Tuan Muda dan Upik Abu 10 - Dendam Yang Bertumpuk

2083 Kata
“EMANG DASAR LO ANAK SE-TAN!” umpatan itu langsung menyambut kedatangan Alfian. Riski menatap jengkel, tapi jelas ia tidak berani marah lebih jauh kepada sosok tuan muda itu. “Gara-gara lo … gue tadi diinterogasi selama dua jam sama bokap lo! Gila … untung gue masih bisa keluar hidup-hidup dari rumah lo!” omel Riski lagi. “Lo beruntung karena gue mengaku nggak tahu lo pergi ke mana. Kalau gue ngomong… pasti pasukan khusus bakalan datang mengobrak-abrik tempat itu untuk menyeret lo dari sana!” Alfian tidak merespon sama sekali. Wajahnya terlihat lelah. Matanya kini mengantuk. “Mana kunci motor gue!” pinta Riski. Alfian merogoh kantongnya dan menyerahkan kunci motor pada Riski. Riski mengambil kunci itu masih sambil menggerutu tak jelas. Lalu kemudian ia menyadari sesuatu saat memerhatikan wajah Alfian. “Heh An-jir … kenapa lo bonyok kayak gini. Lo berantem lagi?” “Gue boleh masuk dulu nggak sih?” tanya Alfian. Eh. Riski menyeringai, lalu membukakan pintu di belakangnya lebar-lebar. “Welcome to my house ….” Alfian melangkah masuk seraya memerhatikan keadaan sekitar. Suasana rumah Riski terlihat sunyi. Rumah dengan interior berwarna hijau itu begitu lengang. Biasanya terdengar suara gaduh dari adik kembar Riski yang selalu meribut. “Ortu sama adik-adik lo mana?” tanya Alfian. “Mereka semua ke Samarinda. Bokap gue lagi ada bisnis resort di sana.” Alfian tersenyum senang. “Berapa hari?” “Tiga harian.” “Berarti selama itu gue aman di sini dong?” Riski meringis. Dia harusnya tidak memberitahukan hal itu pada Alfian. Sebenarnya tak masalah jika Alfian menginap di rumahnya. Tapi … yang menyebalkan adalah Alfian akan bersikap seperti tuan rumah dan Riski akan menjelma sebagai babu yang siap sedia melayani semua kebutuhannya. “Ya nggak masalah sih. Cuma gue males aja kalo pasukan khusus bokap lo dateng ke sini,” jawab Riski. “Mereka nggak akan dateng ke mari karena takut ama bokap lo!” Riski mengangguk. “Bener juga sih. Soalnya bokap lo lagi mau ada kerja sama bisnis sama bokap gue.” “Itulah kenapa gue mempertahankan pertemanan kita. Karena lo masih ada gunanya.” Alfian mengangkat alisnya. “Sialan lu emang!” umpat Riski. “Lo berantem ama siapa?” tanya Riski lagi. “Gue laper.” jawaban Alfian tidak menyambung sama sekali. “Nggak ada makanan. Kalo mau lo pesen aja! Berantem ama siapa lo? Samuel?” “Iya.” Riski berdecak pelan. “Ckckckc kapan kalian bisa berdamai sih?” “Ngab ….” Alfian beralih menatap Riski. “Mending sekarang lo nggak usah bacot. Pertama gue pengen mandi. Tolong lo siapin bak mandi pake air anget. Gue mau berendem. Kedua lo siapin baju ganti buat gue. Ketiga gue laper … gue mau setelah mandi, makanan udah tersedia. And last … gue mau tidur di kamar tamu. Gue nggak mau di kamar lo karena bau sper-ma di mana-mana!” Riski terpana. Sedangkan Alfian beranjak duduk di sofa untuk melepas penat. “Sebenernya yang punya rumah siapa, sih …!?” Riski mendumel, tapi kemudian ia mulai mengerjakan perintah dari sang paduka. . . . Alfian berendam dalam bak mandi yang kini dipenuhi oleh busa berwarna ungu. Aroma lavender membuat dirinya merasa rileks. Alfian mengangkat kakinya. Sepertinya lelaki itu ber-telan-jang bulat dan tidak mengenakan apa-apa sekarang. Saat busa-busa itu bergerak, terlihat lekukan tubuh Alfian yang atletis. Sebuah tato bergambarkan naga juga terlihat di pinggang sebelah kanannya. Alfian menyapu wajahnya dengan telapak tangan. Otot lengannya terlihat jelas saat ia melakukan gerakan itu. Ia mengembuskan napas gusar. Alfian kembali teringat pada sosok gadis yang sudah berani melemparinya dengan telur. “Siapa dia? Apa dia adik dari guru tengil itu?” bisiknya pelan. Alfian masih merasa kesal saat mengingatnya. Dan dia tidak bisa membiarkan dirinya dipermalukan seperti itu. Alfian mengangguk-angguk pelan. “Lihat saja besok. Aku akan membuat guru tengik itu menyesal.” . . . Rahma menghela napas panjang sebelum memasuki gerbang SMA Sanjaya. Ia berdiri di depan gerbang dengan perasaan gamang. Beberapa bulan yang lalu ia merasa sangat senang bisa menjadi bagian dari keluarga besar SMA itu. Sebuah SMA elit yang terkenal dengan prestasi-prestasinya yang luar biasa. SMA Sanjaya adalah sekolah swasta yang sangat digandrungi oleh kalangan menengah ke atas. SMA Sanjaya begitu megah. Gedung-gedungnya berdiri di tanah yang luas di perbukitan. Suasananya sangat asri, ada banyak hamparan pohon-pohon cemara dan rumput lembut di halamannya. Sekilas bangunan-bangunan itu lebih terlihat seperti kampus. Gedungnya rata-rata terdiri dari lima lantai. Kantor majelis guru dan kepala sekolah memiliki desain yang unik. Bangunanya dipenuhi kaca besar dan terlihat seperti gedung perkantoran. Fasilitas lainnya pun juga sangat luar biasa. Ada gelanggang olah raga dengan fasilitas super lengkap hingga kolam renang. Laboratorium, perpustakaan yang sangat besar, kantin yang terlihat seperti restoran bintang lima. Rahma mengembuskan napas panjang lagi. Dia bahkan belum memulai hari ini. Tapi rasanya ia sudah teramat lelah. Tit … Tit … Suara klakson yang memekakkan telinga membuatnya terkejut. Rahma tergelinjang kaget dan segera menyingkir ke tepi. Ia menatap mobil mewah yang barusan lewat itu. Tak hanya satu atau dua. Deretan mobil mewah lainnya terlihat silih berganti menurunkan siswa SMA Sanjaya. Rahma meneguk ludah, lalu tersenyum tipis. “Sepertinya tempat aku memang bukan di sini. Tapi … aku tidak boleh menyerah. Oke. Semua pasti akan baik-baik saja bukan?” . . . “Selamat pagi anak-anak!” Rahma menyapa ramah begitu memasuki kelas. Tidak ada yang menyahut. Anak-anak yang ada di kelas itu masih asyik bercerita sesama mereka. Ada yang terlihat sibuk dengan handphone-nya. Ada yang bergelut. Ada yang tertawa dan ada juga yang tidur dengan sangat santai. Rahma meneguk ludah. Ia mencoba menenangkan kelas sekali lagi. “Anak-anak … sekarang kita mulai pelajarannya, ya? Kemarin Ibu sudah memberikan kalian tugas resume, kan? Sekarang tolong kumpulkan dulu tugasnya. Was wes wos…. Suasana kelas itu tetap gaduh tak menentu. Tak ada satu pun yang menghiraukan Rahma. Sang guru diperlakukan seperti mahluk ghoib yang tidak terlihat. Di ujung sana terlihat seoran siswa laki-laki yang tersenyum puas. Ia duduk santai dengan kedua kaki menyilang di atas meja. Siapa lagi kalau bukan Alfian. Rahma meniup wajahnya yang terasa panas. Ini masih terlalu pagi untuk emosi, tapi ia benar-benar merasa gerah dengan kelakuan murid di kelas itu. “APA KALIAN TIDAK MELIHAT SAYA ADA DI SINI, HA?” bentaknya kemudian. Suasana kelas hening sebentar. Tapi kemudian mereka meribut lagi. PLAK. Rahma mengempaskan buku yang ia bawa ke atas meja. Apa yang ia lakukan itu bisa mengalihkan perhatian semua murid yang kini diam dan menatap padanya. “Saya datang ke sini untuk mengajar kalian! Saya adalah guru kalian! Jadi tolong hargai saya!” Rahma berkata dengan helaan napas yang sesak. “Halaaah … pelajaran Ibu ngebosenin!” “Bener. Apa yang Ibu ajarin udah kita pelajarin semua di kelas tambahan bimbingan belajar. Jadi nggak ada gunanya lagi!” “Betul!” “Bener banget!” “Setuju!” “Gaya mengajarnya juga kuno lagi!” “HAHAHAHAHAHA …!” Komentar-komentar yang tidak sopan itu terdengar silih berganti. Rahma menekurkan kepala. Mencoba menahan segala gejolak yang kini terasa menyiksa. Ia berusaha tetap tenang meski hatinya kini ingin memaki. Ingin meneriaki semua anak-anak di kelas itu. Namun … Rahma tahu semuanya percuma. Membawanya ke kantor majelis guru pun tidak berdampak apa-apa. Semua menghiraukan pengaduannya. Semua bahkan tidak peduli dengan apa yang ia alami. Yang lebih menyedihkan adalah. Rahma yang justru mendapatkan peringatan dari pihak sekolah karena memarahi murid-murid itu. “Mending Ibu pulang aja, deh!” Alfian yang sedari tadi diam ikut bersuara. Rahma beralih menatap Alfian. Ia tahu bahwa semua ini adalah ulah Alfian. Karena pada awalnya hanya Alfian yang selalu bertingkah. Tapi kemudian Alfian mulai menghasut teman-temannya untuk melakukan hal yang sama. Alfian adalah raja di kelas itu. Semua siswa yang ada di kelas itu bahkan lebih mendengarkan apa yang Alfian katakan dibanding dengan apa yang dikatakan oleh guru-guru. Rahma tersenyum kecut, sedangkan Alfian tersenyum penuh kemenangan. Ingin rasanya ia menangis. Tapi hal itu tentu akan membuat anak-anak di kelas itu semakin mengolok-oloknya. Rahma memejamkan mata sejenak, lalu kemudian bergegas keluar dari ruang kelas itu. “YEEEEY …!” “HORE …!!!” “KITA BERHASIL TEMAN-TEMAN!” Terdengar teriakan girang yang menggema. Rahma yang berdiri di balik pintu tentu mendengarnya. Setetes bening meluncur pelan di kedua pipi. Rahma kesulitan menenangkan dirinya sendiri. Ia tak henti-henti menarik napas, lalu mengembuskannya. Rahma menyeka air mata yang melekat seraya mengangguk-anggukkan kepala pelan. “Aku tidak boleh lemah seperti ini. Ya … aku tidak boleh lemah.” Rahma memejamkan matanya sebentar, lalu kembali masuk ke dalam kelas. Eh. “K-kenapa? “Heh!” Anak-anak itu terlihat terkejut. Tak terkecuali Alfian. Rahma menatap murid-murid itu perlahan. “Sekarang keluarkan kertas satu lembar. Kita akan ulangan harian hari ini!” “HEEEH…!” “APAAA ..!?” “GILA …!” Ungkapan protes itu terdengar nyaring. Rahma tersenyum. “Ibu sudah mengingatkannya pada pertemuan kita sebelumnya.” “Nggak bisa gitu dong, Bu!” protes salah seorang siswa berbadan gembul yang duduk di bangku belakang. Rahma tersenyum. “Kenapa? Bukankah kalian semua sudah belajar dari tambahan kelas bimbingan? Harusnya semua akan jadi lebih mudah. Iya, kan?” Deg. Murid-murid itu kini melongo. Rahma sang guru muda itu sukses melakukan pembalasan telak yang membuat semuanya tak berkutik. “Ayo siapkan kertas kalian!” perintah Rahma lagi. Anak-anak itu saling menatap panik. Sebagian mulai ciut dan berangsur-angsur menyiapkan kertas mereka. Alfian menatap gusar melihat teman-temannya yang tidak lagi kompak. Ia langsung berdiri dan berteriak. “Hei … nggak bisa seperti ini dong!” Rahma tersenyum. “Bagi yang tidak berkenan boleh keluar dan tidak mengikuti ulangan harian ini. Tapi … akan dipastikan nilai kalian kosong dan tidak akan ada remedial sama sekali.” Jleb. Ancaman itu sukses membuat semuanya ketar-ketir. Mereka tentu takut dengan nilai yang jelek. Hampir semua siswa SMA Sanjaya sangat terobsesi dengan nilai yang bagus. Rahma mengulum senyum. “Ayo yang tidak berkenan dipersilakan untuk keluar!” Alfian menatap kesal dengan wajah yang sudah memerah. Ia meraih ranselnya dan kemudian keluar dari sana. Saat lewat di hadapan Rahma, ia menatap sang guru seakan-akan seperti hendak menerkamnya hidup-hidup. Seraya melangkah, Alfian melirik teman-temannya. Semua sontak menuduk. Sial. Tidak ada yang mengikuti jejaknya. Alfian keluar sebagai satu-satunya pecundang dan itu membuat dendamnya terhadap Rahma semakin menjadi-jadi. Rahma pun mengembuskan napas kasar. Akhirnya kelas itu menjadi tenang setelah sang raja biang kerok pergi. Mereka kini fokus menyelesaikan soal-soal yang sudah diberikan Rahma. Sosok perempuan berusia 25 tahun terduduk lemas di mejanya. Dia merasa penat sekali. Ditatapnya wajah-wajah yang kini ada di hadapannya itu. Rahma selalu berusaha untuk menyayangi mereka sebagai muridnya. Namun… Mereka tidak pernah menghargainya sama sekali. Ironis. Miris. Dan sangat dramatis. Tapi memang itulah yang kini terjadi. Rahma beristirahat sejenak. Masih panjang waktu yang harus ia lalui hari ini. Perempuan itu memejamkan mata sebentar seraya bersandar duduk di kursinya. Tapi tiba-tiba saja. PRANG. Semua terkejut saat kaca jendela bagian belakang pecah. Anak-anak perempuan langsung memekik histeris. Sebagian juga langsung bangun dan beranjak dari kursi mereka. “Apa itu?” “Ada batu!” “Siapa yang melemparnya?” Rahma dan muris-murid lainnya itu kemudian melihat ke luar jendela. Letak kelas mereka berada di lantai dua. “A-Alfian …?” Rahma berbisik lirih. Di bawah sana terlihat Alfian tertawa sambil melambai-lambaikan tangannya. “Anak itu benar-benar gila!” desis Rahma lagi. Dan kemudian. “AWAAAAASSSS …!!!” Rahma memekik kencang saat ia melihat Alfian yang mengayunkan sebuah batu lagi. PRANG. Kali ini kaca di sebelahnya juga ikut pecah. Rahma menatap nanar. Di luar sana terlihat Alfian mengambil sebuah batu lagi. Apa dia akan menghancurkan seluruh kaca jendela kelas? “KELUAR …! AYO SEMUA KELUAR!” perintah Rahma kemudian. Murid-murid kelas itu pun kemudian berhamburan keluar. Sementara Rahma masih berdiri di ambang pintu. Dia menatap nanar pada pecahan kaca dan batu yang bergelinding di lantai. Sementara itu Alfian terus melempari kaca jendela. Suara pecahan kaca itu menggema berulang-ulang dan Rahma hanya bisa tertegun di tempatnya berdiri. Apa lagi yang harus ia lakukan? Bagaimana lagi cara menghadapi murid yang satu itu? Fisiknya begitu lelah sejak mengajar di SMA ini. Tapi … Batinnya jauh lebih penat lagi. Dan sekarang … Semua kaca di bagian kanan kelas itu sudah pecah semua. Membuat keadaan kelas itu menjadi sangat berantakan. Rahma kemudian melangkah mendekat untu melihat keluar. Ia berjalan di atas pecahan kaca yang sudah hampir memenuhi lantai kelas. Dan ternyata Alfian masih ada di sana. Siswa tengil itu tersenyum penuh kemenangan, lalu mengacungkan jari tengahnya. “F-UC-K YOU BIT-CH …!” Meski samar, Rahma bisa mendengar umpatan itu dengan jelas di telinganya. . . . Bersambung …
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN