Fakta Tak Terduga

1591 Kata
Aku menatap wajah cantikku dari pantulan cermin salon kecantikan. Malam ini Radit mengajakku dinner. Karena ini makan malam romantis, aku menampilkan sesuatu yang berbeda khusus untuk malam ini. Riasan di wajahku terbilang masih aman, tidak menor, flawless, gitu, deh. Aku menoleh ke arah pintu utama saat kesayanganku masuk ke dalam salon. Dia tersenyum menatapku dengan mata berbinar. “Cantiknya kesayanganku ini, sudah shalat?” tanyanya memastikan dan aku mengangguk. Kami sengaja janjian bertemu di salon ini, tidak mungkin berangkat bersamaan sekalipun hanya lima langkah baik aku maupun Radit bisa bertemu. ‘Kan ceritanya masih backstreet. *** Senyum di wajahku tidak luntur menerima perlakuan lembut Radit padaku saat kami tiba di restoran pilihannya. Kami terlihat serasi sekali. Aku mengenakan dress berwarna hitam dan kesayanganku mengenakan kaos yang dilapisi blazer berwarna senada denganku. Uu … tampannya. Puas menikmati hidangan makan malam, kami asyik bercerita tentang ceremony wisudaku mendatang. Kami merencanakan perjalanan kembali ke Jepang. Saking antusiasnya mengutarakan keinginan saat wisuda nanti, aku baru tersadar ada sebuah kotak kecil di atas meja tepat di hadapanku, entah kapan Radit meletakkannya. Aku mengangkat pandanganku menatap Radit yang senyum sumringah menatapku. Dia mengambil kotak cincin, menuntunku menghadapnya yang tengah bersimpuh di hadapanku. “Menikahlah denganku, Vanya.” Aku reflek menggeleng, ini terlalu cepat. Bukan ini rencana yang kami susun. “Vanya.” Aku menarik tangannya meminta dia bangkit dan duduk kembali ke kursinya—mengingatkan kembali kalau ini tidak ada dalam susunan rencana kami. Radit berdecak kesal, dia meletakkan begitu saja kotak cincin sembarang di atas meja—mengingatkanku ini tahun keempat kami bersama. “Kita belum membicarakan hubungan ini dengan orangtua kita, Kak.” “Masa bodoh dengan semua itu—” “Kak,” lirihku saat dia meninggikan suaranya. Radit memejamkan mata dan mengusap kasar wajahnya. Dia tengah meredam kesalnya karena tanggapanku, aku tahu itu. Tak jarang kami bertengkar saat membahas hubungan ini lebih lanjut yang kunjung memiliki titik terang karena tembok yang membatasi kami cukup tinggi karena kami se-amin, tapi tidak se-iman. Radit meraih tanganku, mengusapnya lembut. “Apa kita harus melawan restu?” Aku menggeleng tak percaya dengan apa yang baru saja dia katakan sampai tidak bisa berkata-kata, mengalihkan pandanganku darinya. “Kenapa diam? Kamu menolakku? Mulai tidak serius dengan hubungan ini?” “Bukan begitu—” “Sejujurnya, aku sedikit aneh dengan sikapmu belakangan ini. Seperti kamu tengah menyembunyikan sesuatu dariku.” Darahku berdesir, sebisa mungkin aku berusaha untuk tidak terpancing olehnya. Aku mengambil kotak cincin yang tergeletak di atas meja, menutupnya, dan mendekatkannya ke arah Radit. Aku juga mengingatkan kembali rencana yang akan kami lakukan untuk mendapatkan restu kedua orang tua kami terlebih dahulu. Kami kembali berselisih paham dan bertengkar mengenai masalah ini dan ini lagi. Bahkan, saking kesalnya, Radit tidak peduli ketika air mataku sudah mengalir tanpa henti. Emosi kami memuncak hingga tak sadar saling menyayat hati. “Harusnya sejak awal kita tidak memulai ini, Vanya.” “K—kak.” Air mataku tak berhenti mendengar kalimatnya. “Tapi bodohnya, aku begitu mencintaimu, Vanya.” Dia menyeringai kesal. “Aku kecewa padamu,” pangkasnya. Dia menyatakan kekecewaan merasa hanya dia saja yang berjuang dalam hubungan ini. Seketika aku tersulut emosi karena dia terus memojokkanku. “Silahkan saja kecewa, kamu tidak pernah tahu perjuangan apa yang aku lakukan selama ini untuk mempertahankan hubungan kita!” Tidak tahan lagi. Aku memilih untuk pergi, dia bahkan tidak mengejarku. Dia benar-benar marah. Aku paham, siapa yang tidak kecewa saat lamarannya ditolak? Tapi, mengapa begitu sulit baginya untuk memahami perasaanku? Aku mencintainya, hanya saja aku tidak mungkin melawan restu. Sepanjang jalan keluar dari restoran, aku mencoba memesan taksi online. Namun, dua kali pemesanan tak kunjung mendapat driver. Fokusku benar-benar hilang. Sesaat kemudian, aku melihat Radit keluar dari restoran. Tangisku kembali pecah saat melihat dia masuk ke dalam mobilnya dan pergi tanpa melihatku, atau mungkin memang tidak terlihat? Aku mengecek ponselku, barangkali dia menghubungiku, ternyata saat ini ponselku dalam keadaan mati. “Sial,” kesalku saat menyadari ponselku kehabisan daya. Aku terduduk di parkiran tak jauh dari gerbang restoran, tiba-tiba saja setitik demi setitik air hujan turun membasahi tubuhku. Aku tidak berniat menepi untuk berteduh, hingga seseorang berdiri di hadapanku dan hujan tidak lagi membasahi tubuhku. Aku mendongak dan mendapati orang yang paling aku benci tepat di hadapanku. Alih-alih berterima kasih karena sudah dipayungi, aku berdiri, melayangkan telapak tangan kananku, hingga meninggalkan jejak kemerahan di pipinya. “Semua ini gara-gara Anda! Pergi dari hidup saya! Pergi!” Lelaki di hadapanku hanya diam, menatapku tanpa ekspresi. Aku terus memukul-mukul dadanya, mendorong tubuhnya, tapi dia tidak bergeming. “Kenapa Anda harus hadir di hidup saya? Saya mencintai kekasih saya, saya—” tangisku kembali pecah. Zein menarikku masuk ke dalam pelukannya. Jahat, Zein jahat. Aku terus mukul d**a bidangnya. “Kalian tidak akan bisa bersatu Zee, tidak akan. Kamu sadar sedari awal tembok di antara kalian begitu tinggi. Kamu ataupun dia tak akan mampu menggapainya. Tinggalkan dia, datanglah padaku, Zee.” Ya, akar permasalahan hubungan aku dan Radit karena iman kami yang berbeda. Ayah tidak pernah melarangku berteman dengan siapapun, baik itu perbedaan ras, suku dan agama apa pun, tapi Ayah tidak akan menerima hubungan kami terlebih lagi beliau sudah mantap dengan lelaki pilihannya. Aku dan Zein sudah dijodohkan sedari kami kecil, tapi aku tidak dapat menepikan hatiku yang menginginkan Radit. Lirih suara lelaki yang tengah memelukku menyapa pendengaranku. “Sekali saja lihat aku, Zee.” Aku mendongak, menatap wajah teduh di hadapanku. “Kamu itu milikku, Zee.” Seenaknya saja dia mengklaim aku miliknya, desahku dalam hati. Aku melepas pelukannya dan berlalu meninggalkannya, tak peduli hujan kembali membasahi tubuhku. Sesaat kemudian, sebuah mobil berhenti menghalangi jalanku. Zein memaksaku masuk ke dalam mobilnya, tapi aku menolak. “Masuk atau aku cium?” Gila! Sudah tua tentu saja otaknya penuh dengan kemesuman. Namun, aku tidak berani melawan dan tidak lagi memberontak. Aku masuk ke dalam mobilnya dengan patuh, kemudian dia juga menyusul setelahku. Mobil mulai meninggalkan area restoran. Tidak lama kemudian, mobil sudah kembali berhenti. Aku menatap keluar dan mendapati kami berada di depan sebuah butik. Namun, aku menolak turun. Setelah perdebatan panjang, akhirnya aku menuruti semua perintah Zein. Aku masuk ke dalam butik dan memilih pakaian untuk diriku—membersihkan dan merapikan penampilanku yang sebelumnya tak layak dipandang. Aku keluar dan mendapati Zein menungguku di sofa. “Pilihlah pakaian yang lain—Zee,” panggilnya saat aku berlalu tak menghiraukannya. Aku berlalu begitu saja—mengambil payung dan menuju mobil. Dia berlari di tengah hujan mendahuluiku membuka pintu mobil untukku. Setelahnya berlari ke arah mobil bagian kemudinya. Tubuhku sudah kering, ini lebih baik dari sebelumnya. Aku melirik dari sudut mataku Zein melepas blazer-nya yang basah menyisakan kaos berwarna hitam di tubuhnya. Aku menerjap saat Zein meraih sebelah tanganku dan menautkan jariku dengan jemarinya. Aku menarik paksa agar tangannya terlepas, tapi dia menahannya. “Aku kedinginan, Zee. Hangatkan aku sebentar saja.” Aku memilih diam alih-alih berdebat dengannya. Sebentar, ya, hanya sebentar saja. *** Aku membuka mataku perlahan dan mendapati senyum di wajah Zein merekah. Zein? Aku membulatkan mataku dan tanganku melayang menyapa pipinya. “Apa yang sudah Anda lakukan? Jangan mencari kesempatan—” Zein memejamkan matanya seolah menahan sakit pada pipinya. “Aku tidak melakukan apa-apa, kamu yang baru saja menamparku. Dua kali kalau kamu lupa, sakit Zee,” rajuknya. Aku salah tingkah mendengar penuturannya, salah sendiri, sudah tahu aku membencinya masih saja mau mendekatiku. Siap-siap saja menjadi luapan amarahku. Ku lihat kami sudah berada di halaman rumahku dan hujan tak lagi turun. Aku segera turun dan berlalu terus ke arah rumah. Aku bahkan sengaja membanting pintu mobilnya. “Galaknya bukan main, asal kamu tahu sepanjang perjalanan tadi kamu senyaman itu memeluk tanganku.” Baru saja aku akan protes dia sudah meletakkan telunjuknya di bibirku—memintaku untuk tidak bicara. “Lihat, aku kirim videonya sebagai bukti. Aku tahu kamu pasti tidak akan percaya. Biarkan fakta yang berbicara. Selamat malam, Zevanya-ku.” Hih, menggelikan. *** Keesokan harinya “Vanya, bangun! Zein sudah menunggu di bawah.” Mendengar nama itu disebut, aku semakin enggan bangun dari tidurku. “Vanya!” Aku menyahut malas saat Ibu memanggilku, tapi mau tak mau aku harus tetap bangun dan bersiap. Siang ini kami akan berangkat ke Bandung karena sorenya akan menghadiri arisan keluarga. Ayah mengajak serta Zein ikut bersama kami dan memintanya datang lebih pagi untuk sarapan bersama. Heran, mau-mau saja, memangnya dia tidak ada pekerjaan lain apa ikut seharian bersama kami. Ibu menyambutku saat aku sudah tiba di lantai satu. Beliau menelisik diriku dari atas hingga ke bawah seraya mengulum senyum. “Minta tolong panggilkan Zein, kita sarapan sekarang.” Aku menolak malas bertemu dengannya—si perusak moodku. Ibu mendorong pelan tubuhku ke arah ruang tamu seraya berkata, “Ajak sekalian Radit, sarapannya banyak. Sudah lama dia tidak sarapan bersama kita,” ujar Ibu. Radit? Cepat aku melangkah ke ruang tamu mendengar kesayanganku sejak tadi datang ingin menemuiku. Semalam setelah pulang aku mengisi daya ponselku dan belum mengaktifkannya hingga sekarang. “Loh, memangnya Vanya tidak bilang? Ayo, kenalan dulu ini Zein, Radit. Zein ini tunangan Vanya.” Terlambat, begitu langkahku terhenti aku mendengar Ayah mengucapkan kalimat itu dengan lantang. Mataku beradu pandang dengan Radit yang memancarkan kekecewaan. Pandanganku beralih pada Ayah yang menatapku dan Zein bergantian, hingga membuat aku dan Radit ikut memandangi Zein dan diriku. Aku merutuki diriku tak menyangka kalau saat ini aku mengenakan pakaian yang berwarna senada dengan Zein layaknya best couple ever. “Zein, perkenalkan Radit ini bestfriend-nya Vanya sedari kecil,” sambung Ayah memperkenalkan Radit pada Zein. “Kamu sudah bertunangan, Vanya?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN