“Masalah ini tidak perlu dibesar-besarkan. Nanti biar pihak bimbingan konseling yang akan mengurusnya.”
Kepala sekolah berambut plontos di atas, tapi sedikit gondrong di sisi kanan, kiri dan belakang kepalanya itu lagi-lagi mengeluarkan statement yang sama. Selalu membela Alfian sang biang kerok. Saat ini sang kepala sekolah dan beberapa guru lainnya sedang berada di tempat kejadian perkara. Onggokan kaca yang sudah disapu ke pinggir itu kini menjadi saksi bisu. Tumpukan batu-batu itu pun juga sudah dikumpulkan di satu tempat.
Sang kepala sekolah menatap Rahma lagi. “Ingat pesam saya. Ini adalah masalah internal. Jangan sampai Bu Rahma mendatangi lagi kediaman Sanjaya karena kejadian ini.”
Rahma mengembuskan napas kasar. Dia mengepalkan tangannya kuat-kuat, menatap sang kepala sekolah, lalu menganggukkan kepala.
“Baik, Pak!”
Respon Rahma membuat beberapa rekan sesama guru sedikit terkejut. Biasanya Rahma pasti akan sangat vokal menyuarakan penolakannya. Biasanya Rahma akan bersikeras memaksa pihak sekolah untuk menghukum Alfiano secara adil. Biasanya Rahma akan berteriak keras membeberkan kelakuan buruk Alfian yang memang sudah tidak bisa dibiarkan lagi.
Tapi sekarang.
Dia hanya tersenyum.
Mengangguk patuh.
Lalu menjawab mengiyakan.
Kepala sekolah tersenyum. “Bagus. Nah, kalau begini kan, enak. Sudah seharusnya Bu Rahma bersikap profesional seperti ini sejak awalnya. Hehehe.”
Rahma sudah sangat kesulitan memaksakan senyum di wajahnya, tapi perempuan itu tetap memaksakan diri. Ia tersenyum mendengar pujian yang penuh tipu muslihat itu.
“Segera kerahkan petugas untuk membereskan kekacauan ini! Kita juga harus mengganti kacanya sekarang juga. Ini bukan masalah besar. Ayo semua kembali bekerja!” sang kepala sekolah kembali bersabda.
Barisan guru-guru lainnya pun langsung mengekor sang kepala sekolah dari ruang kelas itu. Meninggalkan Rahma seorang diri yang kini tertegun dengan rasa getir di hatinya. Bagaimana bisa ada institusi pendidikan seperti ini?
SMA Sanjaya layaknya sebuah fatamorgana. Orang-orang akan memandangnya sebagai sebuah SMA paling bergengsi. Dipenuhi oleh anak-anak berkualitas nan lekat dengan prestasi. SMA Sanjaya digadang-gadang sebagai institusi terbaik seantaro negeri, tapi ternyata…
Semua itu hanya sebuah kamuflase.
Ada banyak kebobrokan yang disembunyikan dari publik.
Ada banyak kecurangan yang terjadi di sana sini.
Rahma terduduk lemas di kursinya. Tatapannya terlihat sayu sekali. Dia kemudian mengeluarkan handphone-nya. Jemarinya menggulir daftar kontak yang ada di handphone itu. Ia terus menggeser nama demi nama.
Hingga kemudian jemari itu terhenti di sebuah nama.
Rahma meneguk ludah. Saat ini dia sangat membutuhkan sosok itu.
Sosok yang tiba-tiba saja menghilang. Sosok yang tiba-tiba saja tak pernah lagi memberi kabar padanya sejak satu tahun terakhir. Sosok yang hingga detik ini masih dinanti kedatangannya.
Rahma menatap sendu. Seiring kemudian bibirnya berbisik lirih.
“Sebenarnya kamu ada di mana …?”
.
.
.
Aya sedang berada di ruang konsultasi bersama salah satu staf bagian kesiswaan. Aya mempertanyakan tentang peluang beasiswa untuk melanjutkan pendidikannya nanti di jenjang kuliah.
“Jadi kamu ingin mendapatkan beasiswa penuh?” staf yang bekerja sekaligus sebagai guru itu menatap Aya.
Aya mengangguk. “Maunya saya begitu, Bu.”
Wanita cantik berusia sekitar 30 tahun itu mengangguk. Rambutnya bergelombang dan tergerai hingga ke pundaknya. “Hmm … berarti target kamu adalah beasiswa Bidikmisi. Beasiswa Bidikmisi adalah bantuan penuh kepada mahasiswa berprestasi yang tidak mampu atau memiliki ekonomi yang kurang baik. Singkatnya, kalau kamu bisa mendapatkan beasiswa itu, semua biaya kuliah kamu hingga tamat akan ditanggung oleh pemerintah. Selain itu kamu juga akan mendapatkan uang saku perbulannya, tapi biasanya uang saku itu akan cair per semester alias sekali enam bulan.”
Aya menatap penuh harap. “Apa saya bisa mendapatkan beasiswa itu, Bu?”
Wanita itu tersenyum. “Peluang tentu saja ada. Akan tetapi … penerimaan beasiswa itu tergantung dari kuota sekolah dan juga kuota universitas yang kamu tuju nantinya. Persaingannnya cukup sengit, karena itu berarti kamu akan bersaing dengan anak-anak dari seluruh Indonesia”
Glek.
Aya sedikit gugup.
“Tapi tidak ada yang tidak mungkin … apalagi kamu adalah murid dengan prestasi terbaik di sekolah ini.”
Aya mengangguk tanda mengerti, tapi perasaan gamang itu tetaplah ada.
“Apa ada lagi yang ingin kamu tanyakan?”
Aya menggeleng. “Tidak ada lagi, Bu… terima kasih atas waktu dan juga untuk penjelasannya. Saya permisi dulu.”
“Iya. Silakan.”
Aya keluar dari ruangan konsultasi itu seraya mengembuskan napas panjang. Aya kembali memikirkannya. Itu berarti Aya juga akan bermain dengan faktor keberuntungan. Tidak ada gambaran pasti berapa persentase dia bisa mendapatkan beasiswa itu.
Semuanya abu-abu.
Tidak jelas.
Penuh dengan ketidakpastian.
Aya terus melangkah dalam pekatnya lamunan. Hingga ia tidak sadar bahwa ada seseorang yang berdiri di hadapannya. Karena tidak melihat, Aya pun menabrak sosok itu.
“M-maaf!” ucap Aya.
Tatapan Aya terpaku pada sepasang kaki di depannya.
Glek.
Aya meneguk ludah. Sepertinya dia mengetahui siapa pemilik sepatu itu. Aya perlahan mengangkat wajahnya dan ternyata dugaannya benar.
“Daus!”
Aya menatap kaget. Dia langsung gugup dan bermaksud hendak pergi.
Tapi Daus denggan cepat menghalangi jalannya.
“Kamu mau menghindar lagi?” tanya Daus.
Aya yang menundukkan kepala itu meringis pelan. Sejak peng-akuan Daus hari itu, Aya mulai menjauhinya. Aya tidak memberikan jawaban sama sekali. Dia juga tidak memberi tanggapan setelah Daus mengakui perasaannya.
Aya memilih menghindar. Sudah beberapa hari ini ia selalu main kucing-kucingan dengan Daus. Setiap paginya Aya menunggu bus dengan perasaan was-was. Ia akan cepat-cepat bersembunyi jika melihat motor Daus dari kejauhan. Saat Daus ingin mengajaknya berbicara, Aya akan langsung menghindar dan melarikan diri dengan berbagai alasan.
Tapi sekarang …
Ia tertangkap sudah.
“A-aku harus ke perpustakaan!” Aya lagi-lagi mencoba menghindar.
Aya segera melangkah pergi, tapi Daus menarik pergelangan tangannya.
Deg.
“Aya … please ….” ucap Daus lirih.
Aya tertegun dengan detak jantung berpacu. Ia berbalik pelan dan menatap pergelangan tangannya yang kini masih berada dalam genggaman Daus.
“M-maaf …!” Daus langsung melepaskan tangan itu. “Aku hanya mau bicara sebentar sama kamu.”
Aya menatap gugup. “Bicara apa?”
Daus menggaruk leher belakangnya sebentar. Giliran lelaki itu yang terlihat canggung dan ragu. “T-tentang yang aku katakan hari itu….”
“Aku akan menganggap tidak pernah mendengarnya!” Aya langsung memotong ucapan Daus.
Deg.
Daus terpana. “M-maksud kamu?”
Aya tersenyum. “Maafin aku… tapi aku akan menganggap tidak pernah mendengar apa yang kamu ucapkan saat itu dan kamu juga jangan mengulanginya lagi.”
Daus tertohok dengan da-da yang terasa sesak.
Apa sekarang Aya sedang menolaknya?
“Aku masih ingin berteman sama kamu,” ucap Aya lirih.
Daus yang tadi terpekur mengangkat wajahnya menatap Aya. Gadis itu terlihat gugup, tapi ia tersenyum menatap Daus.
“Kamu adalah salah satu teman baik aku sejauh ini dan aku nggak mau merusak pertemanan kita. Kamu sangat baik. Kamu selalu peduli. Aku sangat senang berada di sisi kamu. Tapi … aku tidak bisa lebih dari itu.” Aya tersenyum
Daus masih mendengarkan penjelasan Aya.
“Karena untuk orang seperti aku … jatuh cinta adalah sebuah kemewahan. Aku belum punya waktu untuk itu. Ada hal lain yang harus aku kejar. Ada mimpi yang ingin aku wujudkan. Mungkin alasan aku ini terdengar klise, tapi … aku benar-benar menghargai perasaan kamu. Itulah kenapa aku akan menganggap tidak pernah mendengarnya. Dengan begitu kamu tidak akan merasa malu dan kita tetap bisa berteman seperti biasanya,” jelas Aya.
Hening.
Daus masih terpana. Hingga kemudian Daus terbersit menahan tawa. Dia menutup mulutnya dengan kepalan tangan.
Aya pun menatap bingung. “K-kenapa kamu malah ketawa?”
Daus tersenyum. “Karena ekspresi kamu saat ini benar-benar sangat lucu. Kamu terlihat sangat te-gang sekali.”
Aya menunduk malu, tapi kini Daus menatapnya lekat-lekat dengan senyum melengkung di bibirnya.
“Inilah alasan kenapa aku selalu kagum sama kamu. Kamu begitu dewasa dan juga realistis,” tukas Daus.
Aya menatap Daus. “K-kamu nggak marah, kan?”
Daus tertawa. “Big no! Baiklah … aku setuju. Aku juga akan menganggap bahwa aku belum pernah mengatakannya.”
Aya mengernyit. Ada satu kata yang cukup ganjil dari kalimat Daus. “Maksudnya kamu mengganggap tidak pernah mengatakannya, kan?”
Daus menggeleng. “Bukan tidak pernah, tapi BELUM PERNAH.”
Deg.
Daus tersenyum lagi. Senyuman yang manis sekali dan Aya pun tidak bisa menampik pesona itu.
“Belum … Itu artinya suatu saat nanti aku akan mengatakannya lagi.” sambung Daus.
Glek.
Aya membeku.
“Tenang saja. Aku mengerti apa yang jadi alasan kamu.” Daus mengembuskan napas lega.
Aya mengangguk. “Syukurlah.”
Daus melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. “Masih ada lima belas menit lagi sebelum waktu istirahat habis.”
“Terus kenapa?” tanya Aya.
Daus menyeringai. “Temenin aku makan seblak di kantin. Biar aku yang traktir.”
Eh.
Aya melotot. Ia masih merasa canggung. “T-tapi ….”
“Eeeeh …!” sergah Daus. “Nggak ada tapi-tapian! Anggap aja ini sebagai permintaan maaf kamu.”
“Tapi aku udah bawa bekal!”
Daus menggeleng. “Aku nggak mau tau.”
Daus langsung memegang kedua pundak Aya, memutar tubuh gadis itu, lalu mendorong lagi kedua pundak Aya itu dari belakang.
“Ayo kita ke kantiiiiin …!” ucap Daus dengan nada riang.
.
.
.
Margaretta terlihat sedang duduk di depan meja riasnya saat terdengar suara ketukan pintu di depan sana. Sosok yang kini menjatu ratu di kediaman Sanjaya itu tengah sibuk menata berlian koleksinya ke dalam berbagai kotak yang kini berjejer di atas meja rias. Wanita yang selalu tampil modis setiap harinya itu memiringkan wajahnya sebentar. Menunggu suara ketukan pintu itu terdengar lagi.
Tok.
Tok.
Tok.
“Ma … ini aku! Buka pintunya … aku mau bicara!”
Suara itu akhirnya membuat Margaretta bangun dari duduknya dan segera membukakan pintu.
“Iya iya … tunggu sebentar.”
Margaretta segera membukakan pintu itu dan langsung disambut dengan tatapan marah dari putranya, Dino.
“Kenapa kamu ada di sini? Harusnya kamu ada di kantor sekarang,” sergah Margaretta.
Dino menatap gusar. “Aku sengaja pulang untuk bicara sama Mama.”
Margaretta menghela napas panjang, lalu melipat tangannya. “Kenapa? Kamu mau marahin mama lagi?”
Dino menyapu wajahnya dengan telapak tangan. Ia memerhatikan keadaan sekitar terlebih dahulu sebelum mulai berbicara. Memastikan tidak ada yang melihat dan
“Aku bener-bener nggak ngerti sama Mama … kenapa Mama masih aja peduli sama Alfian! Dia itu selalu kurang ajar, Ma!” pekik Dino.
Margaretta langsung menarik putranya itu ke dalam kamar dan menutup pintu itu rapat-rapat.
“JAGA UCAPAN KAMU!”
Dino terperangah. “Kenapa …? sebenarnya kenapa Mama selalu bersikap bodoh seperti itu?”
Margaretta mengembuskan napas gusar. “Kamu pikir mama ngelakuin ini untuk siapa lagi kalau bukan untuk kamu?”
Dino mengernyit bingung. “Untuk aku?”
Margaretta berbalik melangkah mendekati meja riasnya. Jemarinya bergerak menyentuh deretan perhiasan mewah yang berkilauan.
“Kamu pikir kenapa kita bisa mendapatkan semua ini, ha?”
Dino masih tidak mengerti dengan ucapan sang mama.
Margaretta berbalik dan menatap Dino lagi. “Semua itu karena papa kamu percaya … kalau mama benar-benar menyayangi putranya yang tengil itu.”
Dino terkejut melihat raut wajah sang mama yang berubah geram.
“Hah … sangat melelahkan. Anak bandel dan super bodoh itu selalu saja membuat masalah. Tapi … mama harus terus mengikuti permainannya.”
Dino melangkah mendekat dengan tatapan tak percaya. “Jadi selama ini ….”
“Ya. Mama sudah berhasil menumbuhkan rasa percaya Handoko. Itulah kenapa dia menganggap keberadaan kamu. Jadi ke depannya jangan lagi tunjukkan sikap seperti itu! Jangan sesekali menunjukkan ketidaksukaan kamu pada Alfian seperti yang kamu lakukan kemarin itu. Kita hanya perlu bersikap semanis mungkin. Bertindak sebagai korban ….”
“A-aku ….” Dino tidak bisa berkata-kata.
Margaretta mendekat dan mengelus pipinya. “Semua mama lakukan untuk kamu … Hanya ini yang bisa mama lakukan untuk memberikan masa depan yang baik untuk kamu! Mama bahkan rela memberikan nyawa mama agar kamu bisa hidup bahagia.”
Dino tertegun. Sang mama menatapnya dengan bola mata bergetar. Sorot mata yang penuh ambisi itu terlihat sangat jelas. Margaretta bahkan terlihat seperti orang yang berbeda. Tidak ada lagi tatapan lembut dan senyum yang terlihat lemah seperti sebelumnya.
“Haaah … bukankah menyenangkan melihat konflik ayah dan anak itu setiap hari?” tanya Margaretta.
Dino terdiam. Dia memang membenci Alfian, tapi …
Dia juga tidak menyangka sang mama adalah dalang dibalik semuanya.
“Mama akan terus bersikap baik padanya dan semua itu membuat Alfian semakin menjadi pembangkang. Dan hasil akhirnya …Dia akan terus menjadi anak nakal dan tidak bisa diandalkan. Dia tidak akan pernah mendapatkan kepercayaan dan juga kesempatan dari papanya. Saat itulah kamu akan terus maju… kamu yang akan dilihatnya. Kamu yang akan menjadi putra kesayangannya.”
Margaretta menyeringai seraya masih menge-lus pipi Dino. “Dan kamu yang akan mendapatkan semuanya ….”
.
.
.
Bersambung …