Mau jadi beban untukmu

1634 Kata
Selama dalam perjalanan Rindu hanya terdiam, menikmati suasan kota di sore hari. Kota Jakarta, kota penuh penduduk tidak seindah yang ia bayangkan. Macet dan bising membuatnya bosan. Sementara, Pernadi tampak sibuk dengan ponselnya. Sesekali bibirnya melengkung tinggi. Pria itu tengah asik bertukar pesan dengan kekasihnya. Rindu mulai bosan, ia melirik apa yang di kerjakan Pernadi dengan ponselnya. "Kakak sedang apa?" Mendekat, merapatkan diri. "Geseran, gerah tau." Pernadi menjauhkan ponselnya dari pandangan Rindu. "Nggak mau, pengen dekat calon suamiku." Iseng, makin merapat. Mereka duduk paling belakang, sementara Rukaya dan Ibunya ada di jok tengah. "Minggir nggak, Lu." Mendorong kepala Rindu dengan telapak tangan. "Siapa Cintya?" Bertanya setengah berbisik. Ia sempat membaca nama itu di layar ponsel Pernadi. "Diam!" Tanpa suara, menutup mulut Rindu dengan telapak tangan. Ia tak ingin Ibunya mengetahui kalau Pernadi masih pacaran sama Cintya. Raut Pernadi merah padam. Rindu memukul tangan Pernadi yang membekapnya hingga susah bernapas. "Dasar gila." Ucap Rindu segera memunggungi pria dengan bibir mencebir. Mobil itu memasuki area perumahan elite di kota itu. Rumah bergaya erofa menjadi tujuan mereka. Rukaya dan Ibunya terlebih dahulu keluar baru Rindu dan Pernadi menyusul. Rindu takjub menatap rumah besar milik tantennya. Tak lama lagi ia akan menjadi Nyonya di rumah ini. Seorang perempuan setengah baya segera menghampiri. "Sudah sampai, Pak, Bu?" Tanya perempuan itu dengan sopan. "Iya dong makanya kita ada disini," Jawab Rukaya di berengin kekehan ringan. "Rindu, kenalin. Ini Bibi Maria, pembantu di rumah ini. Beliau sudah lama bekerja, sejak Pernadi lima tahun. Dia bagian dari keluarga kita. Bibi Maria, ini Rindu. Seperti yang aku ceritakan waktu lalu. Dia keponakanku dan akan menjadi menantu di rumah ini." "Rindu," ucap Rindu, mengulurkan tangan dan disambut hangat oleh Bibi Maria. "Maria, panggil saja Bibi, Non." "Dan ini Ibu saya, dia sudah tua jika terlalu rewal mohon dimengerti oke." Kata Rukaya lagi, mengenalkan Ibunya. "Baik Nyonya. Salam Nyonya besar." Mereka masuk ke dalam rumah, Rindu menarik kopernya. Tatapannya menjelajah seluruh ruangan. Luas dan tertata rapi, jauh berbeda dengan rumahnya di desa yang semipermanen. "Rindu, kamar kamu ada di atas, Pernadi akan mengantarmu kesana." Rindu melihat Pernadi yang langsung menunjukkan raut tak senang. " Iya, tante." Rindu tersenyum, seraya mengikuti langkah Pernadi menaiki anak tangga. "Nadi, bantuin dong Rindu nya. Anggkat kopernya. Kau ini." Tegur Rukaya saat melihat Rindu kepayahan mengangkat koper menaiki anak tangga satu persatu. Pernadi berdecak, ia kembali turun dan mengambil koper dari tangan Rindu setengah merampas. "Payah." Katanya. Rindu mencebir kemudian tersenyum mengikuti langkah Pernadi naik ke atas. "Tuh kamar, Lu " Ketus, Pernadi meletakkan koper di depan pintu kamar lalu berlalu menuju kamarnya yang ada di sebelah kamar Rindu. Rindu membuka pintu yang tidak terkunci. Ia menarik koper masuk ke dalam ruangan. Dekorasi lembut yang memanjakan mata, satu tempat tidur berukuran kecil juga satu lemari dua pintu. Ia meletakkan tas yang menyampir di pundaknya lalu membaringkan tubuh di ranjang, sangat nyaman hingga membuatnya terpejam. "Menurut papa, apa pernikahan Rindu dan Pernadi akan berjalan lancar, Pa?" Tanya Rukaya, saat mereka duduk di ruang santai seraya menikmati hiburan dari televisi. "Kau ragu?" Tanya Gordon balik bertanya. "Putra kita, aku takut dia mengecewakan Rindu. Aku lihat dia terlalu cuek sama Rindu." "Itu karena mereka belum saling mengenal. Aku yakin dia akan menyukai Rindu nanti." "Mudah-mudahan pa, aku sangat berharap itu terjadi." "Tapi, bagaimana dengan Cintya? Pernadi sudah memutus hubungan dengannya, kan?" Tanya Gordon, meletakkan remote tv yang sedari tadi berada di tangannya. "Pernadi bilang sih sudah. Itu bukan masalah lagi, begitu Pernadi menikah gadis itu akan tau nantinya." Ucap Rukaya menyandarkan kepala di bahu suaminya. Di dalam kamar Pernadi menerima telpon dari Rukaya. Ibunya itu meminta Pernadi mengajak Rindu ke butik pemesanan gaun pengantin untuk melakukan fitting. "Kenapa harus Nadi sih, Ma?" Protes Pernadi seraya melangkah menuju kamar Rindu. "Lah, dia kan calon istri kamu. Ya kamu dong yang harus bertanggung jawab padanya. Mama tunggu, cepatlah." Pernadi berdecak, saat Rukaya memutus telpon. "Rindu ...."Panggi Pernadi tanpa mengetuk, mengejutkan gadis yang hanya mengenakan Bra dan celana dalam. "Kakak!" Rindu segera menarik selimut menutupi tubuhnya. "Kalau mau masuk ketuk dulu dong." Teriak Rindu. "Maaf." Pernadi memalingkan wajahnya. Lalu ia tampak memikirkan sesuatu. "Eh gila, sekalipun lu telanjang gue nggak tertarik sama tubuh lu." Menatap dengan tatapan mencela. "Bukan masalah itu tapi tata krama, mengerti?" "Bodo amat! Cepatan, mama suruh kita ke butik." "Sekarang?" "Tahun depan." Ketus Pernadi, menutup pintu kamar Rindu. Setelah mengenakan pakaian rapi, Rindu turun dari kamarnya. Pernadi sudah menunggu di ruang tamu. "Mau kemana, Non?" Tanya Bibi Maria, saat berpapasan dengan Rindu di anak tangga. "Ke butik Bibi, kak Nadi ada di mana?" Tanya Rindu. "Oh, Tuan muda sudah menunggu di ruang tamu." "Oh, ya udah aku pamit, Bibi." " Hati-hati, Non." Rindu berlari kecil menuju ruang tamu. Ia melihat Pernadi duduk dan sibuk dengan ponselnya. Rindu menghampiri pelan tepat di belakang Pernadi. Ia melihat Pernadi sedang menonton video pendek di Wa nya. Seorang gadis tengah asik berjalan -jalan di sebuah pusat perbelanjaan. "Siapa itu, Kak?" Tanya Rindu mengejutkan Pernadi. "Astaga!" Pria itu segera mematikan ponselnya dan mengantonginya. "Bukan urusan lu." Tambahnya dengan raut pucat. Lekas bangun dari duduknya segera menuju pintu keluar. "Kan Rindu calon istri kakak dan menantu di rumah ini. Jadi apapun itu akan menjadi urusan aku termasuk gadis dalam video itu." ucapan Rindu menghentikan langkah Pernadi, pria itu berbalik dengan tatapan suram. Tiba-tiba ia menarik tangan Rindu, membuat jarak diantara mereka tiada. Pernadi, mengangkat dagu Rindu. Memaksa mereka bersitatap. "Dengar belatung nangka." Ucap Pernadi datar dengan tatapan tajam yang menusuk. "Gue setuju menikah dengan lu karena Nenek, jadi jangan coba-coba mengatur atau mencampuri yang bukan masalah lu. Gue sangat membenci orang yang sok ikut campur urusan orang lain. Paham?" Rindu mengibaskan bulu matanya tanda setuju. "Satu lagi, nggak usah sok akrab sama gue kecuali di depan Papa Mama juga nenek." Rindu kembali mengedipkan bulu matanya. Dagunya masih ditekan pria itu. "Menjengkelkan!" Ketus Pernadi, melepas dagu Rindu kasar. Pernadi segera naik ke atas motornya, lalu mengenakan helmnya. Ia memberikan satu pada Rindu. "Tutup muka lu pakai ini." Ketusnya. Rindu mengambilnya lalu naik ke atas motor. Ia kesal dan tak mau mengenakan helem, meletakkan di tengah sebagai dinding antara dia dan Pernadi. Motor gede itu keluar halaman rumah dan segera membaur ke jalanan padat. Pernadi melihat Rindu dari kaca Spion tanpa helem. Pria itu berdecak, motor berhenti tepat saat lampu merah. Pernadi menolehkan kepalanya, "Rindu pakai helem, nanti ada polisi." kata pria itu. "Biarin aja, bukan urusanku. Lagian yang ditilang kan kakak bukan aku." Rindu mencebik. "Cepatlah, nggak usah berdebat. Lagian bukan masalah ditilang atau apa. Ini mengenai keselamatan lu. Gue nggak mau dibenci kedua orang tua gue kalau lu celaka." Ucap Pernadi dengan suara agak keras. Rindu akhirnya mengalah, ia mengenakan benda itu. Tidak lama kemudian mereka tiba di butik. Pernadi memarkirkan motornya di area parkiran. Ia melihat Rindu kesulitan melepas helem nya. Pria itu berdecak. "Copot sekalian ama kepalanya." Kata Pernadi, menarik gadis itu itu mendekat. "Apa? Enak aja, aku masih pengen hidup dan menjadi beban buat kamu." Sahut Rindu, kesal. Pernadi membantu melepas helem dari kepala Rindu. "Gue dah menduga itu." Pernadi tersenyum miring. Rukaya sudah menunggu di dalam butik sambil mengobrol dengan pemiliknya. "Kalian sudah datang?" Tanya Rukaya saat melihat Rindu dan Pernadi masuk. Rukaya menepuk sofa kosong di sampingnya untuk Rindu duduki. "Ini dia calon pengantin kita?" Tanya pemilik butik, sambil menyalami Rindu dan Pernadi. "Iya, mereka sepupu," "Oh, masih keluarga, ya?" "Putri almarhum adik saya." "Semoga berbahagia dan langgeng." ucap pemilik butik pada Rindu. "Terima kasih." Balas Rindu dengan senyum ramah. "Langsung aja kita cek gaunnya?"kata Pemilik butik dengan ramah. Rindu melihat Pernadi sekejab. Pria itu tampak acuh. "Boleh." Rindu bangun dari duduknya dan mengikuti langkah pemilik butik ke suatu ruangan. "Nadi, kamu juga ikut dong." Rukaya mengulurkan tangan pada putranya. "Nggak usah, Ma." Ia menerima tangan Ibunya dan duduk di samping Rukaya. "Putraku, apa ini sulit untukmu?" "Kalian sudah sepakat, aku harus apa." Rukaya menghela nafas pelan. Ia mengelus lengan Pernadi. "Jika paras yang kau lihat dari Rindu memang dia kalah dari Cintya. Tapi, hatinya jauh lebih baik dari Cintya." "Mama tau dari mana? Mama bahkan belum kenal Cintya. Rindu juga, mama tau dari mana kalau gadis itu baik." Pernadi berujar dengan raut sendu. "Mama tidak pernah salah menilai orang, Nadi. Suatu saat kau akan berterima kasih pada Mama karena sudah menjodohkan kalian." Ucap Rukaya dengan nada serius. Pemilik butik membawa Rindu keluar dari ruang ganti. Di tubuh gadis itu melekat gaun indah, menjuntai menyapu lantai. Rambut ikalnya di sisihkan ke satu arah. Wajahnya dipoles ringan membuat gadis remaja itu tampak segar. "Lihat, penampilannya akan berubah seiring berjalannya waktu. Hanya polesan ringan aja dia tampak cantik, kan?" Bisik Rukaya pada putranya saat melihat penampilan Rindu. Pernadi hanya mengangguk kecil, ia memang mengakui Rindu tampak manis saat dandan begitu, tetapi tak sedikitpun menggetarkan hatinya. "Bagaimana penampilannya? Cantik?" Tanya pemilik butik, memutar tubuh Rindu sekali. "Cantik dong, iya kan Per?" Puji Rukaya sambil bertanya pendapat putranya. "Yah, cantik." Dengan cepat Pernadi menjawab, ia tak ingin terlihat tak suka pada Rindu di depan pemilik butik itu. Rindu bisa melihat Pernadi tidak sungguh-sungguh memujinya. Ia mengulum senyum semanis mungkin. "Ya dia sangat manis, rambutnya juga indah. Tinggal dirapikan dikit kau akan tampak seperti putri Merida dalam filim Brave." "Benarkah?" Tanya Rindu, ia senang mendengarnya. "Ia, cuma milikmu hitam dan dia merah. Kau boleh mencoba mewarnainya nanti." "Seseorang membenci rambutku, aku pikir sangat jelek hingga ia menghinanya terus." Rindu sengaja melirik Pernadi. Pria itu memalingkan wajah. "Dia pasti orang bodoh. Sungguh rambutmu indah kok." Pernadi tersenyum miring mendengarnya. "Aku pikir juga begitu, dia sangat bo ...doh." Rindu sengaja memperlambat di kata terakhir supaya Pernadi jelas mendengarnya. "Mas nggak mau coba fitting lagi?" Tanya Pemilik butik pada Pernadi. "Nggak usah, waktu itu kan sudah di coba." Kata Pernadi menolak. "Baiklah, kita packing ya." Pemilik butik membawa Rindu kembali ke ruang ganti, dan membantunya melepas gaun itu. . . . .
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN