagi. Seperti biasa, ketika begitu banyak anak berangkat sekolah dan para orang tua berangkat bekerja, hal itu biasa terjadi. Zada berdecak ketika cukup lama menunggu untuk menyebrang jalan, pasalnya keadaan begitu ramai.
Dia membuka kaca helmnya, "Kalau begini terus bisa-bisa gue telat."
Hingga sebuah mobil silver lewat tidak terlalu kencang dengan jendela mobil yang terbuka pada sisi kanan, meski tak begitu jelas tapi Zada mampu melihat seorang gadis di sebelah kiri kemudi menatap ke depan, gadis itu berada di sisi seorang pria yang duduk di balik kemudi.
"Nada," gumam Zada. Ketika kesempatan untuk menyebrang jalan muncul barulah motor Zada kembali bergerak, dia memutar gas lebih kencang. Tujuannya cukup jelas, yakni mobil yang berisi sosok Nada.
_________________
Seperti biasa, suasana di depan gerbang pastilah ramai jika jam mendekati bel masuk. Bahkan kebanyakan dari mereka lebih suka datang diwaktu yang mepet daripada lebih awal dan duduk manis di dalam kelas atau cuap-cuap bersama teman lain. Mobil Aji berhenti tepat di depan gerbang, Nada melepas seat belt lalu meraih tangan kanan sang ayah dan menciumnya.
"Nada sekolah dulu ya, Pa." Gadis itu berpamitan seraya tersenyum tipis, dia membuka pintu dan lekas turun.
"Hati-hati, Nad. Kalau sakitnya nggak bikin kamu konsen pulang aja ya. SMS Papa ya, Nad."
"Iya." Gadis itu melangkah melewati orang-orang yang juga baru datang, layaknya aliran sungai. Beberapa klakson motor berbunyi, mengharapkan mereka agar minggir dan tak menghalangi jalan.
Zada juga baru turun di parkiran motor, dia melepas helm lalu meletakannya pada spion, Zada mengaca dan menyugar rambutnya. Dia bukanlah laki-laki yang suka memakai pomade agar rambutnya tertata rapi, Zada tipe yang simple, jika rambutnya berantakan ia lebih suka menyugarnya meski hasilnya akan tetap sama. Zada juga meraih tote bag yang dibagi Rosalie.
"Woy!" seru Dewa seraya menepuk bahu Zada, dia berdiri tepat di belakangnya.
Zada hanya menoleh lalu mulai melangkah ke koridor utama.
"Tuh kan kulkas dua pintu kumat lagi, eh semalem kenapa lo nggak ikut futsal. Lo kemana aje, Om?" salah satu tangan Dewa bertengger di bahu Zada.
Zada tak langsung menjawabnya, justru bersin lebih dulu menghampiri, efek semalam yang membuat Dewa refleks menutup hidungnya.
"Kok lo bersin sih, Zad? Lo sakit? Bukannya kemarin elo baik-baik aja ya, apa lo semalem makan AC sampai begitu?" cecar Dewa mirip ibu-ibu arisan.
Zada menepis tangan Dewa yang menggelayut di bahunya, dia kembali bersin hingga dua kali. Memang tampak begitu tidak baik.
"Ampun deh Zad! Kayaknya lo emang bener-bener nggak fit nih, ya udah lo libur aja dulu. Lagian pertandingan masih seminggu lagi, kan?"
Zada menatap Dewa sekilas seraya mengangguk pelan, tak ada suara yang keluar dari bibirnya sama sekali. Wajah Zada mulai pucat, hidungnya juga kemerahan.
Sedangkan Nada baru saja duduk di kursinya, tak lupa dia melepas sweater abu-abu yang ia kenakan dan memasukannya ke laci meja. Kedua tangan Nada terlipat di meja, ia yang merasa lemas meletakan kepala seraya sebelum terpejam. Harusnya hari ini Nada mengikuti keinginan Aji untuk tidak bersekolah, harusnya Nada sadar jika tubuh hangatnya jelas akan mengganggu aktivitasnya di sekolah apalagi akan ada jam olahraga hari ini, kecuali Nada benar-benar izin untuk absen.
Laki-laki itu baru masuk kelas bersama Dewa, ketika Dewa langsung duduk di kursinya, tidak dengan Zada—dia menghentikan langkah tepat beberapa centi sebelum mencapai tempat duduknya, kali ini Zada melihat Nada yang tampak begitu lemas dengan mata terpejam di atas meja.
Zada menarik napasnya, dia kembali melangkah dan menghampiri bangku lalu duduk.
"Kalau kamu sakit mending pulang aja, jangan maksain diri buat sekolah," ucap Zada iba pada gadis itu. Tapi Nada sama sekali tidak membuka matanya, entah tidak mendengarnya atau memang tidak tahu jika Zada bicara kepadanya.
"Pasti kamu sakit karena kehujanan semalam, kan?" Zada kembali bicara, tapi gadis itu masih tidak menanggapinya.
"Nada, Nada?"
Merasa terusik Nada membuka mata, dia mengangkat kepala lalu menggucak mata dan menoleh ke arah Dewa.
"Wa, lo yang ajak gue ngomong?" tanya Nada seraya menguap lebar.
Dewa yang baru saja meletakan buku di meja menutup hidungnya, "Apaan sih, Nad. Bau tahu nggak. Lagian siapa yang ngajak elo ngomong, noh sebelah lo yang lain," sahut remaja berambut ikal tersebut.
Seketika Nada menoleh dan bertatapan dengan mata teduh Zada, ada keraguan menyelinap pada batinnya. Tidak mungkin tiba-tiba Zada akrab dengannya padahal saat kelas sepuluh mengucapakan 'hai' saja terasa kelu.
"Saya tahu kamu sakit, kamu lebih baik pulang," ucap Zada lagi dan membuat Nada tersadar dari keraguannya jika memang Zada-lah yang mengajaknya bicara sejak tadi.
Gadis itu mengusap tengkuk, tampak bingung. "Ng ... nggak kok, gue baik-baik aja," sahutnya berbohong.
"Baik? Kenapa muka kamu pucat begitu?"
Jemari Nada mengusap bibirnya yang memang kering bahkan mengeripik, belum sempat Nada menyahut lagi perkataan Zada, bel masuk membuatnya beranjak keluar.
"Olahraga-olahraga, ganti baju lagi!" seru Dewa bersamaan dengan murid lain yang keluar dari kelas.
"Nada," gumam Zada seraya meletakan tasnya dan beranjak keluar dari kelas. Dia berlari menghampiri Nada yang tengah membuka lokernya. Ada rasa khawatir berkecamuk di kepala Zada.
Ketika gadis itu berdiri di depan pintu loker yang terbuka seraya mengambil kaus olahraganya, Zada dengan setia menunggu di sisi loker. Mungkin Nada tidak sadar jika ada orang lain di sebelahnya.
Saat Nada menutup pintu loker dia terkejut bukan main, "Astaga! Lo ngapain di situ?"
"Saya cuma mau ingetin aja kok, nggak usah ikut olahraga. Kamu lagi sakit, Nad. Nanti malah pingsan. Saya ketua kelas, jadi—" Zada tak melanjutkan ucapannya.
"Jadi apa? Berhak ngatur? Enggak juga tuh," ketus Nada seraya melangkah angkuh melewati Zada. Laki-laki itu tak kehabisan cara untuk membujuknya agar berhenti, dia menyamai langkah Nada menuju toilet.
"Nad, nanti kalau kamu pingsan di lapangan gimana? Pasti salah saya juga biar pun kamu yang keukeuh buat ikut, mending kamu istirahat aja di kelas. Atau nggak di UKS, biar saya yang izin ke Pak Banu nantinya, bisa?" suara Zada benar-benar terdengar lembut, tapi Nada tak bisa menyadarinya karena ia mulai kesal dengan tingkah Zada yang mulai jadi pengatur itu.
Mereka kini tepat berada di depan toilet perempuan, Nada menghentikan langkah dengan tatapan yang tidak bersahabat pada Zada.
"Kalau lo mau jadi ketua kelas yang baik, jangan ikutin gue sampai di depan toilet begini. Apa nggak bisa?" cibir Nada.
Cowok itu mengusap tengkuknya, tampak seperti orang bodoh yang tidak tahu apa-apa. "Maaf, saya tunggu kamu keluar ya, Nad."
"Buat apa sih? Kok lo maksa gitu? Kan gue yang mau ikut olahraga—kenapa elo yang repot, risiko gue yang tanggung, jadi tolong pergi sekarang, Zada." Tangan kanan Nada menunjuk ke arah kelas.
"Maaf." Zada pasrah karena sudah tidak bisa membujuk gadis itu, ia paham betul jika keinginan setiap gadis yang bersikukuh memang pasti menang tanpa peduli risikonya di belakang, seperti Nada. Padahal dia hanya ingin peduli, bukan karena maksud lain. Kini Zada memilih pergi dari tempat itu.
____________