Bagian 8.

1412 Kata
Setiap orang memiliki rasa peduli, hanya entah bagaimana cara ia menunjukannya nanti. _____________     "Gue nggak mau! Gue mau futsal malam ini," tolak Zada mentah-mentah terhadap ajakan gadis di depannya yang sudah berdandan begitu cantik.      Rebbeca mulai kesal dengan penolakan Zada yang beruntun setiap kali dia mengajaknya pergi, kini bahkan Rebbeca nekat masuk ke kamar Zada tanpa izinnya. Untunglah laki-laki itu sedang duduk di tepi ranjang seraya menatap layar laptopnya.      Rebbeca duduk di sisi Zada dan menempelkan kepala pada bahu laki-laki yang kini berdiri di sebelahnya, "Please, temenin aku sekali aja. Masa kamu tolak terus sih, kamu mau aku marah dan laporin sikap kamu ini ke papa aku?" ancam Rebbeca.      Kesal, Zada melepaskan rangkulan tangan Rebbeca dari lengannya dan segera menarik gadis itu keluar kamar.      "Lo mau bilang apa kek, bodo amat! Gue napas bukan elo yang kasih kenapa harus repot-repot nurut sama elo!"      "Zada!" bentak Rebbeca cukup keras, "jadi kamu mau hancurin bisnis papa kamu itu, iya? Jadi kamu mau nolak aku terus-terusan, iya?"      Ingin sekali Zada mendorong gadis di depannya hingga terjungkal dan menggelinding di tangga, paksaan Rebbeca sungguh membuatnya emosi.      Zada menyugar rambutnya, dia merendahkan tubuh agar setara dengan wajah Rebbeca lalu mengangkat telunjuknya tepat di wajah gadis itu.      "Gue turutin mau lo kali ini, tapi kalau elo macam-macam nggak akan ada toleransi lagi!" tandasny sebelum masuk kamar dan membanting pintu.      Brak!      Rebbeca mengerjap sekali ketika pintu menutup cukup keras, tapi dia senang karena pada akhirnya Zada mau menuruti keinginannya untuk malam ini—datang ke acara pembukaan kafe milik ibunya. __________      Zada memilih mengemudikan mobil milik Rebbeca daripada naik motor miliknya, jika mereka naik motor maka untung yang didapat Rebbeca lebih besar. Gadis itu bisa memeluk Zada dari belakang, menempelkan kepala pada punggung laki-laki itu dan Zada-lah yang rugi besar meskipun Rebbeca adalah gadis cantik sekaligus anak orang kaya. Namun, tak ada pengaruhnya bagi Zada—terutama pada sikap Rebbeca yang manja—membuatnya muak.      Sepanjang jalan kedua tangan Rebbeca terus melingkar di lengan kiri Zada, meski berkali-kali Zada menepisnya, tapi tetap saja gadis itu tidak mau menyerah dan membuat Zada akhirnya mengalah—meskipun ingin sekali dia keluar dari mobil dan berlari meninggalkan Rebbeca, tapi sayangnya hujan turun cukup deras di bumi Jakarta malam ini.      Tatapan Zada tetap fokus pada jalanan licin di depannya, ia juga tak terlalu cepat ketika mengemudikan mobil Rebbeca, takut jika ban mobil tergelincir dan akhirnya mereka yang celaka.      Zada sama sekali tak ingin melirik gadis di sebelahnya yang masih saja asyik menggelayut pada bahu begitu mesra, karena baginya tak ada yang patut dilirik dari Rebbeca meskipun dia memakai dress selutut merah jambu, meskipun riasan wajahnya cukup mencolok apalagi behel yang dipakainya pada gigi, bagi Zada penampilan Rebbeca terlalu berlebihan.      "Zad, kamu beneran nggak punya pacar, 'kan? Masih ada peluang besar buat aku, 'kan?" tanya Rebbeca dengan kepala yang masih bersandar pada bahu Zada.      Zada berdecak, "Gue nggak buka lowongan."      "Terus, kapan?"      "Kapan apanya?"      Rebbeca mengangkat kepalanya dan menatap Zada, "Kapan mau pacaran sama aku? Kita dekat udah lama lho, Zad. Satu tahunan, tapi masa mau gini-gini aja. Aku capek nunggu kamu."      Zada menoleh, "Kalau capek ya berhenti dong, lagian siapa yang nyuruh dan maksa elo buat bertahan. Gue? Enggak, 'kan?" Dia kembali fokus pada jalanan.      "Tolong dong hargai usaha aku yang ngejar kamu, nunggu kamu."      Zada tak mengidahkan ucapan Rebbeca, dia menginjak rem mendadak setelah melihat sepeda seseorang yang cukup familier di depan halte, hal itu membuat tubuh Rebbeca yang tidak siap terlonjak ke depan, bukannya minta maaf justru Zada melepas seat belt dan menepis tangan Rebbeca yang masih memeluk lengannya.     "Lepas! Lo di sini aja, nanti kalau lo kehujanan mascara sama lipstik lo itu bisa luntur, paham?" Tanpa menunggu jawaban dari Rebbeca yang teramat kesal itu Zada keluar dari mobil begitu saja dan menyebrang jalan yang sepi, menerobos derasnya hujan hanya untuk menemukan seseorang di dalam halte.      "Zada! Zada! Kamu mau ke mana!" Teriakan Rebbeca tak terdengar karena hujan yang cukup deras menghalangi pendengaran orang lain.     "Nada?" ucap Zada tak percaya setelah ia benar-benar menemukan seseorang yang sudah diduga sebagai empunya sepeda.      Gadis itu terkesiap ketika melihat Zada yang tiba-tiba ada di depannya—membuat Nada beranjak dan salah tingkah.      "Lo ngapain di sini?" tanya Nada kebingungan.      Bukannya menjawab pertanyaan Nada, laki-laki itu justru tertegun seraya meneliti kondisi Nada dari ujung kaki sampai ujung kepala. Semuanya basah, rambutnya lepek, wajahnya pucat serta piyama berlengan pendek yang ia kenakan. Nada juga terlihat menggigil, jelas ia sedang tidak baik-baik saja sambil memeluk kedua lengannya.     "Hey, gue tuh tanya. Lo ngapain di sini? Lo tahu gue di sini dari mana?" tanya Nada dengan bibir gemetaran.      Zada merasa iba melihat kondisi Nada saat ini, dia bingung bagaimana harus menolongnya. Zada melihat kantung plastik di sisi tempat Nada duduk tadi, gadis itu baru saja dari minimarket dan terjebak hujan.      "Saya, saya tadi lewat dan nggak sengaja lihat sepeda kamu," sahutnya terbata. Cara bicara Zada memang begitu berbeda ketika berhadapan dengan Nada, dia tampak kaku dan baku. Sedangkan ketika berhadapan dengan orang lain seperti Rebbeca maka akan sarkas.       "Terus lo samperin gue, iya?"      Pertanyaan itu membuat Zada kebingungan untuk menjawab, karena dia memang refleks ketika melihat sepeda Nada di depan halte. Zada berinisiatif, dia melepas jaket boomber yang ia kenakan lalu meletakannya di punggung Nada. Gadis itu menatapnya dan membeku.      "Maaf, Nad. Saya nggak bisa bantu kamu selain ini, di seberang sana memang ada mobil tapi punya teman saya, dan saya mau pergi ke acara pembukaan kafe punya orang tua dia. Saya cuma bisa berdoa biar hujannya cepat reda."      Nada tak mampu membalas setiap perkataan Zada, ia hanya mengangguk mengerti.      "Maaf lagi, saya harus tinggalin kamu." Zada mengela napas panjang. "Baik-baik ya, Nada. Saya pamit." Zada tersenyum tipis dan keluar dari halte, dia berlari begitu saja menyebrang jalan, membiarkan dirinya diterpa hujan tanpa jaket.      Nada tersadar, merasa seperti diguna-guna tapi mana mungkin Zada sampai segila itu. Mungkin dirinya yang terlalu terbawa suasana sampai tidak sanggup bicara.      Dia meraih jaket yang menempel pada punggungnya, tercium aroma parfum Zada. Dingin, jadi Nada cukup bijak jika memilih memakainya daripada menyiksa diri dengan kedinginan meski hanya membantunya sedikit tapi jaket itu cukup melindungi dirinya.      "Aneh dan tiba-tiba," gumam Nada sebelum kembali duduk. _____________      Risiko sudah Zada terima, dia basah kuyup lalu kembali duduk di balik kemudi. Membuat raut bingung tercetak di wajah Rebbeca.      "Zada, kok basah kuyup gini. Jaket kamu mana? Kamu dari mana?" cecar Rebbeca tak sabaran.      "Kita pulang ya, gue nggak mungkin ke acara nyokap lo kalau basah kuyup gini," sahut Zada seraya memutar kontak mobil.      Rebbeca tercengang, "Pulang? Serius pulang?"      Zada menoleh, "Iya pulang, lo mau bawa gue yang basah begini ke acara nyokap lo? Gue rasa lo juga punya malu, 'kan?" ketusnya.      Gadis itu mengatupkan bibir lalu mengangguk pelan meski sebenarnya ia tidak ingin pulang. Namun, melihat keadaan Zada yang tidak memungkinkan membuatnya mengalah padahal dia ingin pamer kepada beberapa temannya yang juga ia undang ke acara kafe, tapi gagal seketika. Kini mobil mulai memutar arah.      "Zad, sebenarnya tadi kamu samperin siapa? Itu jaket sampai nggak ada," ucap Rebbeca, kini dia tak lagi menggelayut pada lengan Zada yang sudah basah.      "Teman," sahut Zada tanpa menoleh.      "Namanya? Cewek apa cowok."      "Cewek."      Rebbeca mengerutkan keningnya, "Maksud kamu ... kamu tolongin teman kamu yang cewek itu dan kasih jaket, terus jadinya gagal ke acara mama. Itu maksud kamu, Zad?"      "Itu lo pintar," balas Zada tak acuh.      "Kamu beneran, Zad? Jadi kamu lebih pilih teman kamu daripada datang ke acara mama aku, iya?"      Zada menoleh dengan alis bertaut, "Lo itu punya rasa iba sedikit aja nggak sih buat orang, apa yang akan lo lakukan kalo aja ada di posisi gue, kayaknya lo lebih senang party-party sih. Udah kelihatan kok dari cara lo bicara." Zada tersenyum miring.      "Maksud aku nggak gitu, Zad. Inikan acara penting jadi kamu harus bisa bedain dong. Kamu harus bisa pilih mana yang lebih penting," protes Rebbeca tak mau kalah.      "Becca!" bentak Zada dan membuat mata Rebbeca mengerjap, dia terkejut dan diam.      "Teman gue tuh kehujanan, apa lo bakal tega kalau lihat teman lo duduk sendirian malam-malam basah kuyup di dalam halte bis? Kalau gue peduli, kalau lo enggak ya bodo amat. Sekarang diam dan jangan protes, kalau lo ngomong terus gue bakal turun dan bilang ke mama kalau elo udah telantarin gue," ancamnya, meski Zada tak berniat. Dia tahu Rebbeca itu sangat manja dan mudah merengek, tapi sekali-kali harus dikerasi agar paham situasi.      Rebbeca benar-benar diam, dia hanya bisa menghela napas daripada melanjutkan debatnya dengan Zada. Kini ia pasrah ketika mobil terus melaju ke arah rumah Zada. Lagi-lagi dia gagal pergi bersama Zada. —
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN