Hidupnya berubah 180 derajat semenjak pindah ke kediaman Sanjaya. Awalnya Dino merasa sangat senang. Masih teringat jelas bagaimana ia sangat bersemangat saat pindah ke rumah yang terlihat seperti istana itu. Dino dan Margaretta akhirnya meninggalkan flat mereka yang sempit dan sesak. Kehidupan ibu dan anak itu cukup menyedihkan. Bagi Dino semua terasa seperti sebuah keajaiban.
Suatu malam saat rintik hujan turun, ia dan sang mama sedang menikmati makan malam mereka. Saat itulah sang mama mengatakan bahwa ia akan menikah dengan atasannya.
Dino tentu terkejut pada awalnya.
Saat itu Dino baru saja menyelesaikan pendidikan S1-nya. Berkat otaknya yang encer, ditambah dengan kemauan keras dalam belajar, Dino bisa mendapatkan beasiswa penuh dan menyelesaikan gelar Sarjana Ekonomi-nya tepat waktu. Ia bahkan bisa memangkas waktu tamat dengan hanya tiga setengah tahun saja. Dino juga keluar sebagai lulusan terbaik di angkatannya.
Semua kerja kerasnya berakhir dengan baik. Usaha ternyata memang tidak pernah mengkhianati hasil dan Dino sangat yakin dengan hal itu. Semua ia lakukan demi sang mama. Dino ingin membahagiakan sang mama yang selama ini sudah susah payah membesarkannya dan juga memberikannya kehidupan.
Kala itu Dino sangat bersemangat mengantarkan surat lamaran ke sana ke mari.
Ia tidak kenal lelah.
Berminggu-minggu ia lalui untuk selalu siaga mencari info tentang lowongan pekerjaan dan segera mengantarkan surat lamaran ke sana.
Tapi ternyata …
Malah sang mama yang dilamar oleh atasannya.
Awalnya Dino merasa takut.
Tapi kemudian ia mulai melakukan pendekatan dengan Handoko. Sang calon papa sambung begitu ramah padanya. Mereka juga cepat akrab dan sering terlibat obrolan seru. Handoko pun sangat menyukai Dino karena memang Dino cukup atraktif dan cerdas.
Proses pendekatan itu pun berjalan lancar hingga Dino akhirnya percaya dan merasa yakin bahwa Handoko tulus pada sang mama. Konflik sempat muncul saat mereka mengadakan pertemuan makan malam pertama kali. Saat itulah Alfian mengetahui bahwa ia akan memiliki adik tiri, yaitu Alfian.
Saat itu pun Alfian sudah berulah. Dia menentang rencana pernikahan papanya itu.
Ada banyak konflik yang terjadi setelah itu.
Tapi kemudian sang Margaretta dan Handoko meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja. Dino pun tidak bisa berbuat banyak. Dia juga tidak bisa menentang keinginan sang mama untuk menikah. Toh, sang mama memang telah mendedikasikan hidupnya sebagai single parent sejak Dino masih berada di dalam kandungannya.
Dino … hanya ingin sang mama bahagia.
Dan kemudian pernikahan itu pun terlaksana.
Resepsi pernikahan digelar sederhana, tapi tetap megah dan sangat elegan. Hari itu Dino sangat senang melihat sang mama yang terus tersenyum. Tak pernah sebelumnya ia melihat sang mama tersenyum lepas seperti itu. Binar matanya melambangkan kebahagiaan yang teramat sangat.
Dan sejak hari itu pula … kehidupannya pun ikut berubah.
.
.
.
Dino mengembuskan napas panjang. Ia keluar dari kamar sang mama dengan langkah gontai. Warna hitam samar di bawah kedua matanya itu sudah cukup menjelaskan bahwa Dino kurang tidur beberapa waktu belakangan ini. Sejak menduduki posisi baru di kantor, ada begitu banyak hal yang harus ia kerjakan. Semua itu terasa sangat melelahkan, namun Dino bertekad untuk menunjukkan bahwa dirinya memang layak. Dirinya memang mampu berada di posisi itu.
Setiap harinya ia bekerja dengan sangat keras. Ia rela memangkas jam tidurnya. Dan semua itu …
Juga tak lepas dari dorongan sang mama yang selalu memintanya untuk jadi ‘sempurna’ dalam hal APAPUN.
Suara dering handphone menyadarkan Dino dari lamunannya.
“Iya. Kenapa …? baiklah, saya akan kembali ke kantor,” pungkasnya kemudian.
Dino mengan-cingkan kembali jas-nya, lalu bergegas pergi. Sang sopir yang menanti di luar bergegas membukakan pintu untuknya. Dino duduk di kursi belakang dan langsung memejamkan mata.
“Kita kembali ke kantor,” ucapnya dengan mata terpicing.
“Baik, Pak!”
Dino membuka mata sebentar. “Bangunkan saya ketika sudah sampai….”
.
.
.
Malam ini hujan turun lagi…
Aya sedang asyik belajar di kamarnya. Kamar yang mungil itu terlihat sesak, tapi sangat bersih. Ukuran kamar itu mungkin hanya satu setengah meter kali dua meter. Sempi sekali. Hanya bisa muat satu kasur yang hanya diletakkan di lantai, lalu sebuah meja rendah di sampingnya. Aya belajar di sana dengan duduk bersila. Meski sempit, kamar itu hangat dan nyaman. Sang bapak sudah malapisi lantainya dengan kayu. Setelahnya Aya juga memakai karpet terlebih dahulu, baru meletakkan kasur dan meja belajarnya.
Di dinding kamar itu dibuatkan juga rak ambalan untuk buku oleh sang ayah. Deretan buku koleksi milik Aya berjejer rapi. Jika dihitung ada sekitar lima tingkat dan semua rak itu penuh. Semua buku-buku itu adalah harta karun paling berharga bagi Aya.
Di sisi dinding yang lain, terlihat deretan piagam yang juga tergantung rapi dengan figura sederhana. Di bagian bawahnya ada satu rak ambalan lagi sebagai tempat piala dan berbagai trophi penghargaan milik Aya.
Sedangkan di dinding sisi tempat tidurnya dipenuhi oleh memo-memo yang tertempel penuh warna warni. Aya juga membaginya menjadi beberapa kategori. Seperti pengingat tugas sekolah, ringkasan catatan yang dirasa penting, dan juga diisi dengan berbagai kata-kata motivasi untuk menyemangati dirinya sendiri.
Bersih dan nyaman.
Adalah dua kata yang tepat untuk menggambarkan kamar mungil itu.
Aya masih fokus dengan buku yang terkembang di depannya. Suara hujan semakin terdengar deras saja. Aya mengembuskan napas pelan, lalu meregangkan lehernya yang terasa kaku sejenak.
“Hujan lagi … dan Bapak belum pulang juga,” bisiknya lirih.
Aya menutup buku pelajarannya, mematikan lampu meja dan keluar dari kamar.
Di ruang depan sudah tersedia makan malam di atas meja. Sayur bayam yang dimasak Aya sepertinya sudah dingin. Telur dadar yang tadi terlihat gen-dut itu pun juga sudah mengempis.
Aya beranjak mendekati jendela kaca kecil di samping pintu. Ia menyibak sedikit tirai itu dan mengintip keluar sana,
Gelap.
Dan hujan sangat deras sekali.
Aya mulai cemas.
Suara petir membuatnya kaget dan langsung menjauh dari sana. Aya mengatur napasnya sebentar. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 23.00 malam.
“Apa malam ini Bapak nggak bisa pulang karena hujan?”
Aya hanya bisa menunggu. Ia akhirnya duduk di depan meja makan itu. Aya duduk bersila dengan tangan kanan menopang dagunya.
Suara aneh dari perutnya itu terdengar jelas.
Aya kelaparan, tapi ia tidak mau makan duluan. Aya tetap ingin menunggu sang bapak terlebih dahulu. Aya termenung. Ia memikirkan lagi tentang tawaran sang bapak tempo hari.
Bersama hujan …
Ia mulai berpikir ulang.
Untuk mendapatkan beasiswa dari pemerintah, maka saingannya sudah jelas sangat banyak. Aya harus bersaing dengan seluruh siswa se- Indonesia, karena sistemnya memang seperti itu. Namun jika ia masuk ke SMA yang ditawarkan sang bapak …
Itu berarti saingan Aya hanya anak-anak yang ada di sana bukan?
“Haaaah … aku harus bagaimana?” bisiknya lirih.
Kegalauan itu langsung mempermainkan pikirannya. Aya tentu tidak boleh gegabah dalam mengambil keputusan. Namun di sisi lain dia juga harus memilih yang paling realistis. Yang paling masuk diakal. Yang paling bisa dikejar kemungkinannya.
Kelopak mata itu terlihat semakin sayu. Aya juga berkali-kali menguap lebar.
Hujan yang tak junjung reda.
Sang bapak yang tak juga kunjung pulang.
Udara yang terasa dingin.
Akhirnya membuat Aya tertidur.
Aya terlelap dengan posisi bertopang dagu. Sekilas dia memang terlihat seperti seorang gadis kuat yang hebat. Namun …
Aya tetaplah seorang gadis berusia 17 tahun dengan segala kerapuhannya.
Aya terlelap.
Ia mungkin sudah mulai memasuki alam mimpi.
Tapi kemudian…
Kedua mata yang terpejam itu mengernyit.
Dingin.
Dan basah.
Aya membuka matanya perlahan dan seketika langsung terkejut.
“YA TUHAAAN …!!!”
Ia langsung memekik saat menyadari air sudah tergenang di lantai rumahnya. Air keruh berwarna cokelat itu bahkan sudah bisa membuat sebuah asbak terombang ambing bagai perahu di sungai.
Aya menatap panik, ia kemudian segera berlari ke kamarnya. Berharap air belum sampai ke sana. Akan tetapi …
Air sudah merembes dan menggenangi kamarnya. Dia berlari mengambil sebuah buku yang kini mengapung.
Basah.
Aya membalik halaman yang basah itu dan sontak menangis saat melihat tulisan di sana tidak bisa lagi terbaca.
Tugasnya.
Ia sudah bersusah payah menyelesaikan tugas itu.
Dan sekarang air bah yang meluap sudah menghancurkannya.
Aya merasa kesal, sedih, dan marah. Semua perasaan itu berkecamuk. Ia segera bergerak untuk mengamankan barang-barangnya ke tempat yang lebih tinggi. Aya menggulung kasurnya yang sudah basah itu dan mengopernya keluar. Meletakkan di atas kursi plastik yang juga sudah terlihat rapuh. Ia balik lagi ke kamar, mengangkat ranselnya yang sebagian sudah terendam.
Aya mengemasi semuanya dengan bibir bergetar. Air mata sesekali masih mengalir, tapi ia berusaha menahannya.
Suara helaan napas yang sesak itu terdengar jelas.
Aya menumpuk buku-bukunya, lalu meletakkannya ke atas rak.
Namun ….
Tiba-tiba saja rak itu ikutan oleng. Buku-buku itu perlahan berjatuhan ke dalam genangan air seperti kerikil yang tercemplung ke dalam kolam. Aya menatap panik. Ia berusaha menahan rak itu, mendorongnya ke atas, tapi musibah seakan tak berhenti. Sisi sebelahnya malah lepas dan mengempas air. Memercikkan air hingga wajah Aya pun ikutan basah.
Semua buku-buku itu kini bertumpuk.
Sebagian terendam
Sebagian lagi terlihat dipermukaan.
Aya menutup mulutnya dengan telapak tangan.
Tapi…
Tangis itu pun tak terbendung lagi.
Aya terhuyu. Menangis tanpa suar. Tapi isaknya sesekali terdengar menyayat hati. Tetesan air yang merembes dari langit-langit pun kini juga menitik. Berpacu dengan air matanya.
Keadaan seperti itulah yang kadang membuat Aya bertanya-tanya.
Kenapa…?
Kenapa hidupnya sangat menyedihkan seperti ini ….?
.
.
.
Pagi ini Aya berangkat sekolah dengan lesu. Ia bahkan terpaksa mengenakan setelan olahraga karena setelan seragamnya terendam banjir. Semalaman dia juga tak lagi tidur hingga pagi karena sibuk membereskan kekacauan itu. Sang bapak yang pulang ketika subuh akhirnya ikut membantu. Pasangan ayah dan anak itu cukup kewalahan menguras air yang sudah tergenang di seluruh rumah. Mereka harus membersihkan semuanya. Aya juga langsung mencuci semua yang perlu dibasuh.
Melelahkan, tapi ia tetap tersenyum di hadapan sang bapak.
Sebelum berangkat ke sekolah, Aya juga menjemur buku-bukunya atas genteng. Berharap buku-buku itu masih bisa digunakan nantinya. Ketika tiba di persimpangan jalan, rupanya Daus sudah menunggu di sana.
“AYAAA …!!!” lelaki itu bersemangat melambaikan tangannya.
Aya tersenyum lemah. Langkahnya gontai. Raut lesu itu kentara sekali.
“Kamu sakit?” tanya Daus.
Aya menggeleng. “Nggak kok. Aku cuma kurang tidur aja. Semalam kebanjiran.”
Daus terkejut. “T-terus gimana sekarang?”
“Banjirnya cepat surut, tapi ya gitu deh ….”
“Semua baik-baik aja, kan?”
Aya terlihat sedih. “Sebenarnya aku takut pergi ke sekolah hari ini.”
“Kenapa?”
“Tugas ringkasan yang disuruh Pak Wandi basah dan hancur. Beliau mana pernah mau mendengar alasan.” Aya menunduk cemas.
Daus menghela napas kasar. “Udah jangan dipikirin dulu. Sekarang ayo kita berangkat.”
.
.
.
Aya duduk gelisah dikursinya.
Saat ini pak Wandi, guru sejarah yang terkenal ganas sedang memeriksa tugas ringkasan semua murid. Sembari memeriksa tugas, ia juga memberikan soal latihan. Konsentrasi Aya buyar. Dia tidak bisa fokus menyelesaikan soal-soal itu.
Karena…
Biasanya pak Wandi akan menyuruh siswa yang tidak mengumpulkan tugas untuk keluar dari kelas.
Hanya masalah waktu.
Tumpukan buku yang ada di hadapan pak Wandi terus berpindah dari sebelah kanan ke sebelah kiri, menandakan bahwa ia sudah selesai memeriksanya.
Aya pun semakin cemas.
Sekarang hanya tinggal menunggu waktu saja.
Sebentar lagi pak Wandi pasti akan bersuara memanggil siapa yang tidak mengumpulkan tugasnya. Jemari Aya yang sedang menulis itu pun mulai bergetar saat ia melihat pak Wandi sudah selesai memeriksa dan sedang melihat daftar absennya.
Aya meneguk ludah. Sebelumnya dia juga sudah kena tegur karena memakai seragam olahraga. Hari sialnya memang. Mau apa lagi ….
Tidak ada yang bisa ia lakukan selain pasrah.
“Jadi ada satu orang yang tidak mengumpulkan tugas!” suara pak Wandi yang terdengar berat memecah keheningan.
Murid-murid yang tadinya fokus mulai saling pandang dan menerka-nerka.
“Hah! Satu orang?”
“Siapa?”
“Siapa?”
“Gi-la … masih ada yang berani nggak bikin tugas.”
Aya tersenyum dengan aliran napas yang terasa sesak. Dia meletakkan penanya dan bersiap untuk keluar tatkala pak Wandi menyebut namanya. Sosok guru berdarah batak itu memang terkenal sangat tegas. Tapi memang, berkat ketegasan itu hampir semua murid-muridnya mendapatkan nilai yang memuaskan. Sisi positif lainnya adalah … pak Wandi mengutamakan agar pelajarannya itu tertinggal di otak murid-muridnya. Beliau juga sangat murah memberikan nilai yang tinggi.
Tapi…
Jangan coba sekali-kali tidak mengerjakan tugas dan sebagainya.
Tidak akan ada kata ampun.
Mereka akan mendapatkan hukuman, kemudian disuruh lagi membuat tugas sebanyak dua kali lipat.
Pak Wandi terlihat membuka bibirnya, saat itu Aya perlahan hendak bangun.
“FIRDAUS …!”
Eh.
Aya melotot kaget. Ia langsung beralih melihat Daus yang kini menundukkan kepala di bangkunya.
“Silakan keluar dari kelas saya!” suara pak Wandi kembali menggema.
Aya menatap nanar. Ia mengikuti setiap langkah Daus dengan tatapan matanya.
Kenapa?
Kenapa malah nama Daus yang disebutkan?
“Cahaya … kenapa kamu berdiri?” sergah pak Wandi.
Aya terkejut dan duduk kembali. “T-tidak ada apa-apa, Pak,” jawabnya kemudian.
.
.
.
Bersambung …