"Bodoh, kenapa juga aku menangis? Dari awal aku tahu pernikahan ini terjadi untuk nenek." Rutuk Rindu, segera mengusap bening di kedua sudut matanya. Ia kembali berbaring, memeluk guling.
Sementara, Pria di sofa tampak gelisah. Cintya belum juga menghubunginya. Ia mencoba mengirim beberapa pesan lewat w******p menanyakan kabar gadisnya itu. Lama menunggu tak ada balasan dari Cintya hingga ia memutuskan tidur.
Hari gelap kini berakhir, matahari telah menyapa bumi dengan sinarnya yang indah. Rindu menggeliat di ranjang, mulutnya menguap lebar. Gadis itu masih setia dengan balutan gaun pengantinnya. Ia berdecak, menarik diri untuk bersandar pada sandaran ranjang. Tidurnya cukup pulas, seolah tanpa beban.
Rindu menurunkan kaki dari ranjang, menarik ujung gaun yang menjuntai kemudian menekan langkah menuju dimana Pernadi tidur. Ia berdiri memandangi wajah Pernadi yang tampak polos saat tertidur. Mulut pria itu terbuka kecil.
Rindu duduk di bawah sofa, menikmati setiap detail wajah suaminya. Hidung mancung, kedua alis tercetak tebal, bibir merah itu tidak tipis juga tebal sempurna berdampingan dengan hidung mancungnya.
Rindu mengulurkan tangan hendak menyentuh bibir yang terbuka kecil. Hampir saja tangan itu menyentuhnya tetapi, kembali ia tarik. Ia tak ingin Pernadi terjaga dari tidur lelapnya.
"Aku mencinta gadis lain," Rindu teringat ucapan Pernadi di malam hari. Nama gadis yang memiliki hati suaminya itu adalah Cintya. Rindu penasaran seperti apa paras gadis yang harus ia lenyapkan dari hati suaminya.
Ia melihat ponsel Pernadi terjepit diantara tubuh dengan sandaran sofa. Rindu bangun dari duduknya, membungkuk dan perlahan mengambil benda itu. Sangat hati-hati supaya Pria itu tidak terbangun.
Tangannya berhasil meraih tetapi, saat hendak menarik ponsel itu Pernadi bergeser hingga menjepit tangan Rindu pada sandaran sofa.
Rindu menutup mulut dengan telapak tangan, menunggu pria itu tenang pada posisinya kemudian ia menarik pelan tangan juga ponsel Pernadi.
Pernadi merasakan sesuatu yang aneh, lantas membuka mata secara perlahan dan mendapati Rindu memejamkan mata, melipat bibir kedalam. Pria itu tersenyum melihat ekspresi sepupunya itu.
"Lu lagi ngapain?" Pertanyaan itu sontak mengejutkan Rindu. Ia spontan menarik tangan juga ponsel.
"Nggak ada." Katanya, memalingkan wajah yang sudah merah pucat.
Pernadi tersenyum kecil, ia duduk lalu menengadahkan satu tangan pada Rindu.
"A-apa?" Tanya Rindu bingung.
"Ponsel gue." ucap Pernadi, menunjuk lewat tatapannya. Rindu segera menyembunyikan tangan ke belakang.
"A-aku mau telpon nenek," ujar Rindu terbata-bata.
"Alasan. Lu, kan punya ponsel."
"Pulsanya habis."
"Jangan ngeselin, ya. Ini masih pagi untuk berdebat." Pernadi mulai geram, ia mencoba menarik tangan Rindu tetapi, gadis itu sudah lebih dulu berlari menuju ranjang.
"Yakkk, Rindu!" Teriak Pernadi segera mengejar. "Sini ponsel gua."
"Pinjam bentar." Rindu segera menekan tombol on pada benda itu hingga menampilkan gambar seorang gadis tersenyum manis. Rindu terdiam, tanpa mengalihkan tatapannya dari layar ponsel.
Pantas saja, Pernadi tidak sedikitpun tertarik padanya. Dia dengan gadis di layar jauh berbeda.
Pernadi segera merampas ponselnya dari tangan Rindu. Menatap istrinya itu dengan kesal.
"Namanya Cintya?" Tanya Rindu, membesarkan hatinya. Meski punya hak cemburu ia tak berani menunjukkannya.
"Mmm," gumam Pernadi.
"Cantik, kak." Puji Rindu membuat Pernadi menaikkan kedua alis tebalnya. Gadis bodoh ini memuji pacar suaminya.
"Lu tidur dengan gaun ini?" Pernadi mengalihkan pembicaraan. Ia tak ingin membahas Cintya pada Rindu. Apalagi status gadis remaja ini sekarang adalah istrinya.
"Kakak juga tidur dengan pakaian pengantinmu." balas Rindu.
"Tapi, nggak seribet gaun lu." Pernadi, mengantongi ponselnya. Ia menekan langkah mengambil pakaian di dalam koper. Rindu masih mematung di tempatnya.
"Lu nggak mandi? Atau berniat mengabadikan gaun itu di tubuh lu seumur hidup?" Tanya Pernadi, ia membawa pakaiannya menuju kamar mandi. Rindu hanya mendengus, duduk di tepian ranjang dengan bibir mencebir.
Setelah Pernadi selesai mandi, ia keluar dari kamar mandi dengan pakaian rapi. Lengan panjang bewarna putih dipadukan dengan celana jeans hitam membuatnya tampak keren.
"Mandi Rin. Lu mau disini terus?" Pernadi merapikan rambutnya.
"Aku nggak bisa buka resleting dibelakang." bergumam seraya memilin jari-jari, gugup.
Pernadi mengulum senyum, jadi itu alasan gadis ini sampai tidur dengan gaun pengantinnya.
"Alasan aja kali."
"Diamlah, kalau nggak mau bantu nggak usah bacot." Kesal, bangun dari duduknya.
"Ayo pulang." Tambahnya, mengangkat ujung gaun hingga di atas lutut.
"Rindu, kalau nenek dan yang lain lihat Lu pulang dengan gaun ini. Mereka akan curiga sama hubungan kita. Lu sengaja ya?" Teriak Pernadi kesal.
"Aku sudah bilang nggak bisa buka resletingnya. Kakak, mau aku merobeknya?" Balas Rindu berteriak.
Mereka bersitatap dari jarak sejangkauan tangan dewasa. Tatapan keduanya sangat tajam dan penuh kekesalan. Pernadi menelan saliva, untuk pertama kali melihat tatapan tajam Rindu, sangat menakutkan.
Pria itu akhirnya mengalah, ia mengembuskan napas panjang. Menghampiri Rindu. Ia meraih bahu Rindu dan reflesk gadis itu mundur.
Pernadi berdecak, kembali meraih bahu Rindu dan lagi-lagi gadis itu mundur. Pernadi kesal dan memutar tubuh Rindu membelakanginya dengan sedikit kasar.
"Kau mau apa, kak?"
"Diam!"
Suara resleting terdengar turun membelah gaun itu hingga pada pinggul.
Rindu memejam mata menahan malu. Sementara Pernadi sempat melihat garis tulang punggung Rindu yang putih dari jarak dekat hingga mengundang gelenyar padanya. Dia tetaplah seorang pria normal yang punya hasrat.
"Cepat jangan lama, gue masih ada urusan di luar." kata Pernadi dan segera memalingkan wajahnya. Begitu juga dengan Rindu ia segera berlari ke kamar mandi.
Sambil menunggu Rindu mandi, Pernadi memesan taksin online. Seharusnya mereka keluar dari hotel di sore hari tetapi, Pernadi tak ingin berlama-lama dan berduaan di dalam kamar itu dengan Rindu.
"Sudah siap?" Tanya Pernadi, saat melihat Rindu menghampiri dengan koper di tangan. Gadis itu mengangguk.
"Ayo, kita pulang." Pernadi mengambil alih koper dan menyeretnya keluar kamar sementara Rindu mengekor di belakang.
"Rindu, nanti saat di rumah kita bersikap biasa ya. Kayak suami istri yang lagi memang hangat gitu."
"Apa maksudnya?"
"Mmm ... ya kayak pasangan yang habis malam pertama, bahagia gitu."
Rindu menghentikan langkahnya, memikirkan ucapan Pernadi.
"Ada apa?"
"Apa yang harus aku lakukan, kak?"
"Ya pura-pura romantis gitu. Ini, nih masalahnya. Nikah sama remaja, susah ngejelasinnya." Pernadi meradang, ia mengambil tangan Rindu dan menggenggamnya.
"Romantis yang gue maksud jangan sampai melewati batas. Cukup pegangan tangan kayak begini itupun kalau memang harus. Paham?"
Rindu melihat tangannya yang tenggelam dalam genggaman Pernadi. Hangat dan erat. Ia menikmatinya seraya tersenyum.
"Paham, kan?" Tanya Pernadi lagi
"Eh?" Rindu gugup, ia tak mendengar apapun kata Pernadi. "Mmm, iya aku paham." Katanya asal.
"Ya sudah, ayo pulang." Pernadi melepas tangannya dan melanjutkan langkah mereka menuju lift.
.
.
.
.
Sesampainya di rumah, Pernadi terlebih dahulu keluar mobil dan membukakan pintu untuk Rindu. Gadis itu mencebir melihat sikap manisnya.
"Kalian kok cepat pulang sih? Kan masih ada waktu sampai beberapa jam lagi. Ini masih jam sembilan pagi.Biasanya pengantin baru lama bangunnya loh." Rukaya menyambut sambil menggoda pasangan itu. Perempuan paruh baya itu segera memeluk menantunya dengan sayang.
"Rindu, Ma. Dia kangen katanya sama nenek." Sahut Pernadi, mengedipkan sebelah mata pada Rindu. Gadis itu meleletkan lidah. Enak saja ia jadi alasan pria itu.
"Ih ... kau ini." Rukaya menjawil hujung hidung Rindu, lalu beralih memeluk putranya.
"Bagaimana? Kau melakukannya dengan benar, kan?" Tanya Rukaya membuat kedua mata putranya melebar. Bagaimana bisa pertanyaan itu keluar dari mulut Ibunya. Sangat memalukan.
"Mama, ingin cucu segera." Katanya lagi, mengusap -usap lengan putranya.
Pernadi menatap Rindu yang sudah lebih dulu masuk kerumah.
"Mama apaan sih? Ckckck ..., dia akan segera hamil dan memberimu cucu yang banyak." Ketus, dan segera menarik kopernya masuk.
"Baguslah, itu yang mama harapkan. Rumah ini akan dipenuhi bayi-bayi kecil. Mama akan merawat cucuku dengan baik."ucap Rukaya mengikuti langkah Putranya masuk ke dalam rumah.
.
.
.
.