Pak Deden hanya mengantarkan Intan di depan gerbang rumah Dikta, disertai hujan lebat Intan berusaha membuka pagar tersebut. Beruntungnya Dikta belum menggembok pagar itu, jadi Intan tidak harus berdiri dibawah rintikan hujan begitu lama.
Intan berlari kecil menuju pintu mauk yang tertutup, air matanya tersamarkan karena hampir separuh badannya basah kuyup. Pelan Intan mengetuk pintu berbahan kayu di depannya, melirihkan nama Dikta pelan. Kakinya mulai oleng, tak sanggup lagi menahan beban tubuh Intan.
Lama Intan menunggu Dikta keluar, hingga badannya sudah luruh di lantai. Matanya bahkan tak berhenti mengeluarkan air mata sedikit pun. Intan tak pernah menyangka saat-saat ini bisa terjadi, padahal ia sudah yakin akan menua bersama Arka, menjalani hari-hari menyenangi hingga tutup usia.
Clek!
"Kak Intan? Ngapain disini?" Dikta tampak terkejut melihat kondisi kakak perempuannya.
"Dikta .... " Tangis Intan makin menjadi, menutup seluruh permukaan wajahnya dengan kedua telapak tangan.
Dikta yang melihat itu langsung menjatuhkan Intan ke dalam pelukannya, ikut serta bersimpuh di lantai sembari menepuk-nepuk pundak Intan agar tangisnya mereda. Meskipun dalam hatinya berkali-kali ia bertanya, perihal apa yang membuat Intan sampai seperti ini.
"Masuk dulu, Kak," kata Dikta masih dengan posisi yang sama.
Bukannya apa, Intan ada tepat di depan pintu, sedangkan diluar hujan semakin lebat, tak menutup kemungkinan perempuan itu sakit keesokan harinya. Apalagi pakaian serta tubuh Intan sebagiannya sudah basah kuyup.
Dikta akhirnya memutuskan membopong tubuh kakaknya untuk masuk ke dalam rumah, membiarkan pintu terbuka karena tangannya tak memungkinkan untuk melepaskan punggung Intan. Dikta memilih langsung membawa Intan ke dalam kamar lama kakaknya itu, masih terawat karena Dikta secara rutin selalu membersihkan kamar itu.
"Kakak, tunggu disini ya biar Dikta ambilin handuk dulu," ujar Dikta selesai menaruh tubuh Intan di atas kasur. Tanpa menunggu jawaban kakaknya Dikta segera berlalu meninggalkanku kamar tersebut.
Selain mengambil handuk Dikta juga membawa satu baju miliknya untuk sang kakak, tak lupa menutup pintu yang tadi tak sempat ia tutup. Meskipun dalam otaknya terus berputar kemungkinan-kemungkinan buruk yang telah kakaknya lalui hari ini, Dikta tetap tak menanyai perihal penyebab kakaknya datang ke rumah ini dengan kondisi carut-marut.
Dikta hanya diam duduk di sebelah Intan, memperhatikan kakaknya berusaha mengelap seluruh badan basahnya mengunakan handuk, yang sebenarnya itu tak banyak membawa perubahan. Intan masih terus menangis sesenggukan hingga kurang lebih satu jam lamanya, sampai akhir perempuan itu menoleh menatap Dikta sendu.
"Kenapa, Kak?" tanya Dikta lembut.
"Kakak ditalak Mas Arka, Dik .... " balas Intan dengan sendu juga suara tersenggal.
Intan kembali menangis, bersamaan dengan hembusannya nafas berat Dikta. Kemungkinan ini memang sempat Dikta pikirkan sejak beberapa hari lalu, ketika kakaknya bertanya perihal perceraian. Memang sulit menjalani rumah tangga dengan pria yang disetir oleh keluarganya.
"Ya udah, Kakak, sekarang tidur aja. Nanti biar Dikta kabarin Om Prana. Biar dia yang urus," putus Dikta sambil beranjak dari duduknya. "Ini sekalian ganti bajunya ya."
Dikta kemudian berlalu meninggalkan Intan yang masih duduk di tempat yang sama.
Malam ini Intan tak bisa memejamkan matanya, walaupun kamar lama ini hangat dan nyaman untuk ditempati, masih saja ada yang kurang. Pelukan Arka. Semenjak menikah tak terlewati satu malam pun Intan tidur tanpa pelukan hangat suaminya, karena Arka juga selalu membawa serta Intan di setiap penugasan keluar kota maupun negeri.
Hingga malam ini rasanya asing, hangat tapi juga dingin, nyaman tapi juga asing.
√∆√∆√∆
Esok harinya Dikta memutuskan tak berangkat ke kampus, ia bangun lebih pagi untuk menyiapkan sarapan ala kadarnya bagi sang kakak. Sambil menunggu kedatangan Om Prana yang semalam sudah ia kabari.
Dikta tak tahu apa yang akan pamannya putuskan, pasalnya semalam saat ia mengatakan kakaknya datang basah kuyup dan tak berhenti menangis, pria paruh baya itu tampak mengeram marah. Tentunya tak ada yang mau melihat keponakan perempuannya disakiti oleh siapapun kan? Apalagi Om Prana sudah berjanji kepada orang tua Intan.
Mungkin dulu Dikta melihat Om Prana sebagai seorang perebut kebahagiaan sekaligus harta yang ia dan kakaknya miliki, sebelum akhirnya ia tahu alasan dibalik itu semua. Om Prana tak pernah setuju dengan hubungan Intan dan Arka, Dikta tidak tahu alasannya kala itu, ia hanya berfikir Om Prana terlalu egois hingga ingin mengatur hidup mereka.
Hingga kini ia tahu, hal-hal buruk seperti apa yang menimpa Intan setelah secara keras kepala menentang Om Prana. Lagi pula tak ada salahnya menuruti satu-satunya kerabat yang mereka punya kan? Apalagi Om Prana juga orang yang sampai kini mau dan bersedia menjamin hidup Dikta. Tanpa Intan karena kakaknya itu sudah menikah kemarin, tak tahu juga setelah ini bagaimana.
"Dikta?" Suara berat dari pintu membuyarkan lamunan Dikta.
"Om Prana? Mobilnya gak dimasukin, Om?" tanya Dikta yang menyadari tak terdengar suara apapun dari luar.
Biasanya memang tiap Om Prana datang, ia akan secara mandiri membuka pagar dan memasukkan mobil miliknya ke dalam garasi rumah ini. Memang tak cukup besar karena hanya dapat menampung dua mobil.
"Gak usah, biar nanti baliknya cepet." Om Prana mengambil tempat duduk di sofa sebelah Dikta. " Kakak mu mana?" tanyanya setelah nyaman bersandar pad sofa itu.
"Di kamar, Om, masih tidur kayaknya," jawab Dikta sambil memberi isyarat menunjuk salah satu kamar yang Intan tempati.
"Kamu panggil, Dik, om mau ngomong sama kakak mu."
Dikta beranjak berdiri dan membawa langkahnya menuju kamar Intan, tampak mengetukkan pintunya pelan sebelum akhirnya hilang memasuki kamar tersebut.
Tak berselang lama Dikta kembali keluar diikuti oleh Intan dengan wajah sembab, dan rambut masih basah. Prana tersenyum, sudah lama tak bertemu dengan keponakannya satu ini. Bukan karena tak sempat atau bagaimana, hanya saja Intan selalu menghindar darinya.
"Kamu cerai, Tan?" tanya Om Prana tanpa mau banyak basa-basi.
Intan mengangguk pelan.
Prana menghembuskan nafas beratnya, sambil memposisikan dirinya agar bisa tegak menatap kedua keponakannya bergantian.
"Kalian berdua mau jadi suka relawan di daerah timur gak?" tanya Prana lagi.
Dikta kebingungan, apa hubungannya menjadi relawan dengan perceraian kakaknya?
Prana yang paham dengan gelagat Dikta kemudian tersenyum, kembali membuka suara. "Biar perceraian kakak mu om yang urus, kalian healing aja keluar Jawa. Om gak ada maksud apa-apa kok! Kan kamu bisa sekalian koas, Dik!"
"Kalian itu udah gak usah banyak tingkah masa depan udah om jamin, masalah yang lain-lain belakangan aja. Toh nanti yang dapet semua hak kepemilikan rumah sakit juga kalian kan? Banyu gak akan ikut campur," jelas Prana lagi.
Jelas Banyu anak Om Prana tidak akan ikut campur, lelaki itu sudah mapan sebagai seorang pilot di salah satu maskapai luar negeri. Intan saja yang melebeli Om Prana tak baik hanya karena terhalang restu, sampai membuat adik dari Papanya geram dan memutuskan menghentikan penyaluran dana sebagai bahan pelajaran baginya. Ya sebenarnya semua orang memiliki sisi baik, tergantung posisi mana orang lain melihatnya.
"Kamu, Intan. Om udah bilang dari awal kalo keluarga Arka gak baik, masalahnya dari dulu bukan di Arka tapi keluarganya. Eh kamu malah ngeyel. Sekarang kamu masih mau bela cowok gak punya pendirian itu?"
Intan diam tak dapat mengeluarkan satu patah suara, memilih semakin menunduk, menenggelamkan kepalanya.
"Besok kalian berangkat ya? Dikta nanti bisa bolak balik ke Jakarta, disana temenin dulu kakak mu supaya bisa beradaptasi. Masalah perceraian biar om yang urus. Lagi pula semakin jarang kehadiran Intan, semakin cepat proses perceraian berjalan."
Setelah mengucapkan itu Om Prana pamit, ada pekerjaan yang sudah menantinya. Dikta yang mengantarkan pria paruh baya itu sampai di luar gerbang. Sedangkan Intan masih terduduk tak berdaya di sofa.
"Kak, kata Om Prana kita gak usah ambil barang-barang ke rumah Mas Arka. Ini Dikta udah dikasih uang buat beli yang baru sama Om Prana."
√∆√∆√∆