Aya terpaku menatap sebuah buku catatan dengan sampul warna biru yang kini ada di atas mejanya. Sudah jelas bahwa itu bukan buku catatannya. Buku miliknya sudah hancur terendam banjir. Matanya kini tertuju pada stiker putih yang bertuliskan nama lengkapnya di sana.
‘Cahaya Fathiyah’
Aya menyentuh label lama itu sesaat, lalu kemudian menariknya dengan sangat hati-hati. Nama pemilik asli dari buku itu pun kini terlihat.
‘Firdaus’
Aya mengembuskan napas panjang. Dia merasa tidak enak dan juga merasa bersalah terhadap Daus.
“Harusnya dia tidak perlu melakukan sejauh ini,” bisik Aya.
Aya kemudian bangun dari duduknya dan melangkah keluar kelas. Langkahnya terhenti tatkala melihat pak Wandi sedang berbicara dengan Daus di lorong. Daus terlihat sesekali tersenyum canggung sambil terus menundukkan kepala. Di akhir terlihat pak Wandi menepuk pundak Daus pelan, lalu kemudian berlalu pergi.
Daus lalu melangkah sambil mengulum senyum. Tapi saat mengangkat wajah, dia melihat Aya yang berdiri di depan sana. Langkah itu pun langsung terhenti.
Aya menatap Daus lekat-lekat, lalu kemudian melangkah mendekati lelaki itu.
“Bodoh! Kenapa kamu melakukan hal bodoh seperti ini?” tanya Aya.
Daus menunduk.
Aya bermaksud hendak marah, tapi dia tidak tega lagi. Daus baru saja dimarahi oleh pak Wandi. Tidak etis rasanya jika Aya juga ikut memarahinya saat ini.
“Terus apa kata pak Wandi?” tanya Aya. Suaranya terdengar melunak.
Daus menatap Aya, tersenyum tipis. “Seperti biasa… beliau menyuruh mengerjakan tugasnya dua kali lipat.”
Aya menghela napas panjang. “Itu berarti ringkasannya jadi empat bab?”
“Iya.”
“Aku yang akan mengerjakannya,” pungkas Aya.
Eh.
Daus melotot. “J-jangan!”
“Pokoknya aku yang akan mengerjakannya. Karena sebenarnya memang aku yang harus menjalani hukuman itu.” Aya berkata tegas.
“T-tapi ….”
“Nggak ada tapi-tapian! Sekali lagi kamu protes… aku nggak mau lagi temenan sama kamu!” ancam Aya.
Hup.
Daus refleks mengatupkan bi-birnya rapat-rapat. Sementara itu Aya mengembuskan napas kasar, lalu berbalik pergi.
Daus menatap Aya dengan senyum malu, lalu kemudian berteriak pelan. “Makasih, Aya!”
Aya yang mendengar ucapan terima kasih itu juga sontak tersenyum, tapi dia tidak menoleh ke belakang melihat Daus.
Aya berdecak lirih. “Terima kasih apanya… harusnya aku yang berterima kasih padanya ….”
.
.
.
“HUUUUUUU ….!!!”
“ALFIAAAAAAAAAAAAAN …!!!”
“SAYAAAAAANGKUUUU …!!!”
Suara teriakan kaum siswi terdengar menggema di lapangan basket. Mereka semua sedang menyaksikan sang raja lapangan yang tengah bermain dengan gesit. Alfian yang mengenakan setelan baju basket tanpa lengan itu terlihat sangat se-xy. Setiap kali dia mmelempar bola dan ke-teknya terlihat … saat itu juga para gadis-gadis akan berteriak histeris seperti kesurupan.
Lelehan keringat yang mengalir di wajah dan lehernya membuat Alfian semakin terlihat pa-nas. Alfian cukup jago dalam bermain basket, tapi dia tidak pernah mau bergabung dengan tim basket sekolahnya. Sosok tuan muda itu terus bergerak. Lirikan matanya, derap kakinya, bagaimana ia memutar tubuh saat mengecoh lawan benar-benar sebuah pemandangan yang menyegarkan mata.
“KYAAAAAAAAAA …!!!”
Teriakan maha dahsyat itu kembali terdengar saat Alfian melompat memasukkan bola langsung ke keranjangnya. Saat melompat, bagian bajunya terangkat. Otot-otot perutnya langsung terekspos.
Aksinya itu pun juga mengakhiri permainan siang ini. Alfian merasa sangat puas. Sosok Riski sang kacung setia langsung berlari menghampirinya sambil membawakan sebuah handuk kecil dan sebotol air mineral.
“Gila lu Ndro… makin gesit aja mainnya!” puji Riski.
Alfian tidak menjawab. Dia mengambil botol air itu, membukanya, meminumnya stengah bagian, lalu menyirami sisa air di dalam botol itu ke kepalanya.
“YAAAAAAAA …!!!”
Teriakan histeris itu kembali terdengar.
Alfian mengembuskan napas kasar, lalu menatap para gadis yang kini masih mengerubunginya.
“Ngapain kalian di sini?” sergahnya dengan tatapan dingin.
Glek.
Para kumpulan siswi itu dengan kompak balik badan, lalu pergi dari sana.
“Duh, dia terlihat makin se-xy dengan tatapan dingin seperti itu.”
“Kenapa aku malah berdebar dibentak Alfian?”
“Bau keringatnya wangi sekali. Aku bisa menci-um aroma yang sangat jan-tan itu.”
Komentar-komentar itu terdengar samar. Riski yang mendengar cuitan gadis-gadis itu menggeleng pelan.
“Mereka memang sudah kehilangan akal sehatnya. Bagaimana bisa mereka tetap menjadi penggemar setelah semua perlakuan ka-sar dari lo.”
Alfian tersenyum tipis. Lelehan keringat itu masih menetes dari wajahnya.
“Abis ini lo masuk ke kelas, kan?” tanya Riski lagi.
“Nggaklah! Gue udah capek … keringetan kayak gini. Mau ngadem gue di atap sekolah,” jawab Alfian.
Riski geleng-geleng kepala. “Iya. Terserah lo deh!”
“Gimana kabar si Rahma? Kenapa anteng aja, ya? Gue nggak dipanggil ke kantor majelis guru, tuh.”
“Riski mengerutkan keningnya. “Iya juga, ya! Mungkin dia udah menyerah dan mengakui siapa lo!”
Alfian menyeringai, tapi tatapan mata itu menggambarkan bahwa dia masih belum puas.
Bersamaan dengan itu Alfian melihat sosok bu Rahma yang sedang melintas di hadapannya. Riski yang duduk di samping Alfian pun juga menyadari hal itu dan langsung menyikut Alfian.
“Itu dia!” bisik Riski.
Tatapan penuh keben-cian itu langsung menyala di kedua mata Alfian. Ia meremas botol air mineral yang ada di genggamannya, lalu melemparnya ke arah bu Rahma.
Deg.
Langkah Rahma terhenti saat sampah botol air mineral itu terjatuh tepat di depan kakinya. Rahma segera menoleh dan melihat Alfian melambaikan tangan kepadanya.
“Haaaah ….”
Rahma mengembuskan napas kasar. Ia kembali menatap sampah yang dilempari Alfian kepadanya itu. Semua yang dilakukan Alfian sudah benar-benar sangat keterlaluan. Bagaimana pun juga Rahma mempunyai harga diri. Dia tidak bisa membiarkan harkat martabatnya direndahkan seperti itu.
Terlebih oleh bocah piyik seperti Alfian.
Rahma memejamkan matanya sejenak. Setelah itu ia mengambil sampah botol itu dan beralih menatap Alfian.
“Titip buang ke tong sampah ya, Bu!” tukas Alfian seraya menyeringai.
Rahma tersenyum. Dia memerhatikan keadaan sekitarnya. Sepi. Situasinya cukup aman.
Rahma meremas sampah botol itu lebih kuat dan kemudian langsung melemparnya ke arah Alfian.
“AAARGH …!”
Alfian terkejut dan meringis saat botol itu tepat mengenai wajahnya.
Riski yang menyaksikan adegan itu pun langsung melongo. Matanya melotot, mulutnya menganga lebar.
Alfian menatap tajam. Ia juga terkejut karena tidak menyangka Rahma akan membalasnya dengan cara yang kekanak-kanakkan seperti itu.
“HEIIII …!!! hardik Alfian murka.
Rahma menempelkan ujung jari tangannya di bi-bir. “Ups … Sorry … saya bermaksud melemparnya ke tempat sampah”
Alfian melotot. “A-APA …?”
Si dungu Riski malah sibuk memerhatikan sesekelingnya. “Tempat sampah? Tidak ada tempat sampah di sini… itu berarti lo tempat sampahnya….”
Riski menutup mulutnya saat Alfian menatap tajam.
Alfian merasakan kedua pipinya panas. Sementara itu Rahma melenggang pergi dengan tersenyum puas.
Tapi kemudian Rahma meringis. “Kenapa kamu harus membalas dengan cara picik seperti itu? Tapi tidak masalah … setidaknya aku merasa cukup senang.”
.
.
.
Bersambung …