Hari pernikahan akhirnya tiba, kedua calon pengantin kini berdiri di depan pastor yang menjadi perantara Tuhan memberi berkat untuk keduanya. Calon pengantin menumpangkan tangan mereka di atas kitab suci untuk menerima sakramen pernikahan.
Pernadi melirik sebentar Rindu yang berada di sampingnya. Ia menarik napas pelan, hari ini sebuah janji suci akan ia ucapkan dihadapan Tuhan, Imam, orang tua, dan para undangan. Hari ini pula ia akan menjadi seorang suami untuk Rindu.
Pastor tersenyum tipis, melihat mempelai pria yang tampak pucat. Rindu juga demikian, gadis remaja yang tampak cantik dengan gaun pengantinnya menahan napas. Ia sangat takut, jika sepupunya itu akan menolaknya.
"Di hadapan Tuhan, Imam, para orang tua, para saksi, maka saya Pernadi Suparat, dengan niat yang suci dan ikhlas hati telah memilihmu Rindu Maradek Siregar menjadi istri saya. Saya berjanji untuk selalu setia kepadamu dalam untung dan malang, dalam suka dan duka, di waktu sehat dan juga sakit, dengan segala kekurangan dan kelebihanmu. Saya akan selalu mencintai dan juga menghormatimu sepanjang hidupku. Saya bersedia menjadi orangtua yang baik bagi anak-anak yang akan dipercayakan Tuhan kepada saya dan akan mendidik mereka. Demikian janji saya demi Allah dan Injil suci ini, semoga Tuhan selalu menolong saya."
Akhirnya Pernadi mengucapkan janji sucinya dengan suara tenang, tegas, Rindu merasa lega. Ia pun turut mengucapkan janji yang sama.
Setelah mengucapkan janji suci kini keduanya bertukar cincin. Pernadi menyematkan cincin di jari manis Rindu, dan Rindu melakukan hal yang sama.
Acara berjalan dengan lancar, secara agama dan secara adat dalam hari itu juga. Air mata haru mengaliri pipi kerut sang nenek. Akhirnya, apa yang ia inginkan terkabul juga.
"Seperti Janjimu pada Tuhan tadi, berjanjilah pada Nenek kalau kau tidak akan meninggalkan Rindu hingga maut memisahkan kalian, Cucuku." kata Perempuan Senja pada Pernadi.
Meski berat hati, pria itu mengangguk lalu berujar. "Ya. Aku berjanji, Nek. Nenek harus sehat dan melihat kami bahagia."
"Melihat kalian menikah, umur nenek rasanya bertambah lima tahun." ucap Sang nenek dibarengin kekehan ringan seraya menepuk-nepuk lengan Pernadi.
Rindu melihat Pernadi, pria itu berjanji untuknya tetapi tidak sedikitpun melihat kearahnya. Ia tahu, kalau janji yang diucapkan pria itu hanya untuk membesarkan hati neneknya saja.
Di depan Aula, mobil yang dihiasi dengan bungan pengantin sudah menunggu yang akan membawa mereka ke sebuah hotel.
Rindu ataupun Pernadi sudah menolak akan menginap di hotel pada malam pengantin mereka tetapi, keluarga bersi keras memberi mereka ruang aman sebagai pasangan baru.
"Kalian hati-hati, ya." Ucap Rukaya, melambaikan tangan saat mobil itu akan berjalan. Rindu membalas lambaian itu dari jendela mobil.
Dalam perjalanan tak satupun diantara mereka yang bicara, entah kenapa Rindu yang biasanya iseng tidak berani melihat Pernadi atau mengajaknya bicara.
Dua puluh menit, mereka tiba di WYNDHAM CASABLANCA HOTEL. Supir keluar membukakan pintu untuk keduanya. Rindu keluar lalu disusul Pernadi.
Seorang pria berseragam hotel langsung menghampiri, mengambil koper milik mereka dan mengikuti langkah Pasangan itu masuk.
Rindu kepayahan berjalan, sepatu tumit tingginya satu hari ini menjadi beban buatnya. Ia bersumpah akan membuang sepatu itu selamanya.
Pernadi melakukan check-in, dan mengambil cardlook di bagian informasi. Kamar 1170 tujuan mereka. Setelah tiba di depan kamar, Pernadi menscan kartu pada pintu dan mempersilahkan Rindu masuk. Ia berterima kasih pada layanan jasa yang membawa koper mereka naik serta memberinya uang tip.
"Terima kasih, pak." Pelayan hotel berterima kasih dengan senyum riang di wajah. Pernadi hanya mengangguk.
Rindu segera duduk setelah menyelidik seluruh ruangan itu dengan tatapannya. Sangat mewah dan elegan.
Pernadi melepas Jas meletakkan di sandaran sofa lalu melonggarkan dasi yang melingkar di leher, ia berdecak saat melihat Rindu kesusahan melepas sepatunya.
Gaun panjang dan mekar itu penyebabnya. Pria itu menumpukkan satu lututnya di lantai mengejutkan Rindu yang tengah duduk di sofa. Pernadi mencoba mengangkat ujung gaun Rindu lalu melepas sepatu gadis itu pelan.
"Terima kasih, kak." Ucap Rindu lirih, setelah merasakan lega pada kakinya. Ia merasa haru dengan sikap manis Pernadi padanya.
Pernadi masih berdiam di posisinya, ia menatap Rindu lalu menghela pelan.
"Rindu,"
"Ya."
"Ada sesuatu yang ingin aku katakan,"
"Apa?"
"Aku ...," Menelan ludah kuat-kuat. Ia berpikir harus mengatakan ini pada Rindu tentang dia dan Cintya.
"Mencintai gadis lain."Sambungnya, Rindu mencoba tersenyum meski hatinya sakit mendengarnya. Sejujurnya, ia sudah menduga hal itu saat mendengar Pernadi berbicara mesra lewat telpon tempo lalu di desa.
"Ya, aku tahu itu." kata Rindu.
"Kau tahu?" Tanya Pernadi menaikkan kedua alis tebalnya. Ia berdiri dan mengambil tempat duduk berhadapan dengan Rindu.
"Aku mendengar saat kakak bicara lewat telpon."Rindu menunduk, ia tak berani membalas tatapan Pernadi. Entah apa yang terjadi dengan hatinya.
Sejak pria ini mengucapkan janji suci, Rindu merasa detak jantungnya tak normal. Terlebih ketika tatapan mereka secara kebetulan bertemu.
"Lalu bagaimana pendapatmu?" Tanya Pernadi.
"Aku ... akan mencoba mengambil hatimu darinya. Kakak, maukah kau memberiku kesempatan?" Tanya Rindu.
"Aku mencintainya Rindu dan itu sangat." Kata Pernadi seolah menjelaskan bahwa tidak ada tempat untuk Rindu di hatinya.
"Ya. Aku percaya itu. Dengar, kau dan aku sama. Menikah demi kebahagian nenek. Aku juga tidak menyukaimu."
Tapi, Aku tidak yakin tidak menyukaimu, entahlah aku tidak tahu apa yang terjadi dengan hatiku saat ini. Membatin seraya menatap Pernadi.
"Rindu, tak satupun temanku yang tahu aku menikah hari ini. Pernikahan ini aku tutupi dari mereka. Aku minta satu hal darimu jika satu kebetulan kita bertemu dengan teman-temanku, kenalkan dirimu sebagai adik sepupuku."
"Tapi kak ...."
"Tolong mengerti." Sorot Pernadi yang selama ini tajam padanya kini berbeda, tatapan itu seolah memohon.
"Baiklah." Ucap Rindu pasra.
"Terima kasih. Pergilah mandi dan istirahat. Aku akan keluar sebentar." Pernadi bangun dari duduknya lalu menepuk pucuk kepala Rindu dengan sayang.
"Kemana?"
"Menghirup udara malam."
"Apa aku boleh ikut?"
"Aku ingin sendiri, Rindu."
"Bukan sebagai istrimu tapi, adik sepupumu." Pernadi tampak berpikir, lalu melihat penampilan Rindu yang masih mengenakan riasan tebal.
"Kau tidur saja." Katanya, mengambil ponselnya dan keluar dari kamar itu.
Rindu kembali duduk, air matanya menitik. Ia tahu baik dirinya ataupun Pernadi memang belum siap menerima pernikahan ini. Tetapi, meninggalkannya sendirian di kamar ini? Rindu merasa sakit hati, ia menyentuh kepalanya yang baru saja di tepuk Pernadi.
Pernadi kini berada di Starbucks, duduk di salah satu meja kosong. Menikmati esspreso juga Red velvet cake kesukaanya. Ia memeriksa pesan dari Cintya. Pernadi mengernyit, hari ini gadisnya belum memberinya kabar. Ia mencoba menelpon dan tersambung pada operator.
Pernadi berdecak, kemudian mengetik pesan.
[Sayang, hubungi aku. Segera.] kirimnya. Ia meletakkan ponsel di atas meja lalu kembali menikmati esspresonya.
Pernadi teringat akan Rindu, gadis desa yang baru saja ia nikahi. Meski tidak menyukai secara emosional tetapi, gadis itu adalah sepupunya. Pernadi jadi merasa bersalah meninggalkan Rindu sendirian disana. Pernadi menghela napas pelan, mengangkat gelas esspreso menikmati isinya. Ia kemudian memilih meninggalkan tempat itu.
Setibanya di kamar hotel, ia melihat Rindu ketiduran di sofa masih dengan balutan gaun pengantin. Pernadi mendekati, menjelajah penampilan polos dengan tatapannya. Gadis itu, ia akui hari ini cantik.
Pernadi menghela pelan, berjongkok lalu memasukkan pelan lengannya di belakang lehar Rindu. Mengangkat dan memindahkan ke tempat tidur.
Rindu merasakan hal itu, ia tetap memejam. Pernadi meletakkan perlahan tubuh Rindu di ranjang lalu mengambil guling untuk tidur di sofa. Saat kakinya beranjak, Rindu menarik tangan suaminya itu.
"Kakak,"
"Kau, bangun?"
"Tidurlah denganku."Pintanya.
"Maaf, jangan memaksaku." Pernadi menarik tangannya dari Rindu kemudian berlalu menuju sofa meninggalkan Rindu nestapa.
.
.
.
.