Bagian 10.

1447 Kata
Jika kita kembali dipertemukan, kisah ini akan menemukan pertanyaan mengapa dan bagaimana. ________________ Mungkin sekarang Zada sudah diam, dia tak lagi bersikukuh meminta Nada agar berhenti mengikuti kegiatan olahraga pagi ini. Semua siswa kelas XII.IPS.2 berbaris di lapangan, laki-laki dan perempuan memiliki barisan masing-masing. Saat itu Nada berdiri di barisan paling depan, tepat di sebelah Thalita. Begitu juga dengan Zada yang berdiri pada barisan depan—berada di sisi Dewa sedangakan Dewa bersebelahan dengan Thalita. Sesekali Zada menoleh, memperhatikan Nada yang tampak sok kuat padahal jasmaninya sedang tidak bersahabat dengan kegiatan pagi ini. Pak Banu memulai pemanasan seperti biasa, semua tampak lengkap setelah dia absensi lebih dulu. Pagi ini pemanasan diawali dengan lari keliling lapangan sekitar tiga sampai lima putaran, perempuan diizibkan lebih dulu sebelum laki-laki mengekor di belakang mereka. Dari putaran pertama tampak baik-baik saja, semua dilakukan dengan baik. Nada masih sanggup berlari meski terasa begitu lemas, dia tak sadar jika Zada terus saja memperhatikannya dari jauh, rasa khawatir itu kian membuncah ketika pada putaran kedua Nada menghentikan larinya dan memilih melangkah. Sesekali gadis itu berhenti dan membungkuk dengan kedua tangan menyentuh lututnya menahan tubuh yang terasa lemah. Thalita berhenti di sisi Nada, "Nad? Lo nggak apa-apa, kan?" Ia membungkuk meneliti keadaan gadis itu, Thalita mengulurkan tangan untuk mengusap punggung Nada. Nada menelan saliva, dia menggeleng pelan. "Nggak apa-apa kok," sahutnya berbohong. Dia mulai bersin lagi setelah cahaya matahari terus menerpanya. "Nggak bohong, kan? Pucat gitu soalnya." Thalita menegakan tubuhnya kembali. Begitu juga dengan Nada yang masih sanggup tersenyum tipis. "Iya nggak apa-apa kok, Tha." Nada mengerjap beberapa kali setelah melihat Thalita yang tampak kurang jelas, pandangannya mulai kabur hingga gadis itu akhirnya terkulai lemah di selasar lapangan. "Ya ampun, Nada!" pekik Thalita terkejut ketika tubuh Nada sudah tergeletak tak sadarkan diri di depannya, semua gadis yang berlari di belakang mereka menghampiri Nada. Membuat pemanasan pagi ini mulai kacau. "Hey! Ada apa itu!" seru Pak Banu, dia dan beberapa siswa termasuk Zada bersama segala kerisauannya menghampiri kerumunan siswi pada sisi lapangan. "Ini Pak, si Nada pingasan," sahut Thalita. Semua orang memberi jalan ketika Pak Banu makin mendekat, Zada bisa melihat dengan jelas wajah pucat Nada yang terpejam dan berada pada pangkuan Thalita. "Nada sakit? Sampai pingsan begini, kenapa tadi nggak izin ke saya sih. Ketua kelasnya siapa? Kenapa nggak cegah dia buat nggak ikut olahraga, ya begini jadinya," gerutu Pak Banu seraya meraup wajahnya. "Saya, Pak. Saya yang bertanggung jawab atas kejadian ini, biar saya yang bawa Nada ke UKS," sahut Zada yang berdiri di balik punggung Pak Banu. Sontak semua orang menatap ke arah Zada, "Ya sudah kamu bawa Nada ke UKS, harusnya kamu cegah dia buat nggak ikut olahraga, Zad." "Maaf." Zada sama sekali tidak mau mengakui jika dirinya sudah melarang Nada berkali-kali hingga gadis itu kesal, dia harus berkata apa lagi. Semua sudah terjadi, kini Zada melangkah melewati Pak Banu, dia berjongkok di depan Thalita yang memangku kepala Nada. "Biar gue aja yang bawa Nada ke UKS, boleh?" izin Zada seraya menatap Thalita, gadis itu mengangguk dengan cepat. Kedua tangan Zada terulur, dia mulai meraih tubuh Nada dan memapahnya sebelum berdiri. Zada menghela napas ketika melihat wajah Nada sedekat itu. "Gue ikut ya, Zad," pinta Thalita yang tak kalah cemas dan disetujui oleh anggukan Zada. "Oke, semuanya sekarang lanjutkan lagi olahraga!" seru Pak Banu seraya keluar dari kerumunan. Kini Zada dan Thalita menjauh dari area lapangan menuju koridor, untungnya UKS ada di lantai satu hingga memudahkan keduanya meletakan gadis itu segera. Thalita langsung membuka pintu UKS berwarna putih itu, mempersilakan Zada masuk dan meletakan tubuh Nada di ranjang berukuran single. Zada merasakan begitu hangat tubuh Nada, kini tangan kanannya terulur menyentuh kening Nada, panas. Dia menoleh pada Thalita yang kini berada di sebelahnya, "Lo panggil dokter Clara, ya. Di atas meja gue ada tote bag, isinya makanan sama obat. Nanti kalau Nada sadar lo kasih aja ke dia, lo bisa kan tungguin Nada di sini?" Thalita menggaruk kepalanya, "Tapi kan, Zad. Gue ada olahra—" "Gue yang izin ke Pak Banu, lo tenang aja," potong Zada cepat. "Ya udah kalau gitu, Zad. Biar gue temenin Nada di sini, lo olahraga aja." "Makasih, jaga Nada baik-baik ya." Thalita mengangguk dan Zada melangkah keluar UKS, tapi Zada berhenti sejenak tepat di ambang pintu. Zada menoleh, menatap lagi wajah dengan kedua mata terpejam itu, dia menarik napas sebelum kembali melanjutkan langkah. _______________ Ketika bel istirahat berbunyi, untunglah Nada sudah tersadar. Masih ada Thalita di sisinya, Adela yang mendengar kabar pingsannya Nada sontak menemui gadis itu di ruang UKS. "Nad, kan udah ada Adela. Gue keluar dulu ya." Thalita berpamitan. "Cepat sembuh, Nad." Nada yang duduk bersila di ranjang tersenyum simpul, "Iya, makasih ya udah jagain gue tadi." "No problem." Gadis melangkah keluar UKS. "Tha," panggil Nada setelah melihat sesuatu di nakas yang berdekatan dengan ranjang. Thalita yang sudah melangkah melewati pintu akhirnya balik badan, "Ada apa ya, Nad?" "Itu, punya lo ketinggalan," ucap Nada seraya menunjuk pada sebuah tote bag di nakas. "Oh itu, itu buat lo." "Gue?" "Iya, dari Zada. Itu bekal sama obatnya Zada, katanya buat lo aja. Tadi Zada yang gendong elo ke sini, dia juga kena tegur Pak Banu karena nggak bisa cegah lo buat nggak ikut olahraga. Ya udah, gue pergi dulu. Bye." Kening Nada mengernyit menatap tote bag di nakas—apalagi setelah mendengar penuturan lengkap tentang kisah Zada yang baru saja menyelamatkan dirinya. Nada menarik napas berat, dia merasa bersalah karena membuat Zada sampai kena tegur padahal dirinya-lah yang ngeyel untuk tetap ikut olahraga, dia juga yang kena imbas karena tak mengidahkan ucapan Zada sejak pagi. Mendadak Adela yang duduk di sisi Nada mencubit lengan gadis itu, "Hayo lo, yang baru digendong sama mantan!" seru Adela menggoda Nada. "Aw!" Nada memekik seraya mengusap bekas cubitan Adela. "Apaan sih, Del. Jangan bicara yang bukan-bukan deh," kesalnya. "Emangnya kenapa? Dia emang mantan elo kan, Nada Cassandra? The one and only lagi." Adela terkekeh mendengar ucapan konyolnya sendiri. "Adela ...." "Eh, bener juga ya. The one and only plus limited edition, karena yang namanya Zada di sekolah ya cuma mantan elo itu," goda Adela lagi di sisa tawanya yang garing—sama sekali tak membuat Nada ikut tertawa dan justru menatapnya datar. Segera Nada menoyor kepala Adela dengan kesal. "Adela, bisa nggak jangan bercanda terus. Nggak asik lo, gue lagi sakit dan elo malah terbahak-bahak bahagia? What the hell?" "Maaf deh maaf, i'm sorry Nada. Eh tapi—" Adela meletakan salah satu telunjuknya pada pelipis, dan mulai menerawang seolah dia sedang berpikir keras. "Kok bisa si Zada yang bawa lo ke UKS? Kenapa bukan anak lain aja, modus pasti." Lagi-lagi Nada menoyor kepala Adela. "Itu karena dia ketua kelas dan harus tanggung jawab tau! Bisa diam nggak!" bentak Nada. Adela menyentuh kepalanya, "Aduh! Jangan didorong terus dong, Nad. Nanti gue nggak lulus UN lagi karena bego." "Bodo amat!" sahut Nada tak acuh, dia kini membaringkan tubuhnya lagi hingga Adela turun dari ranjang karena kaki Nada mendorongnya. "Terus soal tote bag itu gimana, Nad?" Adela menarik sebuah kursi yang berada di dekat pintu lalu duduk di sisi Nada. Gadis itu menatap langit-langit UKS, dia mengembuskan napasnya lalu menarik oksigen lagi sebanyak-banyaknya. Nada merasa sesuatu yang terjadi—tidak sengaja—antara dia dan Zada akhir-akhir ini adalah sebuah kebetulan. Khususnya saat malam hari ketika hujan tiba mereka bertemu di halte bus, mungkin alam bawah sadar yang membuat mereka harus saling bicara, lagi. "Lo mikirin apa, Nad? Zada?" tebak Adela yang seketika mendapat lirikan tajam lewat ekor mata Nada, membuat gadis itu segera mengatupkan mulutnya. "Del ...." Nada memperingatkan. "Iya, Nad. Ampun deh ampun." "Bisa ambilin hape gue di kelas nggak, mau telfon papa." "Iya, Nad. Tunggu sebentar." Adela beranjak dan keluar dari UKS. Kini Nada menoleh—menatap lagi tote bag yang belum disentuh olehnya hingga dia memutuskan kembali duduk bersila dan meraih benda itu, Nada mengambil isi tote bag dan meletakannya di nakas. "Pertama jaket, sekarang ini. Besok apalagi?" gumam Nada tak mengerti, dia membuka tutup tupper ware dan menemukan nasi serta potongan daging berlumur kecap. Nada kembali menutupnya. "Kalau lo nggak mau, buat gue juga nggak apa-apa kok, Nad. Laper nih belum makan," ucap Adela yang kebetulan baru saja masuk. Dia meletakan ponsel Nada di atas nakas. Nada mengulurkan kotak nasi itu, "Ya udah dimakan lo aja, gue udah bawa bekal masakan papa." Senyum terukir di wajah Adela, dia meraih kotak nasi itu penuh semangat. "Makasih, Nad. Nada emang paling unyu-unyu deh, kayak semut." "Apaan sih." Nada meraih ponselnya dan mengetikan sebuah pesan untuk sang ayah. Pah, jemput Nada ya. Nada sakitnya jadi. Lalu send, pesan terkirim pada nomor tujuan. Gadis itu baru menoleh dan menyadari Adela yang begitu asyik dengan makanan dipangkuannya. Syukurlah karena Nada tak perlu repot-repot menghabiskan dua kotak nasi sekaligus, apalagi milik Zada.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN