Mata Intan menerawang jauh menatap hamparan asing yang baru jumpai selama masa hidupnya, Bandara Udara Wunopito. Di belakangnya Dikta menyusul sambil membawa tas kecil miliknya, mendorong pelan tubuh Intan agar berhenti termenung di jalan keluar pesawat, masih banyak penumpang yang mengantri.
Intan benar-benar menyetujui perintah Om Prana, tak lagi membantah seperti yang dulu-dulu ia lakukan. Sedikit sadar jika kehidupan sulitnya juga bermula ketika ia menentang adik kandung ayahnya itu.
Intan datang benar-benar tanpa membawa satu pun barang yang berkaitan dengan masa lalunya, layaknya membangun hidup baru. Meskipun semalam ia mendengar Dikta menjawab panggilan dari Arka yang berniat mengantarkan barang-barang Intan yang masih ada di rumahnya. Dikta menolak, tentu saja. Selama Intan masih di Jakarta, adik lelakinya itu akan memastikan Intan tak bertemu lagi dengan Arka. Dikta tak mau luka Intan menganga semakin dalam.
"Kata Om Prana abis ini kita di jemput sama orang suruhannya. Kakak, mau makan dulu?" tanya Dikta sambil mengambil koper-koper milik Intan.
Dikta tak banyak membawa barang, sebab seminggu lagi ia harus kembali ke Jakarta untuk mengurusi beberapa tugas akhir, sebelum akhirnya koas.
Intan mengangguk, enggan mengeluarkan suara satu patah kata pun.
Semenjak datang dengan tangisan pilu tempo hari, Intan memang terkesan tak mau lagi banyak berbicara. Jika sesuatu itu bisa ia jawab dengan gerakan, Intan akan memilihnya. Lagi pula Dikta juga tak begitu banyak mengajak berbicara, tau betul keadaan Intan.
"Mau makan?" ulang Dikta yang masih belum mendapatkan jawaban berarti dari Intan.
"Nanti aja," balas Intan singkat.
Tiga koper milik Intan, hanya satu yang ia bawa lainnya Dikta yang mengurusi.
"Makan disini aja, Kak," ujar Dikta lagi sambil memegangi perutnya.
"Kamu laper?" tanya Intan balik.
"Iya nih ... Hehehe."
Bukan salah Dikta juga sih, pasalnya makanan dari maskapai berbau kacang-kacangan. Dikta alergi kacang. Jadi pria itu hanya menikmati puding dengan jus jeruk sebagai pengganjal perut.
"Ya udah, mau makan apa?"
√∆√∆√∆
Seingat Intan, Om Prana berpesan pada Dikta untuk menemui seorang dokter di daerah Lewoleba sebelum akhirnya mereka naik ke atas pesawat tadi. Katanya sih dokter itu yang akan memberi mereka lebih tepatnya Intan tempat tinggal.
Mata Intan menelusuri jalanan asing yang baru ia lihat dari luar mobil, nyatanya tidak ada yang menjemput mereka, entah kenapa yang pasti ia tadi melihat Dikta tampak kebingungan mendapatkan telepon dari orang. Alhasil mereka harus menumpangi taxi yang cukup mahal harganya. Tak apa karena semua biaya di tanggung Om Prana.
Entah mengapa Intan sedikit memiliki rasa parno terhadap uang yang ia punya, mungkin karena selama menjalani bahtera rumah tangga dengan Arka semua kebutuhan Intan lelaki itu cukupi. Intan jarang sekali tau harga yang harus mereka bayar untuk sebuah fasilitas mewah, karena memang Arka enggan memberitahu.
Tanpa terasa air mata Intan jatuh dari pelupuk matanya, bibirnya menyeringai meremehkan dirinya sendiri yang mulai sangat cengeng. Bahkan di atas pesawat pun entah berapa kali Dikta menanyai keadaan Intan karena melihat air mata kakaknya itu jatuh mengenang di pipi.
"Kakak, nanti kalo mau dibeliin mobil atau motor bilang aja ke Om Prana, soalnya jarak dari rumah sama RSUD agak jauh," kata Dikta tiba-tiba, membuat Intan segera menyeka air matanya.
"Emang nggak ada supir, Dek?" tanya Intan mengalihkan perhatiannya.
"Nggak ada, Kak, kan ini mendadak juga. At least Om Prana bisa tempat tinggal sama pekerjaan buat, Kakak, aja udah ngoyo banget."
"Motor aja kali ya, Dek? Biar nggak ribet."
"Malah itu ribet, Kak, kalo hujan gimana? Mending mobil," balas Dikta menawarkan pilihan yang lebih baik.
"Mahal pasti mobil disini."
"Kakak, lupa? Kita bukan orang susah, Kak, jangan samain keadaan kita sekarang sama keadaan kita pas, Kakak, masih kuliah."
Intan hanya memutar matanya malas, entah sudah berapa kali adik lelakinya itu mengatakan hal yang sama. Padahal biasanya juga tak seperti itu, mungkin kesombongannya tersulut setelah Intan berkali-kali mengkhawatirkan soal biaya.
"Nanti Dikta aja deh yang ngomong ke Om Prana, kan Dikta juga nanti koas disini," putus Dikta kemudian.
"Emang kakak nanti kerja jadi apa sih, Dek?" tanya Intan yang sudah tak bisa membendung rasa penasarannya, sebab Dikta tak sedikitpun buka suara perihal rencana selesai mereka sampai disini.
"Kakak, tuh nanti jadi Wakil Direktur Administrasi. Kakak lulusan akuntansi kan?"
"Iya."
"Ya itu, nanti kerjanya dibawah koordinasi Direktur Rs-nya," jelas Dikta. "Yang jadi Direktur itu orang yang mau kasih kita tempat tinggal ini."
"Dia yang punya rumah sakit ya?" tanya Intan memastikan.
"Bisa dibilang dia yang punya soalnya udah turun temurun join sama keluarga kita, dari pas zaman Kakek. Nah bapaknya yang jadi direktur sekarang tuh temen Papa, sekarang anaknya yang nerusin." Kembali Dikta menerangkan kepada sang kakak.
"Oh jadi milik bersama gitu?"
"Iya, Kak. Tau nggak, Kak? Yang jadi direktur sekarang itu masih muda, ya ... Di atas, Kakak, beberapa tahun sih, tapi udah punya pengalaman jadi dokter juga!"
"Kamu tau dari mana?"
"Ya aku kan udah kenalan lewat chat, ramah orangnya tiap aku tanya-tanya dijawab langsung. Gak harus nunggu lama."
Intan tersenyum kecut, adiknya baru saja menyindir Arka yang sering kali mengabaikan pesan dari Dikta. Intan tak tahu kenapa tapi Dikta memang kerap kali mengeluh soal Arka, Intan tak tahu juga apa yang mereka bahas, Dikta lagi-lagi tak banyak buka suara.
Mulai dari situ Intan tak lagi bertanya, Dikta juga tak lagi bersuara, memilih kembali mengamati jalanan yang mulai masuk ke pedesaan. Mungkin bukan pedesaan juga, sebab Intan terbiasa melihat padatnya kota Jakarta sehingga cukup awam melihat daerah yang bisa dibilang sepi penduduk.
Sampai pada akhirnya taxi mereka memasuki halaman luas dengan rumput hijau mengelilingi, jujur Intan terpukau. Bagaimana tidak? Lihat saja rumah yang begitu megah di depan sana.
Tak bertingkat layaknya rumah di perkotaan, tapi luas dengan interior sederhana, tapi megah. Kebanyakan rumah tersebut dibuat dari kayu, membawa aksen ramah lingkungan? Ya mungkin, Intan tak paham juga.
"Ayo turun, Kak!" ajak Dikta.
Intan bergegas menyusul Dikta yang sudah terlebih dahulu keluar membantu supir taxi mengeluarkan semua barang-barang dari bagasi. Intan yang tak tahu harus apa hanya berdiri menunggu dua lelaki itu selesai dengan pekerjaan. Hingga tanpa sadar sudah ada lelaki tinggi yang berdiri di sampingnya, ikut memperhatikan Dikta dan supir taxi.
"Astaga!" teriak Intan terlonjak kaget, sebelah tangannya memegang d**a memastikan jantungnya tak benar-benar lepas.
Pria itu malah tersenyum, lebih tepatnya menertawakan kekagetan Intan dengan elegan.
"Eh? Bang Buana!" sapa Dikta yang menoleh mendengar kakaknya berteriak kaget.
"Hey! Maaf ya tidak bisa menjemput."
"Nggak apa-apa, Bang."
Setelah melihat perawan pria yang baru ia ketahui namanya Buana, Intan ragu jika lelaki ini dibilang asli orang sini. Hey! Lihat saja, meskipun memiliki aksen berbicara sama dengan penduduk asli sini, tapi ciri khas pria ini tidak memiliki kesamaan sama sekali. Lebih mirip seperti orang Jawa asli.
Sejenak Intan memperhatikan lelaki itu yang mulai membantu Dikta dan supir tadi membawa barang-barang milik Intan ke dalam rumah. Intan sendiri berjalan dibelakangnya sambil terus menelisik perawakan juga wajah Buana.
"Rumah sa ini sebenarnya ada dua, tapi memang terlihatnya cuma satu," kata lelaki itu sambil berjalan beriringan dengan Dikta.
Benar, karena setelah mereka melangkah agak jauh Intan melihat pintu lagi di sebelah rumah yang ada di depan. Rumah yang menyambut mereka di depan pagar sana menghadap ke timur, sedangkan yang ini menghadap utara. Cukup genius membangun rumah seperti ini, Intan baru tahu.
"Tapi ada pintu penghubungnya, kalau-kalau Dikta dan Kakak butuh bantuan bisa cari sa lewat pintu itu."
Mereka sudah sampai, supir taxi tadi juga sudah pergi setelah mendapatkan upah dari Buana. Sekarang hanya tersisa Intan, Dikta, dan Buana di ruang tamu hunian baru ini.
"Sa belum kenalan dengan kakak mu, boleh sa kenalan?" izin Buana pada Dikta.
"Boleh lah, Bang! Mau tinggal disini kok gak boleh saling kenal."
Buana tersenyum, lantas berjalan menghampiri Intan yang ada di belakangnya. Mengulurkan tangannya sambil berkata, "Buana."
"Intan," balas Intan menerima jabatan tangan Buana.
√∆√∆√∆